Oleh : M. Suhud (Suhud Rajo Sampono)
SIANG itu telepon genggamku berdering, “Assalamu’alaikum, Hud! Ada yang ingin berbicara padamu.” Kata kakakku Darsiah yang biasa kami sapa Yu Yah. Aku mencoba menerka, siapa gerangan yang ingin berbicara. Seraya berpikir, tiba-tiba suara telepon pun berganti.
“Assamu’alaikum,” terdengar lirih suara itu, suara yang tak asing bagiku.
“Wa’alaikumsalam, Subhanallah! Neng, kamu sudah bisa bicara. Alhamdulillahirobbil’alamin. Kakang senang sekali mendengar suaramu.”
Aku memang sangat bahagia, mendengar suara itu. Bagaimana tidak, Ganeng adikku yang nama aslinya adalah Suarsono. Sudah lima hari tidak sadar dan sudah dinyatakan koma di ruang ICU rumah sakit umum di Takengon. Ia menderita penyakit Hepatitis B. Kini ia sudah sadar dan bisa bicara denganku.
“Kakang sudah pesan tiket pesawat. InsyaAllah, lusa kita bisa bertemu.” Kataku menambahkan.
“Kakang cuti kerja? Tidak perlu Kang. InsyaAllah aku segera sembuh,” kata adikku terbata-bata.
“Nggak apa. Kakang memang sudah niat, untuk pulang melihat kamu dan itu seharusnya sudah sejak tiga hari lalu. Tapi karena Kakang juga sakit, jadi diundur pulangnya.” Kataku menjelaskan.
* * *
Alhamdulillah, lega hatiku mendengar Ganeng sudah sehat kembali. Meski masih terbaring lemah di ruang ICU. Dengan bahagia, kutulis doa melalui wall Facebookku.
“Ya Allah, sembuhkanlah adik kami. Saat ini kesadarannya mulai pulih. Aku sangat merindukannya. Berikanlah kami kesehatan, agar bisa segera pulang untuk bertemu dengannya. Amiin ya Rabbal Alamiin.”
Siang itu, aku bisa lebih tenang mengerjakan tugas-tugas kantor. Hampir setiap jam aku menghubungi kakak dan adik-adikku melalui handphone untuk menanyakan perkembangan Ganeng. Sepulang kerja aku berobat ke dokter, berharap agar saat aku pulang ke Takengon badanku sudah kembali sehat pula. Maklum perjalanan Jakarta-Takengon adalah perjalanan panjang yang melelahkan. Hampir dua setengah jam penerbangan Jakarta-Medan ditambah dengan sebelas jam Medan-Takengon dengan bus malam. Aku terus menghubungi saudara-saudaraku. Kali ini Bahar, adik yang persis di bawahku. Bahar mengabarkan kalau Ganeng masih tetap sehat, namun agak sedikit lemas mungkin karena pengaruh obat.
Siang sambil bekerja di kantor, aku cek lagi perkembangan Ganeng. Yu Yah mengabarkan kondisi Ganeng agak melemah lagi, bicaranya mulai meracau.
“Ya Allah, sehatkanlah kembali adikku seperti kemarin. Angkatlah semua penyakitnya, agar ia dapat berkumpul kembali beserta keluarganya dan keluarga besar kami semua.” Aku tak pernah berhenti berdoa untuk kesembuhan Ganeng.
* * *
Aku takut sekali kehilangan adikku. Kemarin malam, suatu ketika aku bermimpi sedang bersepeda dengan anakku Nadif yang berusia enam tahun. Kami mengayuh sepeda masing-masing mendaki gunung, ransel berisi perlengkapan dan pakaian ganti Nadif tergantung di pundakku. Di atas gunung itu aku memandikan Nadif di bawah air pancuran yang sangat jernih dan dingin. Setelah menggantikan pakaiannya, kami kembali naik sepeda menuruni gunung. Tak berapa lama, kami tiba di sebuah gedung yang amat luas. Di dalamnya sedang berkumpul keluarga besarku dari kampung, menyaksikan pertunjukan tarian yang bernuansa antara irama padang pasir dan melayu. Di iringi nyanyian suara laki-laki yang sangat merdu dan indah sekali, sangat selaras dengan tariannya.
“Ya Allah, itu suara Ganeng? Dia sedang sakit, tapi bisa bernyanyi seindah itu?” tanyaku pada orang-orang yang sedang menyaksikan pertunjukan itu.
