Bogor | Lintas Gayo – Orang Gayo bersifat terbuka, toleran, dan akomodatif terhadap perubahan. “Karenanya, masyarakat di Takengon lebih majemuk. Soalnya, banyak pendatang yang mendiami Takengon,” kata Zainun di Perumahan Cimangir Serpong Estate beberapa waktu lalu.
Dalam amatannya, kata laki-laki asal Lhuksukon dan sudah meninggalkan Aceh sejak tahun 1994 itu, menilai kemajukan tadi berpengaruh terhadap pemakaian bahasa ibu. Dalam praktiknya, ungkapnya, orang Gayo akhirnya lebih memilih bahasa Indonesia ketimbang bahasa Gayo. Penggunaan itu lebih untuk menghargai pendatang.
“Beda sama kami di pesisir, kami lebih berbahasa Aceh. Sebab, tidak semajemuk Takengon. Malah, banyak orang tua dulu yang sampai sekarang tidak bisa berbahasa Indonesia,” akunya.
Secara terpisah, Samsul Bahri dan Kandar SA, dari Group SABA, mengakui kekhawatiran akan kelangsungan bahasa Gayo. Pasalnya, orang-orang Gayo sudah mulai meninggalkan bahasa Gayo.
“I kite so, kekanak kucak pe nge be basa kede. Lagu gere pane ne be basa Gayo pakea (Di kita sana [tanoh Gayo—Takengon khususnya], anak-anak kecil pun sudah berbahasa Indonesia. Rasanya, mereka tidak pandai lagi berbahasa Gayo),” sebutnya miris. (al-Gayoni)