Mewariskan Shalat

Oleh Johansyah*


Dalam salah satu ayat, Allah swt berfirman; ‘dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan Bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa’(QS. [20] Thaha: 132). Sementara itu, Nabi Saw bersabda; “’Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat sejak mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah ia jika melalaikannya, ketika mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka dari tempat tidurnya’ (HR Abu Daud dan Al Hakim).

Esensi dari ayat dan hadits di atas adalah bahwa shalat merupakan perintah penting bagi setiap muslim dan menjadi pilar utama kedua dalam rukun Islam. Sekiranya kembali kepada sirah nabawiyah, shalat merupakan kado istimewa yang diberikan Allah kepada Nabi Saw ketika mengadakan lawatan isra’ mi’raj. Saat itu Nabi Saw berkomunikasi langsung dengan Allah tentang jumlah waktu shalat yang diwajibkan kepada umat Islam. Setelah melalui beberapa kali dialog, maka ditetapkanlah shalat itu wajib dilaksanakan lima kali sehari semalam dengan hitungan tujuh belas rakaat.  

Rukun Islam kedua ini, dapat dikatakan sebagai pusaka spiritual yang harus diwariskan secara estafet dari generasi ke generasi. Makanya ketika seseorang telah berumah tangga dan dikaruniai anak, Nabi saw memerintahkan untuk memperkenalkan shalat, mengajarkan, dan membiasakan mereka dengan ibadah tersebut. Bahkan orang tua diminta untuk melakukan berbagai pendekatan agar anak sadar diri untuk mendirikan shalat.

Shalat merupakan tiang agama sekaligus menjadi identitas seseorang yang mengaku pemeluk agama Islam taat. Ini artinya bahwa shalat menjadi garansi mutlak bagi seseorang untuk mendapatkan legalitas amalan-amalan baik selain shalat. Atau dengan kata lain, shalat menjadi stempel tanda sahnya amalan lain yang dilakukan seseorang. Berarti tanpa shalat semua amalan akan menjadi sia-sia dan fatamorgana belaka.

Hal ini jelas menjadi alasan utama mengapa anak kita perlu diajarkan shalat. Jika dipertanyakan mengapa shalat yang menjadi tiang agama dan mengapa bukan ibadah yang lain seperti puasa, zakat maupun haji. Setidaknya ada dua alasan pokok; pertama, dari aspek normatif kita tau bahwa shalat merupakan perintah Allah kepada para hamba-Nya dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan.

Kedua, dari aspek filosofis, bahwa ibadah ini merupakan bentuk kominikasi rutinitas langsung dengan Allah kapan, di mana, dan dalam situasi apapun?. Selain itu bukankan shalat juga tidak membutuhkan kekuatan fisik dan biaya. Orang yang tidak mampu shalat berdiri dipersilakan untuk duduk, jika tidak sanggup berbaring dan seterusnya.

Bandingkan dengan puasa yang hanya dilaksanakan setahun sekali dan membutuhkan kekuatan dan kesehatan fisik. Bandingkan juga dengan zakat, di mana orang-orang yang diwajibkan zakat adalah mereka yang secara ekonomi telah mapan dan tentu tidak semua orang memiliki kondisi ekonomi yang sama antara satu dengan yang lainnya.

Lebih dari itu, nilai esensial lain dari ibadah ini adalah bahwa Allah siap melayani hamba-hamba-Nya di setiap saat dan secara tidak langsung sebenarnya Allah menginginkan hamba-hamban-Nya untuk selalu dekat. Hal ini tergambar dalam salah satu titah-Nya; ‘Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadaku, maka sesungguhnya Aku sangat dekat, akan Aku kabulkan do’a orang yang memohon kepada-Ku sekiranya dia berdo’a. hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku, beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran (QS. [2] albaqarah: 186).

Ibadah shalat juga merupakan bagian dari pembentukan karakter dan pribadi  muslim tangguh. Shalat pada hakekatnya merupakan remot kontrol bagi amalan-amalan mereka yang lain. Ekspektasi alqur’an dari ibadah ini adalah agar shalat mampu mencegah seseorang dari kemungkaran dan berbagai bentuk penyimpangan amal (QS. [29] al ankabut: 45).

Dalam pemahaman yang lebih holistik, shalat yang dilakukan seseorang sebenarnya bukanlah terbatas pada lima waktu sehari semalam, akan tetapi shalat diharapkan mampu mewarnai setiap amal yang dilakukan manusia kapan dan di manapun tanpa kecuali. Bukankah dalam shalat setiap kita mengakui bahwa hidup dan mati hanya untuk Allah swt? Ini artinya tidak sedetikpun dari detak jantung nafas kita yang alpa dari mengingat Allah swt.

Butuh Habituasi dan Keteladanan

Untuk menjadikan shalat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan anak, maka orang tua harus menerapkan metode habituasi (pembiasaan) dan keteladanan dalam rumah tangganya. Bagi orang tua rasanya sulit mengajarkan dan membiasakan anak mereka untuk shalat sementara dia sendiri belum mendirikannya. Artinya jika orang tua ingin anak-anaknya menjadi muslim yang rajin mendirikan shalat, maka sejatinya dialah yang lebih dahulu melaksanakannya.

Anak sebagai orang yang dididik sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan dalam keluarga dan suasana lingkungan sekitarnya. Namun pengaruh lingkungan negatif relatif dapat teratasi ketika sistem dan manajemen pendidikan keluarga tertata dengan baik, karena anak sudah dibekali dengan fondasi agama yang kuat dan kokoh, sehingga mampu memilter mana yang baik dan buruk.

Ingatlah, anak merupakan amanah Allah yang sangat berharga. Untuk itu, orang tua dituntut untuk mampu menjaga amanah tersebut dan mampu mengembalikannya dalam kondisi yang sama kepada Allah. Kondisi sama yang dimaksud adalah bahwa anak dilahirkan ke dunia suci tanpa dosa. Maka orang tua diharapkan mampu menjaga kondisi suci ini, walaupun tidak mungkin tanpa secuil dosa, akan tetapi setidaknya anak sudah mengenal siapa Tuhannya, Nabinya, kitabnya serta menyadari eksistensi dirinya.

Barangkali, kita perlu belajar banyak dari sosok Lukman Hakim yang dikisahkan dalam alqur’an. Dia merupakan sosok orang tua ideal yang selalu memberi keteladanan, nasehat dan bimbingan kepada anaknya. Di antara nasehatnya adalah perintah tentang shalat, agar anak tidak melakukan syirik (menyekutukan Tuhan), berbuat baik kepada orang tua, imbalan dari setiap amalan, tidak boleh angkuh, dan Lukman juga mengajarkan anaknya untuk berbicara santun (baca QS. [31] Lukman: 12-19).

Akhirnya, isra’  mi’raj sejatinya dijadikan sebagai momentum reaktualisasi perintah shalat. Jika dulu Allah menghadiahkan shalat kepada Nabi saw, maka sebagai orang tua muslim sejatinya kita tidak sekedar mewariskan harta kekayaan duniawi kepada mereka melainkan mewariskan shalat dengan mengajarkannya agar anak mengenal Sang Maha Besar yang menciptakan bumi dan langit serta segala isinya.

 

*Johansyah, Pegiat Studi Islam, tinggal di Takengon

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.