“Ya kang itu memang suara Ganeng, dia bernyanyi sambil duduk.” Ucap Mar, adik iparku.
Aku menghampiri Ganeng. Dia duduk membelakangiku, sambil terus bernyanyi. “Ya Allah Ganeng, kamu sudah sembuh dan bisa bernyanyi. Aku rindu sekali, aku ingin memelukmu melepas rindu.” Dia menoleh padaku sejenak dan aku langsung memeluknya. Namun entah mengapa tiba-tiba saja Ganeng menghilang dari hadapanku, aku menangis histeris.
“Wis kang, jangan menangis! Ganeng ada kok, dia ndak pergi,”
“Benarkah? tapi mana Ganeng?” Aku terus menangis tersedu-sedu, semua saudaraku yang ada di ruangan itu menghibur dan mencoba meredakan tangisku. Tapi aku tak bisa berhenti. Tangisku semakin keras. Aku belum siap kehilangan adikku.
“Pa…Pa.., Papa bangun! Badan Papa panas, mimpi ya?” Dalam setengah sadar, terdengar istriku membangunkanku.
“Aku bermimpi kehilangan Ganeng, sungguh aku tidak mau kehilangan dia.” Walau sudah terbangun dari tidur, aku masih tak bisa menghentikan tangisku. Aku terus menangis menghiasi malam sepi.
“Tolong segera telepon Imbar, mungkin dia sedang menjaga Ganeng.” Aku bergegas menyuruh istriku dan ternyata malam itu Imbar, adik bungsuku sedang istirahat di rumah. Giliran Bahar yang menjaga. Sambil terus menangis, aku menelepon Bahar.
“Alhamdulillah sehat Kang dan sudah tidur usai shalat Isya,” kata Bahar mengabarkan.
“Tit-tit-tit…” Suara khas peralatan ICU terdengar sayup-sayup di antara suara Bahar.
“Alhamudulillah, aku khawatir sekali. Aku mimpi Ganeng, saatku peluk dia tiba-tiba menghilang.” kataku, sambil terus sesenggukan.
“Tidak apa-apa kang, insya Allah Ganeng akan selalu sehat.” Kata Bahar menenangkanku.
Jawaban Bahar memang menyejukkan, tapi tangisku belum henti. Backsound ruang ICU itu, selalu menghantuiku. Aku sempoyongan beranjak ke kamar mandi, berwudhu dan shalat Malam. Sambil terisak, aku tunaikan shalat malam dua rakaat dan berdoa memohon kesembuhan untuk adikku.
“Ya Allah, semoga ini hanya mimpi. Sayangilah tiga putrinya yang masih kecil, mereka belum siap kehilangan ayahnya. Sembuhkanlah adikku, agar ia bisa kembali berkumpul bersama keluarganya kembali. Amin ya Rabb”.
* * *
Mengingat mimpi itu, mataku kembali basah. Sedang aku bekerja di depan komputer kantor, tiba-tiba telepon genggamku berdering. Jantungku berdetak lebih cepat.
“Hud, apakah tiket pesawatmu bisa dimajukan pulang siang ini ?” kata Yu Yah di ujung telepon.
“Ya Allah. Gimana perkembangan Ganeng, Yu?” Tanyaku cemas.
“Kondisinya memburuk lagi.”
“Ya, ya. Aku usahakan! Mudah-mudahan masih ada tiket pesawat. Saat sedang mencoba mengubah jadwal kepulanganku, kulirik jam yang sudah menujukkan pukul 14.00 Wib. Jika pesawat ada, aku harus pulang dulu dari kantor ke rumah untuk mempersiapkan pakaian. Perjalanan pulang kira-kira 2 jam, lalu ke bandara paling cepat 2 jam. Jadi pukul 18.00 Wib sampai bandara. Jika terbang pukul 19.00 Wib, maka akan sampai ke Medan sekitar pukul 21.30 Wib. Padahal pukul 20.00 Wib, bus malam Medan-Takengon terakhir berangkat. Akhirnya, aku urungkan mengubah jadwal. Aku selalu memantau perkembangan Ganeng, semoga perkembangan kesehatannya semakin membaik.
Tepat Pukul 19.00 saat makan malam, telepon genggamku kembali berdering. Jantungku berdegub kencang.
“Assalamualaikum, Kang Suhud.” Terdengar suara Bahar.
“Innalillahi wa innaillaihi rojiun, jangan sedih ya Kang. Ganeng sudah pergi mendahului kita.”
Aku terperanjat menerima kabar itu. Tak sanggup lagi menyelesaikan makan malam, aku lemas dan mataku langsung basah. Aku merasa bersalah, mengapa aku tidak pulang setelah mimpi itu. Jika saja aku pulang, tentu masih sempat melihat Ganeng. Atau jika saja tadi aku sudah bawa pakaian ke kantor dan langsung ke bandara, tentu saat ini aku sudah berada di Medan, besok paginya aku bisa mengantarkan adikku ke pemakaman. Aku tak dapat menahan tangisku, aku bahkan meraung-raung bagai anak kecil. Anak-anak dan istriku yang menyaksikan semua ikut menangis, mereka tak sanggup meredakan tangisku. Bahkan ketika pamanku menelepon menanyakan kepastian Ganeng telah meninggal dunia, aku menjawab sambil tersedu-sedu. Maka malam itu juga, aku mempersiapkan pakaian dan tas yang akan kubawa pulang menuju kampung halaman besok pagi.
* * *
Pukul 11.30 Wib, aku sendiri berangkat menuju terminal Rawamangun. Selanjutnya menuju Bandara Seokarno Hatta dengan bus Damri. Aku telepon Yu Yah, mengabarkan proses pemakaman almarhum yang baru saja selesai. Aku ikhlas, walau tidak bisa bertemu Ganeng, paling tidak aku bisa pulang menghibur keluarga, melihat pusara, berdoa dan menaburkan kembang di pusara adikku.
Tiba di terminal keberangkatan bandara, aku bergegas turun dari Damri dan masuk ke ruang check in. Gelap dan panas, ternyata bandara mati lampu. Penumpang semakin banyak berdatangan, sehingga semakin sesak. Proses check in belum bisa dilaksanakan karena komputer mati dan tidak terhubung ke server. Setelah delai 1 jam, akhirnya aku bisa terbang juga. Tiba di Medan dua jam kemudian. Pukul 20.15 Wib, bus malam PMTOH yang membawaku ke Takengon pun berangkat.
Sepanjang perjalanan aku sulit tertidur, banyak sekali kenangan-kenangan manis bersama Ganeng. Sejak kecil, masa sekolah hingga dia menyusulku mengadu nasib ke Jakarta. Panggilan Ganeng adalah pemberian Mbah Muchlan, salah satu ulama dan guru ngaji di desa yang sudah kami anggap sebagai orang tua kami. Sebutan Ganeng berasal dari jenong karena jidat Warsono yang waktu kecil agak melebar dan menyembul. Sehingga kami semua, bahkan orang sekampung semua memanggil Ganeng. Kecuali teman-teman sekolah dan kerjanya yang memanggil Warsono.
Saat Ganeng sekolah di STM Langsa Aceh Timur, yang juga merupakan sekolah almamaterku. Aku membantu membiayai sekolahnya yang kukirimkan melalui wesel pos dari Jakarta. Tidak rutin setiap bulannya memang, karena saat itu keadaanku juga belum mapan seperti sekarang. Jika ada permasalahan dalam pekerjaan dan kehidupannya, Ganeng juga selalu menyampaikan dan mendiskusikannya padaku.
Dua tahun, sebelum Ganeng kembali ke Takengon dengan membawa keluarganya. Karena rasionalisasi di perusahaan tempatnya bekerja, Ganeng pun tertarik dengan aktifitas jamaah tablik. Ketertarikan inilah yang membuat Ganeng berubah menjadi religius, rajin mengikuti pengajian di manapun ia berada. Bahkan ia kerap menginap di Masjid berhari-hari. Pakaiannya pun kemudian berubah, lebih sering menggunakan baju koko dan gamis. Rajin membaca buku-buku tentang Islam, sehingga menjadi mubaligh yang mengisi ceramah dan khutbah Jum’at di beberapa masjid. Kini istri dan anak-anaknya juga sudah mengenakan cadar. Gita, putri pertamanya juga di sekolahkan di pesantren. Itu adalah caranya untuk menegakkan syariat Islam, yang dimulai dari dirinya dan keluarganya.
Tidak sampai setahun setelah pulang ke kampung halaman. Ganeng mengikuti seleksi PNS di Aceh Tengah, alhamdulillah ia diterima dan di tempatkan di SMP Negeri di desa kami sebagai bendahara. Selama bekerja di kantornya, Ganeng selalu mengenakan kopiah untuk melengkapi seragam cokelat PNS-nya. Semua kenangan itu kini terus membayang, melintas di hadapanku. Seakan semua itu baru saja terjadi, tanpa terasa air mataku kembali menetes membasahi pipi.
Aku membuka akun Facebook di tablet, karena rindu pada Ganeng yang tak terbendung. Aku mencoba membuka wall-nya yang bernama Ahmad Ridwan Al-Biusi dan membaca statusnya satu persatu yang semuanya bernuansa religius dan nasehat Islami. Aku tertegun dengan salah satusnya yang tertulis, “Mati itu pasti datang! yang jadi masalah apa yang sudah kita persiapkan jika ia datang dengan tiba-tiba?” Sambil gemetar, kutulis pula komentar.
“Adikku, kini engkau telah benar-benar pergi untuk selamanya. Meninggalkan kami semua. Kau telah benar-benar mempersiapkannya menghadap Sang Khalik. Semoga amal kebaikanmu selama hidup, mendapat pahala tak terhingga dan mendapat tempat yang paling mulia di sisi-Nya. Amin”
Setelah shalat subuh, aku berganti menaiki bus kecil di terminal Takengon menuju kampung halaman Burni Bius. Udara sejuk kota dingin, menembus jacket yang kukenakan. Dinginnya sungguh terasa sampai ke tulang. Setelah beberapa bangku penumpang terisi, bus kecil itu melaju meninggalkan kota.
Setelah 1 jam perjalanan, matahari pagi baru saja muncul dari celah bukit ketika bus kecil itu berhenti di depan rumahku. Ransel pakaian dan sedikit oleh-oleh aku bawa masuk ke rumah.
“Assalamu’alaikum,” ucapku tepat di pintu rumah yang tidak tertutup.
Mamakku muncul dari dapur, “Waalaikum salam, alhamdulillah Hud kamu sudah datang.” Tanpa berucap lagi, aku langsung memeluk Mamak yang sudah terlihat lebih tua dibanding kepulanganku satu setengah tahun lalu. Saat itu aku pulang bersama istri dan anak-anakku. Bapak yang sangat kami cintai, juga sudah meninggalkan kami untuk selamanya.
“Maafkan aku Mak, tidak merawat saat Ganeng sakit. Bahkan menghantarkan ke pemakamanpun aku tidak sempat,” ucapku sambil bergetar menahan tangis.
“Tidak apa-apa, kamu kan jauh. Di sini ada istrinya, kakak-kakakmu dan adik-adikkmu yang sudah merawat Ganeng.” Jawab mamak, aku tak sanggup menahan tangis. Air mataku kembali menetes. Lama sekali aku memeluk Mamak, untuk menghilangkan rasa penyesalanku karena tidak bisa bertemu dengan Ganeng. Satu persatu kemudian aku menyalami dan memeluk kakak dan adik-adikku, semua menangis. Karena kami kehilangan satu saudara kandung yang memang baru pertama kali ini kami rasakan.
Kini sebagian saudaraku telah berkumpul di rumah. Aku teringat wajah-wajah mereka yang hadir dalam mimpiku, ketika mimpi kehilangan Ganeng sebelum aku sempat memeluknya. Mimpi itu kini menjadi nyata, aku kehilangan adik sekaligus teman dan sahabat yang sangat dekat denganku.
Siang hari sebelum shalat zuhur, aku langsung ke pamakaman diantarkan oleh keponakanku. Aku tertegun melihat pusara dan batu nisan yang bertuliskan; Suarsono Bin Suwandak, Wafat 24-4-2012. Aku berdoa untuk kelapangan kubur adikku, agar semua kesalahan dan dosanya diampuni, serta mendapat pahala dan surga Allah SWT. Setelah itu aku menaburkan kembang di atas pusaranya. Selamat jalan dinda, doaku tak terputus mengiringi tidur abadimu. (shd)
—
BIODATA:
Muhammad Suhud. Lahir di Burni Bius, 18 Juni 1966, sekarang menetap di Jawa Barat.