Al Musanna*
INDONESIA adalah negara yang kaya dan unik. Demikian ungkapan para peneliti dan wisatawan setelah berkunjung dan menjelajahi negeri yang terdiri dari ratusan etnis dan tersebar di ribuan pulau ini. Sangat mudah menemukan betapa uniknya bangsa ini ditinjau dari bahasa, kesenian, pola hidup, dan kearifan lokalnya. Khazanah keragaman yang luar biasa tersebut merupakan modal lebih dari cukup mengembangkan corak atau model pendidikan yang berakar pada kearifan lokal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Ketika pemerintah mendengungkan pendidikan karakter, penggalian kembali nilai-nilai kebajikan dan kearifan lokal merupakan harta terpendam yang menunggu sentuhan tangan dingin untuk diaktualisasikan. Kearifan lokal dalam setiap komunitas merupakan pencerminan dari falsafah hidup terintegrasi (holistik) yang dalam pusaran sejarahnya berhasil mewujudkan harmoni manusia dengan sesama dan lingkungan. Kesadaran mengenai pentingnya pendidikan karakter berbasis kearifan lokal terkesan terlambat, tetapi bukankah terlambat masih lebih baik daripada tidak sama sekali.
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul antusiasme untuk mengartikulasikan kearifan lokal sebagai pijakan dalam memperkaya praksis pendidikan. Gerakan ini dilatarbelakangi keyakinan bahwa modernitas dengan segala perangkat pendukungnya tidak cukup memadai meghantarkan manusia dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan mencapai kebahagiaan yang autentik (authentic happiness).
Modernitas dengan rasionalitas, objektifitas, dan kebebasan individu yang tercerabut dari akar spiritualitas dan kearifan telah membawa dampak terjadinya ketidakseimbangan (disekualibrum) hubungan manusia dengan sesamanya maupun dalam interaksinya dengan alam.
Gagasan pengembangan pendidikan berbasis kearifan lokal (local wisdom-based education) berpijak pada keyakinan bahwa setiap komunitas mempunyai strategi dan teknik tertentu yang dikembangkan untuk menjalankan kehidupan sesuai konteksnya. Pendidikan berbasis nilai diperlukan untuk mengembangkan kualitas moral, kepribadian, sikap kebersamaan yang semakin tergerus oleh perkembangan zaman (Aspin&Chapman, Ed., 2007: xiii).
Dalam dunia pendidikan formal, penekanan berlebihan pada pengembangan sisi kognitif peserta didik berdampak pada tidak proporsionalnya waktu, perhatian dan dukungan terhadap pengembangan dimensi afektif peserta didik. Pemerhati dan penulis sejumlah literatur pendidikan mengungkapkan, “…traditionally, the focus of schools has been cognitive. Students and teacher are rewarded for academic gains, not affective or humanistic progress” (Lang dan Evan, 2006: 109).
Menyadari kompleksitas pengintegrasian kearifan lokal sebagai basis pendidikan karakter, tulisan ini akan mendiskusikan tiga hal: polemik mengenai apakah kearifan dapat diajarkan; relevansi kearifan lokal sebagai landasan pendidikan karakter dengan mengacu pada teori pengajaran kearifan (teaching for wisdom); dan aktualisasi teaching for wisdom sebagai landasan pengembangan model integrasi kearifan lokal sebagai basis pendidikan karakter.
Pengertian Pendidikan Karakter berbasis Kearifan Lokal
Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani yang bermakna, “instrument for marking and graving, impress, stamp, distinctive mark, distinctive nature‘ (Kupperman, 1990: 3). Karakter berkaitan dengan ciri atau tanda khusus yang melekat pada suatu benda atau seseorang. Seseorang yang berkarakter (baik atau buruk) membuatnya tampil beda dari orang lain, sehingga menjadi penanda khusus ketika orang lain mengenalinya (Dimenson, 2009). Wilhelm (2005: 18), setelah melakukan tinjauan terhadap sejumlah definisi yang diajukan para pakar menyatakan, “character can be measured corresponding to the individual’s observance of a behavioral standard or the individual’s compliance to a set moral code.”
