Oleh Johansyah*
“Buku adalah jendela dunia”. Semboyan ini mungkin tidak asing bagi kita dan tentu dengan sepenuh hati meyakininya; bahwa buku adalah sumber informasi, pengetahuan dan sumber wawasan yang dapat membantu seseorang untuk menjelajahi dunia. Membaca buku juga tentu berpeluang mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku pembacanya.
Di dunia akademik atau sekolah, buku adalah kebutuhan primer sama halnya dengan makan dan minum. Hanya saja buku berfungsi untuk memenuhi kebutuhan psikis, sedangkan makan untuk memenuhi kebutuhan fisik. Untuk itu, idealnya sekolah sebagai wahana pencerdasan generasi sejatinya mempersiapkan buku sebanyak mungkin, baik yang terkait dengan bidang studi ataupun buku penunjang lainnya.
Pada kenyataannya, jika menjelajahi perpustakaan sekolah-sekolah selain di kota-kota besar maupun pusat kota di tingkat kabupaten/kota, mungkin yang ditemukan hanya beberapa butir buku karya penulis puluhan tahun yang lalu, kondisinya telah usam, sebagian ada yang sudah lapuk dan sebagiannya berdebu karena tidak pernah tersentuh lagi.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian kita mengingat perpustakaan adalah jendela dunia. Sebenarnya malu jika pendidikan kita berbicara kualitas, jangankan pada tingkat pemerataan alat teknologi seperti komputer dan jaringan internet, di tingkat buku saja belum beres dan terurusi. Sekarang dana pendidikan Indonesi 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pada tahun 2012 nominalnya sebasar 286 triliun yang meningkat dari tahun sebelumnya. Dengan dana yang besar ini idealnya pemerintah dapat memenuhi kebutuhan buku ini, baik di kota maupun pelosok.
Sangatlah lucu, jika seorang guru mengatakan pada siswanya, ‘kalian harus rajin membaca supaya pandai, banyak ilmu, kalau tidak kalian akan jadi bodoh’. Mengapa harapan kita begitu tinggi untuk mencerdaskan mereka, sementara pintu dan jalan ke sana tidak kita buka. Mengapa pula kita membiarkannya mereka bermimpi jadi orang cerdas, sementara tidak membarenginya dengan media yang menjembatani mimpinya dengan kenyataan.
Saat ini, kita juga tidak heran apabila tingkat minat baca siswa maupun mahasiswa secara umum masih rendah karena tidak pernah disiapkan fasilitasnya serta dilatih untuk akrab dengan buku. Masih jarang kita lihat ada sekolah yang perpustakaannya terurusi dengan baik dan minat baca siswanya tinggi. Sebaliknya, barangkali masyarakat lebih peduli tentang pentinya membaca, seperti yang pernah diangkat oleh Kick Andy di Metro TV beberapa bulan yang lalu, ada seseorang yang membuat perpustakaan umum dengan biaya sendiri dan sumbangan masyarakat sekitar. Tujuannya semata-mata untuk meningkatkan minat baca orang-orang di sekitarnya.
Rendahnya Minat Baca
Charles W. Elliot seorang tokoh pendidikan AS yang hidup tahun 1834-1926 mengatakan: ‘mau tahu siapa teman paling setia, tidak cerewet, gampang ditemui, sekaligus guru nan bijak dan sabar? Dialah buku’. Sungguh bijak ungkapan ini. Namun bagaimana dengan minat baca manusia Indonesia? Berdasarkan laporan World Bank “Educational in Indonesia-From Crisis to Recovery” (1998) kemampuan membaca anak-anak Indonesia masih rendah. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Vincent Greanary bahwa peserta didik-peserta didik kelas enam SD di Indonesia kemampuan membacanya hanya 51,7 berada di urutan paling akhir setelah Filipina(52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0) dan Hongkong (75,5) (Ki Supriyoko, 2004).
Selain rendahnya minat baca di kalangan anak-anak, minat membaca pada masyarakat umum juga masih rendah. Di antara indikatornya adalah jumlah surat kabar yang beredar di masyarakat masih sangat sedikit, atau jika dicek berapa banyak penduduk di satu kampung tertentu yang berlangganan surat kabar? Idealnya setiap surat kabar dikonsumsi sepuluh orang, tetapi di Indonesia angkanya 1:45; artinya setiap 45 orang mengonsumsi satu surat kabar. Di Filipina angkanya 1:30 dan di Sri Lanka angkanya 1:38.
Indikator lainnya kebiasaan membaca masih rendah dapat dilihat dari rendahnya pengunjung perpustakaan. Menurut Kepala Perpustakaan Nasional, Dady P. Rachmanata, dari pengunjung yang datang ke perpustakaan, pememinjam buku hanya 10 sampai dengan 20 persen. Jika peminjam buku tersebut diasumsikan yang mempunyai kebiasaan membaca maka tingkat kebiasaan membaca kita baru 10 sampai dengan 20 persen. Padahal di negara maju angkanya mencapai 80 persen. Berdasarkan data di atas dalam soal membaca, masyarakat kita kalah dibandingkan dengan masyarakat negara berkembang lainnya seperti Filipina apalagi dengan negara maju seperti Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.
Sementara itu, berdasarkan penelitian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP untuk melek huruf pada 2002 menempatkan Indonesia pada posisi 110 dari 173 negara. Posisi tersebut kemudian turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009.Berdasarkan data CSM, yang lebih menyedihkan lagi perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku (Republika Online, 08/07/10).
Menuju Tradisi Membaca
Idealnya setiap sekolah atau lembaga pendidikan lainnya, memiliki perpustakaan yang menyediakan buku-buku wajib terkait dengan mata pelajaran dan juga buku-buku pendukung serta buku-buku cerita, sejarah perjuangan, cerita tokoh-tokoh yang sukses serta buku-buku lainnya. Tujuannya adalah untuk memperkaya wawasan anak didik sehingga tidak berkutat pada perolehan pengetahuan dari guru semata.
Yang jelas, saat ini membaca bagi masyarakat Indonesia belum menjadi budaya dan kebutuhan, akan tetapi masih ada nuansa keterpaksaan karena faktor lain, misalnya karena tugas yang dibebankan kepadanya sehingga terpaksa membuka buku. Ke depan membaca ini harus diupayakan menjadi budaya dan kebutuhan bagi anak-anak kita. Atau harus ada upaya untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya membaca.
Untuk tujuan tersebut ada tiga empat aspek yang harus dibenahi; Pertama, ruang perpustakaan yang ideal. Kedua, pengadaan buku yang memadai. Ketiga,
pengelolaan perpustakaan yang professional. Keempat, motivasi dari guru dan orang tua bagi anak untuk gemar membaca. Akhirnya, untuk dapat merealisasikannya tentu harapan kita adalah adanya kebijakan pemerintah ril dalam meningkatkan mutu dan pelayanan perpustakaan. Mari membaca!
*Penulis adalah Pemerhati Pendidikan