Falsafah Leluhur Suku Gayo tentang Konsep Keseimbangan

(Merangkai Makna Yang Tersirat Dalam Ungkapan “Kuatas Ku Bintang Tujuh Kutuyuh Kal Pitu Mata”)

 

Oleh; Sahdansyah Putera Jaya*

Turunni edet ku putemerhum turunni ukum ku syahkuala
Turuni edet ku rejereje turun ni ukum ku alim ulama
Edet urum ukum lagu zet urum sipet lagu tubuh urum nyawa
Ku atas kubintang tujuh kutuyuh kal pitu mata
Linge umah pitu ruang penulang pitu perkara
inget anak piut atur anak bulu
bulet lagu umut tirus lagu gelas
beloh sara loloten mowen sara tamunen
siteger ken penemah sibijak ken perawah….(dan seterusnya)

Ungkapan di atas disampaikan dari leluhur melalui tata bahasa yang tinggi, gaya bahasa yang indah dan perkataan yang santun, dari generasi ke genarasi dalam bentuk  acara melekan atau munyerah rempele, bagi para orang tua kemungkinan makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut banyak yang mengetahui akan tetapi sulit untuk diungkap dan dijelaskan pada generasi selanjutnya, karena ungkapan tersebut tertanam dalam batin masing-masing yang sulit diceritakan karena mereka juga hanya sering mendengar menghapal dan mengungkapkan bait perbait kalimat tersebut. Bila ada anak yang menanyakan kepada orang tuanya, apa makna ungkapan tersebut maka jawabannya adalah memang  ungkapan itu sudah begitu dari leluhur dulu. Jawaban ini tentu tidak selesai dan tuntas, akan tetapi selaku orang muda harus berfikir positif bahwa makna dari jawaban generasi tua tersebut adalah agar generasi muda harus berfikir untuk mencari jawaban apa arti ungkapan tersebut.

Melalui tulisan ini saya akan mengungkap sedikit saja makna dari jumlah tak terhingganya makna yang terkandung dari ungkapan tersebut.  Leluhur suku Gayo terdahulu  tidak mungkin mengarang saja ungkapan yang dimaksud tanpa makna yang terkandung di dalamnya, secara pribadi saya akan coba mengulas mengenai kaliamat ”ku atas ku bintang tujuh (pitu) kutuyuh kal pitu mata), yang ungkapan tersebut juga digambarkan dalam  satu lambang daerah Gayo (Aceh Tengah).

1. Bintang Pitu

Secara kasat mata bintang pitu adalah gambaran adanya bintang di langit yang berjumlah tujuh, yang bila dipandang akan memberikan inspirasi tersendiri bagi orang yang melihatnya, bagi seorang penyair maka ungkapan tersebut akan dituangkan dalam bait-bait syair yang dapat menggugah perasaan bagi orang-orang yang membacanya, bagi nelayan petunjuk dari susunan bintang akan dapat membaca situasi pasang surutnya air laut, dan keadaan cuaca ditenggah laut. Bagi pakar astronomi juga menjadikan bintang sebagai objek penelitiannya.

Mengapa leluhur suku Gayo menggunakan lambang bintang pitu yang disusun dalam pribahasa yang indah dengan akhiran (ab, ab) maka alasannya adalah, pertama; Letak bintang itu adalah tinggi artinya harus diletakkan secara terhormat dan tidak boleh direndahkan. kedua;  Jumlah bintang tersebut tidak boleh kurang dari tujuh karena salah satu saja hilang atau tidak bercahaya maka keseluruhan bintang tersebut tidak akan berjalan dengan benar oleh karena itu ketujuh bintang tersebut adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Apakah arti bintang pitu itu dan dimanakah letaknya dalam kehidupan suku Gayo?, Bintang pitu adalah terdiri dari enam organ indra yang terdiri dari dua mata, dua telinga, hidung dan mulut dan ditambah dengan organ otak yang letaknya ada pada kepala manusia. Hal ini menunjukkan bahwa leluhur suku Gayo terdahulu dalam mencari suatu kebenaran dalam hidup harus melalu nalar dan menggunakan cerapan indera mata, telingga, hidung, mulut yang distimulus oleh otak untuk menalar. Penghormatan terhadap indera ini secara langsung dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari sampai sekarang yaitu tabu/pamali bila seseorang memegang kepala orang lain tanpa sebab, seorang anak dianggap tidak sopan memamakai peci/topi orang tuanya, berjalan melewati kepala orang yang sedang tidur, melonjorkan kaki pada kepala seseorang yang sedang tidur dan perbuatan lain yang sejenisnya. Mungkin dengan kehidupan sekarang penghormatan terhadap organ ini secara fisik telah berubah akan tetapi menempatkan fungsi organ ini dengan sebaik-baiknya untuk mencari kebenaran adalah sesuatu kewajiban hal ini ditandai dengan adanya empat hal yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan urang Gayo yang disebut dengan sumang opat. Dengan ungkapan ini seolah-olah leluhur kita berpesan bahwa bila engkau memfungsikan indera yang dilambangkan dengan bintang pitu dengan benar maka engkau akan di angkat derajat oleh Tuhan dan selalu indah dipandang oleh orang lain laksana bintang pitu yang ada dilangit. Dalam ajaran Islam juga ajakan untuk menggunakan fikiran sering diungakap dalam “apakah engkau tidak berfikir” dan sejenisnya.