Dengan demikian, karakter merupakan representasi identitas seseorang yang menunjukkan ketundukannya pada aturan atau standar moral yang berlaku dan merefleksikan pikiran, perasaan dan sikap batinnya yang termanifestasi dalam kebiasaan berbicara, bersikap dan bertindak.
Upaya merumuskan definisi pendidikan karakter tidak mudah (Peterson& Seligman, Ed., 2004; Nuccy&Narvaez, Ed., 2008). Creasy (2008: 3) menyatakan, “…character education is a program that can be implemented in order to turn students into respectful, responsible, contributing members of society.”
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya mendorong peserta didik tumbuh dan berkembang dengan kompetensi berfikir dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral dalam hidupnya serta mempunyai keberanian melakukan yang benar, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan.
Pendidikan karakter tidak terbatas pada transfer pengetahuan mengenai nilai-nilai yang baik an-sich, tetapi menjangkau bagaimana menjadikan nilai-nilai tersebut tertanam dan menyatu dalam totalitas pikiran-tindakan (Dimenson, Ed., 2009). Lickona (1991) dalam Education for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibilty menyebutkan bahwa pembentukan karakter meliputi tiga hal berikut: mengetahui yang baik (knowing the good), kemauan melakukan kebaikan (desiring the good) dan mendorongnya melakukan tindakan yang baik (doing the good).
Tesaurus Indonesia menempatkan kata kearifan sejajar dengan kebajikan, kebijakan, kebijaksanaan dan kecendekiaan. Sedang kata arif memiliki kesetaraan makna dengan: akil, bajik, bakir, bestari, bijak, bijaksana, cendekia, cerdas, cerdik, cergas, mahardika, pandai, pintar, dan terpelajar (Sugono, dkk., Ed., 2008: 28). Dalam tradisi kesarjanaan Islam, istilah arif (hikmah) dan ilmu (‘ilm) sering diidentikkan dan terkadang diposisikan yang satu sebagai subordinat lainnya.
Berdasar penelusuran Rosenthal (2007: 37) istilah hikmah secara substansial merujuk pada level atau tingkat kesadaran tertinggi yang berada di atas pengetahuan, “’wisdom’ is something better than ‘knowledge.’ It embodies a higher degree of knowledge and insight in the realm of both human perceptions and theological speculation.” Sternberg (2003: 153, Sternberg dalam Preiss dan Sternberg, Ed., 2010: 421; Sternberg dalam Kaufman dan Grigorenko, Ed., 2009: 362) mengartikan kearifan (wisdom) sebagai pemanfaatan secara terpadu kecerdasan, kreativitas dan pengetahuan yang diperantarai seperangkat nilai dalam pencapaian kebaikan bersama (common good) melalui pertimbangan yang seimbang antara kepentingan intrapersonal, interpersonal dan ekstrapersonal yang berlangsung dalam jangka waktu singkat atau lama untuk beradaptasi, membentuk atau memilih lingkungan.
Kearifan lokal merupakan akumulasi dari pengetahuan dan kebijakan yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas yang merepresentasikan perspektif teologis, kosmologis dan sosiologisnya. Terdapat beberapa istilah yang digunakan secara bergantian dalam memaknai kearifan lokal (Ingg. local wisdom), misalnya pengetahuan lokal (local knowledge); budaya lokal (local culture); keunggulan lokal (local genius); budaya pribumi (indigenous culture); dan pengetahuan asli (indigenous knowledge).
Di Indonesia istilah kearifan lokal akhir-akhir ini lebih populer digunakan dibanding istilah-istilah lainnya, hal ini sebagaimana tercermin pada penggunaan istilah ini dalam literatur, media massa, dan percakapan sehari-hari. Abubakar (2010:4) mengartikan kearifan lokal sebagai kebijakan yang bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, dan perilaku yang melembaga secara tradisional untuk mengelola sumber daya (alam, manusia, dan budaya) secara berkelanjutan. Kearifan lokal sebagai kebenaran yang mentradisi atau ajeg merupakan perpaduan nilai-nilai suci firman Tuhan dan nilai turun-temurun yang dikembangkan komunitas tertentu.
