Takengon | Lintas Gayo – Mulalen pasa, itulah istilah Gayo untuk “membunuh” waktu sambil menunggu tibanya waktu berbuka. Bagi mereka yang tinggal di kawasan perkotaan, barangkali berbelanja di mall atau pusat-pusat kuliner dijadikan sebagai sebuah solusi. Tak terkecuali, ada juga yang menghasbiskan waktu di obyek-obyek wisata. Sebaiknya, kita disarankan untuk beri’tikaf di masjid-masjid.
Berbeda dengan anak-anak di Desa Atu Singkih, Kecamatan Rusip Antara Kabupaten Aceh Tengah. Mereka tinggal di arah Barat, sekitar 40 kilometer dari ibukota kabupaten itu, “membunuh” waktu atau mulalen pasa dengan main perang-perangan menggunakan meriam bambu.
Anak-anak dari desa terpencil itu membagi diri menjadi dua kelompok sesuai letak rumahnya. Satu kelompok mengambil posisi dipinggir jalan negara Takengon-Pameu, sementara yang satu lagi berada di atas bukit. Gaya mereka seperti perang benaran, ada komandannya ada juga anak buahnya.
Ketika Lintas Gayo tiba di lokasi “perang” meriam bambu itu, Jumat (27/7) sore, sempat terkejut mendengar ledakan keras dari atas bukit. Serasa berada dalam suasana perang sesungguhnya, seperti masa konflik Aceh tahun 2000-2005 lalu. Akibat trauma konflik Aceh, tanpa sadar sopir yang mengemudikan mobil rombongan Lintas Gayo segera meminggirkan kenderaan. Dia berteriak: Peraaannggg…tiarap! Karena benar-benar terkejut, seluruh penumpang minibus itu melompat keluar mencari posisi berlindung.
Kami tertipu, ternyata setelah mengintip dari balik mobil, warga setempat terlihat tenang-tenang saja. Malah, sejumlah anak berlompatan sambil bersorak begitu ledakan keras berbunyi. Lintas Gayo mengamati situasi dengan seksama, diseberang jalan terlihat sejumlah remaja sedang meniup meriam bambu. Ah, ternyata hanya perang-perangan menggunakan meriam bambu.
Supaya tidak terlihat kami kecele, Lintas Gayo mendekati lokasi perang-perangan itu. Kemudian mengambil foto empat orang anak yang menjadi operator meriam bambu. Terlihat ada anak yang sedang meniup asap dari meriam bambu, ada juga yang sedang memicunya dengan api. Buuuumm, terdengar ledakan keras dari sepotong bambu betung, sejenis bambu kualitas nomor satu. Dari ujung bambu itu, tersembur api disertai asap putih.
Ketika meriam bambu itu mengeluarkan suara yang sangat keras, penonton termasuk orang dewasa yang berada dilokasi perang-perangan itu memberi applaus. Operator meriam bambu makin semangat, dibuktikan dengan upaya cepat meniup asap dari lubang yang sengaja dibuat dipangkal bambu. Operator yang lain meminta tambahan bensin agar ledakan dari meriam bambunya lebih keras lagi.
Hampir setengah jam Lintas Gayo menyaksikan perang-perangan yang sangat seru itu. Kedatangan Lintas Gayo dan rombongan, disadari atau tidak, sesungguhnya telah membuat suasana perang-perangan makin seru. Operator meriam bambu yang dibantu oleh rekannya berusaha meniup asap secepatnya, supaya tidak terlambat meledakkan meriam bambu itu. “Mereka baru berhenti setelah tiba waktu berbuka puasa,” kata salah seorang warga yang berselimut kain sarung. (TimLG)