Coretan: Subhan Gayo
Aku mengenangmu kini kampungku, Pondok Baru.
Dari sebuah tempat yang tidak pernah ada dalam anganku sebelum ini
Tentang orang- orang yang sederhana dan rumah-rumah kayu berlantai tanah dan tanpa jendela kaca berderet memanjang dan mengikuti sisi jalan berbatu
Tentang harapan yang dibentangkan pada bunga-bunga kopi putih cemerlang tanda musim buah tiba, sebentar lagi akan ada panen untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari
Tentang awan bergerombol yang menggantung berhari-hari meredupkan suasana, cahaya matahari butuh tenaga lebih dari biasanya untuk menerobos sampai ke tanah, seperti itulah hawa sejuk terjaga agaknya
Tentang hujan dan angin yang menggigilkan tulang yang menyertai kedatangan gerombolan depik di Danau Lut Tawar sana, itulah hari-hari dengan suhu terendah sepanjang tahun yang membutuhkan ketabahan menghadapinya
Tentang air sedingin es yang selalu berhasil memuncakkan keenggananku untuk sekedar membasuh tubuhku, alangkah relanya aku berhari-hari tak mandi, dan alangkah bangganya aku bila akhirnya mandi, laksana telah melakukan pekerjaan yang tidak semua orang mampu saja
Tentang lampu teplok dan petromak yang kalah wibawa disergap gulita yang cahayanya sesekali menerobos lewat celah-celah dinding yang tak rapat, betapa seringnya aku berharap agar malam cepatlah berlalu, kegelapan selalu punya sisi yang menakutkanku
Tentang suara jangkrik dan desau angin malam yang menjadi musik pengantar mimpi, terkadang ditimpali lolongan anjing kampung memilukan hati , oh alangkah bodohnya aku yang menahan kencing hingga pagi hanya karena bisingnya kesunyian yang tidak kusukai
Aku mengenangmu kini kampungku, Pondok Baru.
Dari sebuah tempat yang selalu berhasil membangkitkan kerinduanku padamu
Tentang Bapak dan Emak yang biasa telah terbangun dari tidur menyambut azan dikumandangkan sayup dari meunasah Jongok, kepatuhan kepada Sang Khaliq adalah lembar-lembar keseharian mereka
Tentang tungku perapian pengusir dingin yang selalu kami kerubungi untuk berdaring menanti surya di ufuk timur, tempat paling pavoriteku di sepanjang waktu menjelang terang tanah dan senja
Tentang jerangan air yang menjadi menu utama rumah kami, karena itulah yang mudah dan selalu ada
Tentang kepulan uap yang keluar dari ubi atau pisang bakar yang menjadi sarapan nikmat menghangatkan perut
Atau nasi putih panas berjelanta, terasi bakar, ikan asin kepala batu atau saus cecah agur dilengkapi rebusan pucuk muda daun jipang
Tentang omelan sayang Emak yang memanggil kami agar segera berkumpul meludeskan semua hidangan yang ada karena kami masih saja bermalas-malas dengan upuh jebel yang bertempelan perca di sana sini
Tentang Bapak yang tidak banyak berbicara yang mengisi harinya dengan Al Quran, kaca mata tua tebal yang dipakainya sesekali kupakai menjadikan mataku berkunang-kunang, dicermin kecil kuberkaca membayangkan diriku seperti orang-orang aneh yang ada di gambar penanggalan
Tentang hari yang kami lewati dengan kegembiraan dan kesedihan saat hutan-hutan mulai ditebangi, pelan-pelan dingin pergi, minyak goreng pun enggan membekukan diri lagi, aku mulai mencari-cari dimana pohon-pohon kulit manis dan burung cerocok kini berada
Aku mengenangmu kini kampungku, Pondok Baru.
Dari sebuah tempat yang ramainya berlipat-lipat darimu
Tentang Ramadhan yang syahdu, apalah susahnya menambah waktu lapar beberapa ketika lagi saat makanan memang tidak selalu ada di rumah kami pada waktu itu
Tentang lengkingan sirine tanda berbuka sesaat sebelum azan magrib, menunggu semenit bak sejam rasanya meskipun yang menanti cuma sedikit minuman dan panganan sederhana
Tentang keluarga kami yang duduk melingkar di atas rusbang berebutan hidangan yang kata Emak “yang berbuka adalah yang berpuasa ”, dan kami tertawa bercanda melupakan hari-hari yang tidak pasti, apalagi yang lebih nikmat dari kehangatan dan kerbersamaan itu?
Tentang shalat magrib dan tarawih yang diimami oleh Bapak dan bermakmumkan kami, karena meunasah dan masjid terbilang tak dekat, betapa aku merasa keluarga kami begitu terlindungi
Tentang sahur yang kusuap dalam kantuk yang mengunci, tetap saja nikmat kurasakan meskipun tidak jarang berlaukkan kesabaran hati
Tentang Idul Fitri yang suci dan sepotong baju baru utangan Emak kepada pedagang dari Medan yang harganya ternyata minta ampun mahalnya, kutahu Emak pernah menangis karena sulitnya melunasi. Baju yang tidak akan kumau andai saja kutahu ternyata harus ditukar dengan air mata perempuan tua berhati lembut itu.
Tentang Shalat Idul Fitri yang agung, berkumpul dan bermaafan di rumah tua itu, dan betapa air mata ternyata seperti membasuh hati yang keruh oleh khilaf dan dosa kepada semua yang kita sayangi. Ibu dan Bapak selalu menjadi alasan sangat istimewa untuk pulang. Karena merekalah sesungguhnya rumah kami.
Aku mengenangmu kini kampungku, Pondok Baru.
Dari sebuah tempat yang beribu kilometer jauhnya
Apalah dayaku, waktu bergerak tak tertahankan bahkan seperti terasa semakin cepat saja
Apalah dayaku, takdir harus dijalani baik rela maupun terpaksa
Lebaran ini akan kepandangi kau dari kejauhan meskipun hatiku kini telah sampai di sana
Aku menitipkan padamu pusara Ibu, Bapak dan Kakakku Rahma. Katakan bahwa kemanapun pergi di hati dan dalam doaku selalu ada mereka. Sampaikan salam pada semua saudara dan handai taulan, kami di perantauan dalam keadaan baik-baik saja.
Aku mengenangmu kini kampungku, Pondok Baru.
Maafkan aku yang belum bisa berbuat apa-apa untukmu.(subhangayo[at]gmail.com)
Pangkal Pinang, 9 Agustus 2012