Membangun Aceh Dalam Imajinasi Ku


Oleh: Tarmizi Age (Mukarram)*

Aceh adalah tempat leluhurku, aku terasa bangga menjadi anak Aceh seperti mereka yang juga bangga menjadi bangsa Yahudi. Selama ini aku tak pernah berpikir untuk malu menjadi anak Aceh, bahkan aku bangga menyebut “Aceh” pada sesiapa yang aku perkenalkan diri.

Kalau aku katakan “Aku mencintai Aceh” mereka juga mencintainya, berarti perasaan ku tidak ada bedanya dari perasaan mereka yang tumbuh di Aceh. Jika ku katakan aku merinduinya mereka juga merantau, jadi sangat sulit menemukan kenapa di kala tidurku sering ku sebut “Aceh”, seperti mana ku dengar pada orang-orang yang terjaga ketika aku pulas.

Karna tak ingin membuang waktu, aku tak mau mencari jawaban dari sebuah pertanyaan  yang sulit, tapi aku buka halaman lain yang lebih gampang sehingga aku tak nampak kusut sekalipun sedang memikir sesuatu yang payah dan membebankan.

Matahari keluar terlalu lambat di musim salju, di tambah dengan keadaan yang kedinginan atau sering di sebut dengan ”minus” tat kala itu di luar rumah ku, membuat tubuh tak selera membawa diri pada weekend itu, aku pikir biarlah di rumah hari ini, sekalipun aku tak piknik, minimal aku sudah bisa simpan uang jatah minyak mobil yang wajib ku isi jika aku keluar.

Pikiran kubiarkan saja menghayal, kalau aku pulang nanti ke tanah di mana leluhurku di lahirkan dan juga aku, tentu aku bisa buat sesuatu untuk mengisi tanah itu jika aku punya uang. Aku bisa mengajak bansa ku bekerja menghidupkan lahan-lahan kosong (lampoeh soeh), sehingga tanah yang di tinggal leluhurku jadi hijau, indah, dan menghasilkan uang yang kemudian akan membuat anak-anak selalu ceria karena mereka bisa mendapat makanan yang sihat setiap hari.

Jika orang-orang ada kerja, pengangguran sudah tiada, kemiskinan hanya tinggal nama, semuanya suka memberi dari pada hanya ingin menjadi sebagai penerima, dan tentu sekali bansaku akan sekolah tinggi-tinggi karena tidak pernah terhalang dana, dengan itu tanah leluhurku akan di urus dengan baik untuk kemudian beralih tangan buat anak cucunya.

Aku ingin sekali melihat ”Aceh Goet” (Aceh bagus) tapi agar semua orang bisa hidup mulia dan bahgia, tapi apa yang harus kulakukannya.

Ok, kita memeliki tanah yang luas  serta subur, ini adalah anugrah tuhan yang harus segera kita manfaatkan, kita bersihkan, kita buat pagar, kita jadikan lahan pertanian dan peternakan dan pertanian serta pariwisata. Tapi aku dengar teman-teman bilang, di Aceh susah sekali menjual hasil panen, harganya terlalu murah, tak sesuai dengan modal dan tenaga yang kita pergunakan untuk bekerja, jadi bagaimana jika aku juga harus menerima nasib yang sama nantinya, Oe, begini, kalau tanam sesuatu harus luas (banyak), jadi sekalipun untung sedikit tapi karena ia banyak, maka untungpun jadi banyak, apa lagi kalau pemnerintah di tanah leluhurkun mau mengeksport ke luar negeri, tentu ekonomi para petani-petani mengembirakan.

Ya, kalau petani ada uang, kedai-kedai akan laku apa saja yang di jual, uang berputar cepat, semua orang akan menempati posisi masing-masing sesuai keinginan dan pendidikan serta pengalamannya.

Tapi kita tetap ada kendala, jalan-jalan ke areal lahan kosong (lampoeh soeh) tidak bagus, kalau musim hujan langsung tak boleh mudik, bagai mana ini, alah jangan selalu memikirkan yang besar, apa lagi setelah di pikirkan tak juga bisa di buat, sebab aku taka da uang untuk buat jalan, begini, lampoeh soeh (lahan kosong) terus di isi dengan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan pariwisata, pasti lah pemerintah tak mau tinggal diam nantinya, apa lagi di lihat setiap hari berbari (meureunue) orang pingkul (gulam) hasil panen untuk menjualnya, benar, jadi sekarang buat dulu apa yang kamu boleh buat, dan mereka akan buat apa yang bisa mereka buat.

Sepakat, pikiran k uterus terpancing dengan situasi dimana Negara yang aku diami sekarang, di negera ini 6 bulan tak bisa di tanam apa-apa sehingga musim salju pergi dan musim semi mulai tiba, tapi mereka bisa bagi memngurus rakyatnya samapi ke pampers anak-anak (di beri uang 3 bulan sekali), kenapa di tanah leluhurku yang tidak ada salju, tanaman tak cuti, tapi justru hidup tak mencukupi, ah, ini pasti karena kita tidak memanfaatkan apa yang dimiliki Aceh dengan baik, di tambah dengan sikap kepedulian pemerintah yang tidak sungguh-sungguh untuk melawan kemiskinan dan pengangguran.

Aku lipat jemariku, kuhitung berapa lama sudah Aceh di sebut di bawah Indonesia (menerima uang dari pusat) kata mereka, tapi kemana uang itu sehingga jalan untuk petani mencari rezeki tak siap, alah, malas ku pikirkan, biarlah uang itu di pakai siapa saja, yang penting sekali, aku harus buat apa saja yang aku bisa untuk tanah leluhurku, jika aku tak henti-henti berbuat suatu hari “Imajinasi ku” pasti terwujud.

*Tarmizi Age (Mukarram) adalah Inisiator Aceh Goet (AG), tinggal di Denmark

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.