Bintang tujuh (pitu) dalam masyarakat Gayo lebih dominan di indentikan dengan sifat kelaki-lakian, dengan kata lain peran berfikir pada masa lalu lebih ditekankan pada anak laki-laki, hal ini juga dipengaruhi oleh sistem keturunan patrilineal/Patriakrat. Kedudukan laki-laki dianggap sebagai penerus keturunan dan penerus klan yang diturunkan secara turun temurun. Yang menarik dalam ilmu kesehatan jiwa, gangguan terhadap cerapan indera dan stimulus otak akan menciptakan penyakit yang disebut dengan Psikosa, atau penyakit psikis yang menyerang organ otak menyebabkan pola pikir terganggu,  penyakit ini dominan diderita oleh kaum laki-laki, agar pola fikir tersebut tidak terganggu maka seseorang haru menjaga bintang tujuh (pitu) ini secara baik, memfungsikannya dijalan yang benar dan ditempatkan pada kedudukan yang yang pantas. Untuk menguatkan ungkapan Kuatas ku bintang tujuh munculah ungkapan  lain yaitu “akal ken pangkal”.

2. Kal Pitu Mata

Ungkapan Kal Pitu Mata (Batok kelapa tujuh lubang) secara kasat mata siapapun tidak pernah melihat bila batok kelapa itu tujuh lubangnnya yang ada hanya tiga lubang, pertanyaannya apakah benda ini ada, jawabannya ada, Kal Pitu Mata adalah sebuah tamsilan yang halus  dengan ungkapan kata-kata yang sopan yang hanya dipunyai oleh kaum hawa yang melambangkan kasih sayang dan perasaan, kal pitu mata adalah organ yang menghubungkan kasih sayang seorang ibu terhadap bayinya secara fisik dan psikis dan dapat disapih setelah dua tahun lamanya.

Makna sesungguhnya adalah bahwa dalam kehidupan ini selain diajarkan untuk berfikir maka leluhur suku Gayo juga mengajarkan tentang kecerdasan hati dan perasaan, bahwa untuk mencapai kebenaran dalam hidup selain melalui perantara akal ternyata dengan perantaraan hati (zauk) juga dapat menuju suatu kebenaran. Dalam bahasa sekarang disebut juga dengan kecerdasan spiritual atau majanemen qalbu.  kal pitu mata lebih melambangkan ciri-ciri perempuan, yang perasa, tempat kasih sayang sebagai wujud penyeimbang bila jankauan berfikir itu terlalu tinggi. Perlu diketahui bahwa menurut ilmu kesehatan jiwa, gangguan terhadap perasaan (bathin) disebut dengan penyakit Neurosa, dalam bahasa sehari-hari disebut tertekan batin atau dalam Bahasa Gayo disebut dengan “mubarah ate”, yang dominan diderita oleh kaum perempuan. Agar  kecerdasan hati ini terus terjaga maka seseorang harus menempatkan dan menjaga kecerdasan ini dengan memfungsikanya dengan baik dan sebagai penyeimbang batin, dan meminimalisir penyakit hati berupa, dendam, tamak, iri, dengki dan penyakit hati lainnya. Ungkapan kutuyuh kal pitu mata tercermin dalam ungkapan lain yang disebut dengan “Kekire ken belenye”.

3.  Menyatukan Bintang pitu dengan kal pitu mata

Pada masa lalu kecerdasan otak dan kecerdasan hati berjalan dengan sendiri-sendiri dan selalu dipertentangkan sehingga adanya dua aliran yang berbeda dalam mencari kebenaran yang hakiki dalam hidup, yang pertama adalah melahirkan filosof-filosof dengan berbagai aliaran sedangkan yang kedua adalah melahirkan para sufi dengan berbagai aliran. Sehingga bila antara seorang filosof bertemu dengan seorang sufi maka filosof itu akan berkata “saya dapat memikirkan apa yang kamu rasakan” sedangkan seorang sufi berkata sebaliknya “saya dapat merasakan apa yang kamu rasakan”.

Sudah saatnya pada generasi muda saat ini memadukan kecerdasan otak dan kecerdasan hati harus dipadukan dalam kehidupan ini karena dengan perpaduan tersebut kehidupan seseorang akan seimbang, seringkali dalam kenyataan bila seseorang tidak seimbang menggunakan potensi berfikir dan berzikir maka orang tersebut sangat mudah terjerumus dalam kekufuran dan kejahilan. Seseorang akan terseret ke arah kekufuran bila terus menerus menggunakan dimensi berfikir secara radikal bila tidak diimbangi oleh kecerdasan hatinya (tawadhu’). Begitu juga sebaliknya bila seseorang terus menggunakan kecerdasan hati tanpa berfikir maka lama-kelamaan akan terseret dalam kejahilan.

Ku atas kubintang tujuh kutuyuh kal pitu mata dalam ungkapan leluhur suku Gayo, apabila generasi muda sekarang tidak memahaminya maka ungkapan ini hanya akan tinggal lambang tampa makna, padahal luluhur suku Gayo telah memberikan dan mewariskan jalan dan pesan kepada generasi muda tentang falsafah keseimbangan hidup, bila kedua ungkapan tersebut disatukan maka lahirlah ungkapan lain yang tujuannya agar generasi selanjutnya dapat menghadapi tantangan kehidupan di masa akan datang  yaitu “akal kin Pangkal kekire kin belenye”. wallahu a’lam.

*Pemerhati sejarah Gayo, tinggal di Aceh Utara

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.