Sesorang dinilia arif apabila dapat mengakumulasi dan mengkolaborasikan antara konteks dan nilai-nilai yang melingkupinya, serta dapat mewujudkan pola hidup yang seimbang, tidak mungkin seseorang dipandang bijak apabila sikap dan tindakannya berlawanan dengan nilai yang berlaku (Sternberg dalam Shavinina dan Ferrari, Ed., 2004: 179).
Rasionalitas Kearifan Lokal sebagai Basis Pendidikan Karakter
Pembahasan pendidikan karakter tidak mungkin dipisahkan dari nilai-nilai dan konteksnya. Kearifan lokal merupakan representasi dari pandangan hidup (wolrd view/way of life) yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas. Dalam masyarakat yang didominasi peradaban olah-pikir, contohnya zaman keemasan Athena tempoe doeloe, karakter yang sangat diidamkan adalah tercermin pada orang-orang yang menyandang gelar filosuf. Berbanding terbalik dengan kondisi tersebut, dalam tradisi masyarakat yang didominasi olah-pisik, sebagaimana berkembang dikalangan penduduk Sparta, derajat seseorang ditentukan kebugaran dan kekuatan pisiknya. Karakter terhormat ditempati olahragawan sekelas Achilles, Hercules, dan lain-lain.
Kearifan perlu dikembangkan menjadi bagian integral kurikulum pendidikan pada semua jenis dan jenjangnya. Lembaga pendidikan moderen telah menyingkirkan kearifan dari sekolah dan membatasi prioritasnya pada peningkatan kecerdasan peserta didik yang diukur pada kemampuan menghapal materi dan keterampilan melakukan tugas-tugas. Sternberg, Jarvin dan Reznitskaya (dalam Ferrari dan Potrowowski, Ed., 2008: 54-5) mengungkap kegelisahannya terhadap praksis pendidikan moderen yang mengabaikan atau memberi perhatian sangat sedikit untuk mempersiapkan peserta didik menjadi pemikir dan manusia yang arif, hal ini sebagaimana dinyatakannya berikut ini, “Western education in the past of couple of centuries has typically focused on imparting content knowledge and developing cognitive skills in students. Schools promote intelligent–but not necessarily wise students.”
Dengan kenyataan tersebut, meskipun secara akademis peserta didik memperoleh nilai tinggi, tetapi mereka gagal memperlakukan kehidupan dengan baik, sehingga sering melakukan tindakan tidak bijak (foolishness) yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain (Sternberg dalam Sternberg dan Jordan, Ed., 2005: 331).
Pertanyaan mengenai mungkinkah kearifan diajarkan telah mendapat respon yang beragam. Mulai dari kalangan yang menyatakan ketidakmungkinannya, kelompok yang ragu-ragu dan yang yakin bahwa kearifan meskipun tidak sepenuhnya dapat diajar tetapi dapat dikembangkan. Sejumlah peneliti mengemukakan bahwa benar kearifan tidak dapat ditransfer, tetapi melalui pemodelan dan ketersediaan lingkungan yang kondusif, kearifan dapat dikembangkan sebagai karakter peserta didik.
Dalam Teaching for Wisdom Through History: Infusing Wise Thinking Skills in the School Curriculum, Sternberg, Jarvin dan Reznitskaya (dalam Ferrari dan Potworowski, Ed., 2009: 43) menyatakan bahwa sekolah dapat membantu mengembangkan kearifan. Konsepsi-konsepsi kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun melalui dongeng, legenda, petuah-petuah adat merupakan strategi transformasi nilai-nilai yang dipandang penting untuk dimiliki anak. Pendidikan dalam maknanya yang luas mencakup pedoman menjalankan kehidupan dengan bijaksana, sehingga tidak mencederai derajat kemulian manusia sebagai pemegang amanah mengelola sumber daya alam yang dianugerahkan Tuhan (Reagen, 2005).
