ENTAH MENGAPA, kini ketika mendengarkan lagu “renah rembune” rasanya seperti tertohok oleh pisau yang tak kasat mata. Lagu ini menjadi favoritku sejak beberapa tahun silam. Saat aku mulai menggunakan nickname dengan “rembune”.
Bukan karena makna yang tersirat atau tersurat dari lagu ini lantas aku membahasnya, tetapi lebih kepada mengenang salah seorang personil bandnya yang baru saja meninggal dunia. Irvan Yalfari, atau lebih dikenal dengan sebutan Ivan Wy yang tergabung dalam SABA grup. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan melapangkan kuburnya.
Aku tidak mengenalnya, bahkan tidak pernah melihat sosoknya. Aku hanya sering mendengar suaranya dari lagu-lagu karyanya. Ketika acara “Panggung Rindu Akustika Ivan Wy” digelar, aku sedang di Banda Aceh. Namun pada dasarnya aku juga kurang suka menyaksikan musik secara live.
Alm.Ivan Wy meninggal setelah melakukan operasi usus buntu yang dideritanya. Ah, aku bukan ingin membahas tentang sebab musabab kematiannya. Karena janji Allah SWT “setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati”. Ini tentang pisau yang tak kasat mata itu, yang telah meninggalkan ruang hampa dihatiku.
Ini tentang begitu banyaknya orang-orang yang mengenang Ivan Wy melalui karyanya. Baik teman dekatnya atau teman yang baru mengenalnya belakangan ini. Baik yang telah bersamanya sejak ia masih kecil atau yang tak pernah melihatnya sama sekali seperti aku.
Ya, diumurnya yang baru akan menginjak 43 tahun orang-orang telah mengenalnya sebagai seorang Musisi Gayo yang berbakat. Aku sering disemangati bahkan sampai disindir oleh orang-orang disekitarku untuk konsisten dalam menulis, terus mengasah kemampuan yang kupunya. Dan aku, aku hanya tersenyum atau tertawa mengelak, merasa tidak percaya diri, merasa bahwa kemampuan menulis ini akan terus kugenggam kendati tak pernah menelurkan karya.
Sungguh, aku benar-benar tertegun membaca berita mengenai almarhum. Terkenal namun tetap dengan kesederhanannya. Terkenal tidak lantas membuatnya menjaga jarak dengan orang-orang disekitarnya. Terkenal namun tak pernah berpikir untuk berhenti berkarya. Selamat jalan Ivan Wy, aku yakin bukan hanya sebulan-dua bulan ini saja karyamu dikenang, bukan setahun-dua tahun orang-orang merasa kehilanganmu.
Terima kasih telah menyematkan pisau tak kasat itu secara tidak langsung, ini membuatku berpikir untuk terus berkarya. Aku juga ingin sepertimu, dikenang melalui karya, bukan karena rupa, anak siapa atau telah melakukan berita sensasional apa. Selamat jalan Ivan Wy, “Allahhummaghfir lahu warhamhu wa’aafihi wa’fu anhu, Yaa Allah ampunilah dia, berilah rahmat, kesejahteraan dan ma’afkanlah dia. (Ria Devitariska)