Politisi dan Puasa

Oleh: Amdy Hamdani*

“Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus”

“Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa” (QS: Al Baqarah 183)

 HAKEKAT Puasa adalah menahan. Tidak hanya untuk menahan lapar, dahaga dan hubungan suami isteri, tetapi  puasa bermakna menahan nafsu penglihatan, pendengaran maupun penciuman dari hal-hal yang tidak baik termasuk nafsu syahwat.

Dengan berpuasa, kepada kita juga disuruh belajar bagaimana merasakan lapar dan dahaga, mengetahui bagaimana rasanya hidup dalam kekurangan. Sebenarnya yang perlu ditekankan pada ibadah wajib tahunan ini adalah esensi tentang bagaimana mengelola diri untuk bisa hidup tidak berlebihan, sewajarnya, dan juga tidak merasa kekurangan. Situasi puas dengan keadaan seperti ini juga disebut sebagai sikap “Qanaah”, merupakan kebalikan dari sikap berlebihan. Bila sikap qanaah hilang, maka lingkungan kita hidup dipenuhi perlombaan keserakahan, tamak dan loba.

Bila puasa berhasil dilaksanakan, orang memperoleh manfaat–salah satunya yaitu kita telah menjaga kesehatan fisik kita. Tetapi, keberhasilan menjalankan misi puasa sebenarnya juga dapat mengilhami perbaikan di banyak sektor kehidupan, terutama Sektor Kekuasaan yang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan hangat di tengah masyarakat. Sudah lazim diperdengarkan bahwa kekuasaan punya godaan, selain tahta, harta, juga wanita.

Pembenahan Sektor Kekuasaan

Dalam khazanah politik dikenal bahwa tahta merupakan sarana untuk mendapat harta dan wanita. Oleh karenanya dalam berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini, para politisi harus mencamkan secara benar bahwa dia akan berhasil berpuasa bila dia tidak melakukan hal-hal yang hanya menguntungkan perut dan mengumbar nafsu syahwat.

Sekarang ini, masalah besar yang dihadapi politisi Indonesia, termasuk para politisi di daerah Gayo akhir-akhir ini adalah korupsi – yang berkaitan dengan perut dan syahwat. Korupsi secara langsung adalah perbuatan yang melanggar perubahan yang dibawa Rasulullah SAW, yaitu disiplin dan ketaatan. Kerusakan mental bangsa karena hancurnya disiplin akibat tindakan korupsi menurut para pakar politik bisa berdampak luas yaitu rusaknya persaudaraan, kitapun terseret hidup dalam permusuhan, dan bukan tidak mungkin akan menyeret sebuah bangsa akan bercerai berai!

Persoalan korupsi yang berkaitan dengan tahta yang dijadikan sarana untuk memperkaya diri “power tends to corrupt” bisa disaksikan dengan jelas dari kasus penangkapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu terhadap anggota DPR-RI berinisial LIN dari F-PAN, yang dituduh menerima suap senilai 6,25 M terkait dengan alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dalam Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) tahun 2011 untuk tiga kabupaten di Aceh yaitu kabupaten Bener Meriah, Aceh Besar dan Pidie Jaya. Sederet nama lainnya seperti MA dari F-Demokrat, TL dari F-PKS dan sejumlah pejabat publik lainnya masih antri dalam pemeriksaan yang dilakukan KPK, terkait dengan kasus tersebut.

Sementara persoalan tahta yang dijadikan sarana untuk memenuhi syahwat bisa dilihat dari kasus pemecatan beberapa tahun silam yang dilakukan Badan Kehormatan DPR-RI terhadap MM, anggota DPR dari FPDIP yang dituduh terlibat syahwat dengan seorang berinisial D yang pernah menjadi asisten pribadinya, begitu juga dengan nasib anggota F-Golkar berinisial YZ yang video mesumnya bersama seorang kader Nahdlatul Ulama berinisal ME bocor ke publik, atau isu tidak sedap yang pernah menimpa Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) berinisial SB menjalin asmara dengan seorang artis berinisial NP.