Dalam rentang perjalanan sejarah manusia, berbagai cara dilakukan untuk menjadi orang yang arif atau bijak. Berbagai kajian baik melalui filsafat, antropologi dan akhir-akhir ini aliran psikologi alternatif juga mulai mengkaji kearifan (Kresse dalam Ferrari dan Potworowski, Ed., 2008: 193). Ketertarikan para psikolog ini didorong ketidak-memadaian psikologi konvensional menjelaskan kompleksitas manusia. Sternberg (dalam Shavinina dan Ferrari, Ed., 2004: 169) menyatakan bahwa pengukuran kecerdasan sebagaimana terdapat pada tes intelligensi konvensional tidak mampu menjelaskan secara memuaskan mengenai hakikat kearifan.
Sejak penghujung tahun 90-an, sejumlah pakar mengkonsentrasikan perhatian mengenai kearifan (wisdom). Salah satunya terkristalisasi dalam teori pengajaran kearifan (teaching for wisdom), yang merupakan pengembanga dari teori keseimbangan kearifan (Balance Theory of Wisdom) (Sternberg, 2003; Sternberg dalam Kaufman dan Grigorenko, Ed., 2009: 353). Melalui program pengajaran untuk kearifan menunjukkan terdapat korelasi dan peningkatan kearifan peserta didik setelah diaplikasikannya model kurikulum yang mengintegrasikan prinsip dan prosedur pengajaran kearifan (Sternberg, 2010: 243; Sternberg dalam Preiss dan Sternberg, Ed., 2010: 431; Sternberg dalam Staudinger dan Gluck dalam Sternberg dan Kaufman, Ed., 2011: 841)
Pengajaran kearifan (teaching for wisdom) terdiri dari 16 prinsip, demikian dikemukakan Sternberg (2003: 164-5) dalam Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized. Mengingat keterbatasan ruang dalam mengelaborasi prinsip-prinsip paedagogis pengajaran kearifan, berikut dikemukakan beberapa di antaranya: guru memberi ruang kepada peserta didik untuk mengeksplorasi bahwa prestasi dan capaian akademis tidak memadai menjawab kompleksitas modernitas; menunjukkan kepada peserta didik bahwa kearifan merupakan bagian penting mewujudkan kehidupan yang bahagia; mengajak peserta didik mengembangkan pola berpikir interdependensi (fenomena alam dan sosial mengikuti prinsip saling ketergantungan); guru menjadi teladan dalam mempraktikkan sikap yang arif (role-model); menyediakan literatur tentang kearifan; menekankan pentingnya sarana pencapaian tujuan, tidak menjadikan tujuan sebagai akhir segalanya; memotivasi peserta didik berfikir dialektis, dialogis, kritis, dan kreatif; membiasakan peserta didik melakukan penyesuaian (adaptation), membentuk (shaping), dan memilih (selection) lingkungan yang dapat membantu meningkatkan kearifan dirinya; memberi semangat dan hadiah dalam mendorong konsistensi peserta didik dalam meningkatkan kearifan.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, Sternberg (2003: 165; Sternberg, Jarvin dan Reznitskaya dalam Ferrari dan Potworowski, Ed., 2009: 46) merumuskan enam prosedur pengajaran kearifan. Keenam tahapan pembelajarannya meliputi: “First, student would read classic works of literature and philosophy to learn and reflect on the wisdom of sages; Second, student would engage in class discussions, projects, and essays that encourage them to discuss the lesson they have learned from classic works, and how they can applied to their own lives and the lives of other; Third, students would study not only truth, as we know it, but values as well; Fourth, instruction would place an increased emphasis on critical, creative and practical thinking in service of good ends; Fifth, students would be encouraged to think about how almost everything they study might be used fot better or worse end; Finally, teachers serve as role models.”
Terdapat tiga komponen pengajaran kearifan, yakni: Pertama, pengintegrasikan pendekatan pembelajaran kecakapan berfikir arif (wise thinking skills); Kedua, penciptaan iklim pembelajaran yang mendorong kebiasaan berfikir dan bertindak arif; dan Ketiga, guru mempunyai komitmen sebagai teladan (role-model). Terkait komponen terakhir, Sternberg, Jarvin dan Reznitskaya (dalam Ferrari dan Potworowski, Ed., 2009: 43) menyatakan, “the most effective teacher is likely to be one who can create a classroom community in wich wisdom is practiced, rather than preached.”(win_moes@yahoo.co.id)
*Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon