Kemukiman “Serule” Miskin Karena Sistem

BERAGAM wacana kita dengar di bulan ramadhan. Namun, upaya mendekat kepada sang Khalik dan sesama umat tentu menjadi tujuan utama dari sebuah rencana. Hampir setiap tahunya di bulan ramadhan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Takengon berbagi bersama saudara-saudara kita di daerah terpencil. Berikut laporan Lintas Gayo yang mengikuti kegiatan tersebut di Kampung Serule, Kecamatan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah beberapa hari lalu.

Benar, ada gejala kemajuan dalam sejumlah sektor perekonomian, tetapi di kampung Serule masih banyak saudara kita tertingal, hidup dalam kesempitan dan ketidak layakan. HMI Cabang Takengon menjadi inspirasi bagi kita dalam berpuasa, supaya kita semakin peka terhadap nasib sesama saudara kita yang kurang beruntung.

Jum’at sore, (27/7) peka lalu. Sekitar 3 jam jarak tempuh Takengon-Serule, memasuki Kampung Bintang ke Kampung Serule kondisi badan jalan dipenuhui dengan batu dan berlubang, tidak ada pengerasan dan pengaspalan,  jalan yang di buka oleh PT KKA itu menjadi keluhan  warga Serule.

Jalan yang membelah hutan Kampung Serule, sepada motorku meraung-raung. Ini jalan satu-satunya jalan yang menghubungkan desa itu dengan kantor Kecamatan Bintang, kabupaten Aceh Tengah. tak hanya berlubang dan berbatu, jalan sepanjang 20 kilometer itu kalau musim hujan akan berlumpur.

Warga Selure sudah jenuh  memohon  pengaspalan jalan, berbagai cara dan upaya sudah dilakukan, hingga mahasiswa pun turun tangan berujuk rasa. Namun jalan belum juga di perbaiki. “Pemerintah daerah  berdalih, jalan ini merupakan jalan Propinsi, harus di danai dari sumber APBA, anehnya bukan dari APBA, tapi APBN,” Kata Syukran, Ketua HMI Cabang Takengon yang sering  menagih janji pemerintah untuk pengaspalan jalan Serule.

Gara-gara jalan rusak itu pula, warga serule tertinggal dan serba kekurangan. Mata pencarian seperti,  Gula Aren, Padi, pinang, kemiri, kopi dan ternak terpaksa harus di jual murah. Selain itu, Nurdin, (50) Kepala Sekolah SD Serule mengatakan, anak-anak Serule yang mengenyam pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah menegah pertama  saat ini kondisinya kekurangan Guru.

Lain halnya di kota, kondisi Guru malah sudah berlebih, pemerintah tidak adil mendistribusikan para Guru. Dikota Guru menumpuk. Jika di bulan Ramadhan anak sekolah kerap melaksanakan kegiatan pasantren kilat. Namun,  siswa-siswi di Serule tidak, tak ada yang mengajarkan mereka, karena kekurangan Guru dan  kebanyakan Gurunya berdomisili di Takengon.

”Tau sendirilah, mana ada yang mau gurunya mengadakan pasanteren kilat, ya  mungkin  saja karena jauh,” kata Slamat kepala UPTD Bintang.

Untung saja kader HMI tidak tinggal diam untuk beramal membantu warga Desa Serule. Program yang dibawa dengan thema “HMI Kembali Untuk umat” digelar selama Sepuluh hari dengan kegiatan seperti, pasanteren kilat, Safari Ramadhan, Bakti sosial dan Curhat bersama warga. 40 kadernya  lainya kemudian di bagi menjadi beberapa kelompok yang tersebar dalam tiga desa, diantaranya Desa serule, Atu Payung dan Jamur konyel.

“Pagi hari kami mengadakan pasantren kilat di Sekolah, pada sore harinya kami curhat bersama warga, kadang membantu aktivitas warga, malamnya kami bertausiah di menasah dan masjid di desa serule,” papar tarmiji Ketua Panitia Student Work Camp  di sela-sela kegiatan HMI.

Kepedulian Lusmaini salah satu kader HMI bidang Pemberdayaan Perempuan dalam membimbing dan mengajarkan cara menari tari Guel, hanya denga instrumen tepukaan gendang dan lagu Lusmaini bersama teman-temanya  mengajari anak-anak serule menari.

Tari Guel yang di ajarkan Lusmaini kepada anak-anak Serule, menurut pak Safarudin aman sofa, adalah tarian yang berasal dari Serule sendiri, nyayian-nyaian dan gerakan untuk menarik perhatian Gajah Putih yang di perankan oleh Sengeda di depan Istana raja di Kute Reje. Kisah singkat aman sofa sesaat menceritakan Sejarah Asal Linge Awal Serule kepada kader HMI.

Bagi anak laki-lakinya mereka di ajarkan berdidong, “bermain didong sambil menunggu berbuka puasa,” Kata Ridwan yang kini duduk di kelas 5 SD Serule saat meningkah dan lantukan didongnya bersama kader HMI Cabang Takengon.

Kampung Serule yang terletak di bagian Timur wilayah Kabupaten Aceh Tengah itu, di huni sekitar 100 Kepala Keluarga terdiri dari Kampung jamur konyel, Atu payung dan Serule. Kampung serule masuk bagian belantara hutan pinus dan hutan hujan tropis yang masuk dalam kawasan hutan taman buru.

Menurut Kepala kampung Atu Payung, semenjak masuknya dalam kawasan hutan buru, warga  kesulitan mendapatkan kayu, selain itu juga kami sulit mendapatkan lahan baru.”padahal tanah ini kan tanah adat yang kami miliki sejak dulu, sementara masih banyak pemuda desa yang tak kerja”. Kata Arman

Lanjut Arman, begitu juga dengan kerbau. Memang benar, Kampung Serule adalah kawasan peternakan kerbau atau Peruweren. Seluas kawasan daerah Serule sekitar ribuan ekor kerbau ada disini. Namun, pemilik ribuan kerbau itu bukanlah milik warga Serule, tapi kebanyakan milik orang bintang dan sebagian dari daerah lain. Baru sebagian kecilnya milik warga Serule.

Serule, Kampung di belantara pinus ini, secara kasat mata adalah daerah yang sangat kaya. Pinus adalah bahan industry pulp atau bahan kertas. Demikian juga ribuan ekor kerbau berkeliaran dikawasan ini. namun itu bukan kepunyaam mereka.

Hanya  di bagian Timur dan Selatan Serule, terlihat  hamparan  sawah yang menguning, sebagaianya ada pohon aren, kelapa dan kemiri. Hanya itu punya kami,” Kata Arman. (Maharadi)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.