Apa yang terjadi di puncak-puncak kekuasaan itu, niscaya hanyalah contoh semata untuk menunjuk bahwa hal serupa bisa terjadi dan bahkan bahkan lebih hangat dijadikan bahan pembicaraan di tengah masyarakat dalam lingkungan yang lebih kecil di sekitar kita di daerah.

Karenanya merupakan hal yang seharusnya bagi politisi kita untuk memahami keinginan masyarakat, yang tidak membutuhkan slogan yang terlalu besar untuk diemban, kepada mereka cukuplah dengan menunjukkan diri sebagai sosok yang berdisiplin dan taat menjalankan fungsi dan tugas dengan penuh tanggungjawab dan makan dari rizki yang halal saja.

Tetapi justru di sana tantangannya, rupanya pola pemimpin yang menekankan pelayanan prima terhadap kepentingan publik belum menjadi atau dijadikan pegangan oleh para elit politik kita. Dalam hal itu, bahkan selama ini yang berlaku adalah pemelintiran arti politik, dimana politisi bukannya melayani, yang ada justru merekalah yang minta dilayani. Dari pelayanan yang formal sampai pada pelayanan yang tidak formal, seperti tergambar dalam contoh kasus anggota DPR-RI Max Moein dengan asisten pribadinya.

Ditambah lagi dengan tampilan alias penampilan segelintir politisi yang mendandani diri dengan produk kelas wahid alias barang mewah kelas impor, misalnya mobil dinas pejabat atau mobil pribadi pejabat public,– jelas makin kontras dengan keadaan rakyat yang kehidupan ekonominya semakin terjepit.

Maka di dalam momen berpuasa tahun 1433 H ini para politisi kita terutama di daerah kita ini perlu ditekankan harus punya kemauan untuk mengambil hikmah. Kalau mereka sukses berpuasa, sebagai politisi mereka harus sukses untuk tidak rakus, tamak dan loba. Tidak mengumpulkan uang hanya demi mengejar kenikmatan perut dan mengumbar syahwat.

Sebagai politisi, mereka haruslah kembali kepada hakekatnya sebagai politisi, mereka tentu boleh mengumpulkan uang tetapi harus diingat bahwa salah satu fungsi puasa adalah sarana evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukan. Maka sukses puasa akan menutup kelemahan para politisi dengan kembali kepada fitrahnya, yaitu memperjuangkan kepentingan rakyat karena bukankah politisi adalah pemegang amanah rakyat?

Penutup

Menjadi pemimpin adalah suatu hal yang diidam-idamkan hampir setiap orang, namun demikian dalam al-qur’an jelas disebutkan “tiap-tiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai tanggungjawabnya tentang apa yang dipimpinnya itu.” Pendek kata, sudah semestinya para pemimpin kita tahu bagaimana cara mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dalam hal ini menjaga diri dari segala perbuatan yang hanya mendatangkan mudharat bagi rakyat.

Jadi, para politisi akan bisa mengambil hikmah puasa apabila mereka dapat mengontrol, mengendalikan hal-hal yang berkaitan dengan perut dan syahwat, selain kembali kepada fitrahnya sebagai orang yang memegang amanah rakyat, orang yang memegang mandat rakyat, orang yang berjanji kepada rakyat, dipilih langsung oleh rakyat.

Bila demikian sewajarnya bila kita sebagai rakyat dalam momen puasa ini mengingatkan agar politisi jangan menipu rakyat hanya untuk memenuhi rasa dahaga dan lapar atas perut maupun syahwat. Perlu bagi para politisi mengidamkan dahaga dan lapar untuk memperteguh imannya dan mudah-mudahan kita selamat.Wallahualam bisshawab. (amdy_73[at] yahoo.com)

*Wiraswasta/Mantan Direktur Penguatan Kapasitas Reintegrasi BRA, Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.