Kedaulatan Rakyat Versus Aturan Negara

Ternyata, MK itu Inkonsisten

Oleh: Adam Mukhlis Arifin, SH

PEMILUKADA Aceh Tengah 2012 menyisakan dua masalah besar, pertama, tidak dihargainya Qanun  No.07 Aceh Tahun 2006 Tentang Pemilukada dan Legeslatif, dimana Undang-undang khusus Aceh itu telah dilangkahi atau bisa dikatakan tidak berlaku di Aceh Tengah. Kedua, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak konsisten (inkonsisten)  terhadap produk Peraturan yang mereka lahirkan sendiri. Hal ini terkait penanganan Perkara Nomor 43/ PHPU.D-X/ 2012 Perselisihan Hasil Pemilu Kada Aceh Tengah 2012.

Qanun Nomor 7 Tahun 2006 Nomor 5 Tahun 2012 Pasal 22 mengamanatkan, wajib bagi setiap calon Kepala Daerah di Aceh (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota) untuk mampu membaca Kitab Suci Al Qur’an. Ternyata di Aceh Tengah hal tersebut tidak berlaku, karena calon Wakil Bupati dari Kandidat nomor 10 tidak dapat melakukannya dengan baik. Hal ini yang kemudian menjadi ujian bagi Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai Lembaga pembuat dan pengawal terlaksananya Undang-Undang Pemerintahan Aceh.

Demikian halnya dengan Mahkamah Konstitusi (MK), terkait Perkara Nomor 43/ PHPU.D-X/ 2012. Adalah benar bahwa Keputusan MK itu bersifat final dan mengikat, karena itu kita tidak menilai /mempermasalahkan Putusan MK tersebut. Akan tetapi, dari segi kajian hukum akan menjadi menarik untuk dikkritisi, apakah putusan tersebut memenuhi aspek keadilan dan kepasatian hukum? Sebab keputusan yang berkekuatan hukum tetap dibuat dengan pertimbangan hukum yang tidak bertentangan dengan pertimbangan hukum lainnya.

Pola penyelesaian hukum sengketa hasil Pemilu Kepala Daerah di Indonesia perlu sesegera mungkin direformasi/diperbaharui. Karena dalam perjalanannya, MK terbukti tidak mampu memaksimalkan fungsi konstitusionalnya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang, seperti: memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan tentang Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Karena secara substantif MK tidak memeriksa, mengadili dan memutus kecurangan-kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sitematis dan massif.Baik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilukada, incumbent dan atau Penyelenggara Pemilukada dan incumbent sekaligus. MK hanya dapat menyelesaikan di tingkat kulitnya saja atau hasil Pemilukada saja.

Padahal masalah utama yang dihadapi oleh Pemohon (kandidat/pihak yang “dikalahkan”) adalah kecurangan di lapangan sebelum masa kampanye, seperti  Daftar Pemilih Terdaftar (DPT) yang bermasalah (ganda), selama masa kampanye seperti jadwal kampanye, keberpihakan penyelenggara di tingkat terendah, PPS (tingkat kampung), PPK (tingkat Kecamatan) dan seterusnya. Sampai kepada politik uang (money politic), pengorganisasian pejabat/Pegawai Negeri Sipil (PNS), penyalahgunaan jabatan dan fasilitas negara.

Pada hari pemungutan suara seperti banyaknya calon Pemilih yang tidak mendapat undangan memilih, ketidaknetralan petugas PPS dan KPPS, dimana seringkali di banyak Tempat Pemungutan Suara (TPS) tidak memperhatikan hak-hak saksi para kandidat peserta Pemilukada dengan tidak membagikan form C1 – yang berimplikasi pada hilangnya hak saksi ketika hendak memprotes hasil penghitungan suara di TPS dan seterusnya. Kemudian, bentuk kecurangan setelah pemungutan suara, dimana masih banyak salah pendistribusian kotak suara, tidak langsung dihantar ke PPK (Kantor Kecamatan) tetapi dialihkan ke suatu tempat yang lain dengan tujuan tertentu. Selanjutnya, di PPK sendiri banyak bentuk pelanggaran seperti, kotak suara yang terbuka, dijumpai kotak tidak bersegel, dokumen tidak lengkap, pemalsuan tanda tangan saksi pada form C1 dan lain sebagainya.

Hal tersebut di atas merupakan sebagian kecil, masih ada 23 modus kecurangan lain yang tidak kami uraikan. Poinnya adalah, untuk membuktikan setiap pelanggaran dan kecurangan tersebut di atas terdapat kesulitan yang amat sangat bagi sebuah Tim Pemenangan/seorang kandidat karena ada rintangan berlapis yang dihadapi, diantaranya adalah:

Pertama, waktu pelaporan kasus ke Panwaslu, yang mengenal time limitation, artinya lebih tujuh hari dari waktu kejadian, maka laporan tidak dapat diterima karena dianggap kadaluarsa.

Kedua, terhadap kasus yang ada unsur pidana pemilukadanya, seringkali mengendap di Panwaslu karena perlu daya dorong yang lebih untuk dapat diteruskan kepada pihak Penyidik. Sebagai contoh, dari 42 kasus yang memenuhi unsur pidana Pemilukada Aceh Tengah yang dilaporkan oleh Tim Kandidat Bupati Nomor 7 (Tim IKWAN dan gabungan Tim Kandidat lainnya) ke Panwaslu Aceh Tengah, hanya 21 yang diteruskan ke Kepolisian (Polres Aceh Tengah) dan dari 21 kasus itu, tidak satupun yang dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Takengon.

Ketiga, setiap pelanggaran yang diprotes   seketika itu juga, selalu dijawab dengan arogansinya oleh Penyelenggara: “
.kalau merasa tidak puas, silahkan isi form keberatan”.

Keempat, hampir sebagian besar   Pemilukada bermuara ke MK, oleh karena itu maka seseorang kandidat/sebuah Tim Pemenangan harus menginventarisir bukti-bukti dan menghimpun para saksi, yang keduanya adalah bukan hal mudah untuk dilakukan dalam waktu singkat.

Tiga pasangan calon bupati/wakil bupati Aceh Tengah 2012 mencari keadilan dengan hal ini terbukti dari Permohonan pertama dari Pemohon (ketiga Cabup di atas) Nomor: 37/PHPU.D-X/2012. Perkara ini diputus dengan tidak dapat menerima permohonan Pemohon karena salah objek. Dalam perkara ini majelis hakim lebih terpaku kepada fokus pemeriksaan formil dan tidak pemeriksaan materiil, padahal sebenarnya majelis hakim dapat melakukan terobosan hukum dengan mengakomodir aspek materiil, tetapi hal sedemikian tidak mereka lakukan. Sehingga Mahkamah tidak (mau) menjalankan salah satu  fungsinya sebagai lemabaga Pengadil.

Kemudian terhadap Permohonan kedua, Pemohon mendaftarkan pada tanggal 18 Juni 2012 dengan Tanda Terima Nomor 571-0/ PAN.MK/ VI/ 2012, tertanggal 18 Juni 2012, register Perkara Nomor: 43/ PHPU.D-X/ 2012. Karena form DB.KWK.KIP – objek gugatan yang diamanatkan oleh Undang-undang –  baru diserahkan oleh pihak KIP Aceh Tengah pada tanggal 14 Juni 2012. Jika dihitung 3 hari, maka hari pertamanya adalah tanggal 15 Juli 2012, jatuh pada hari Jum’at. Tanggal 16 dan 17 Juli (Sabtu dan Minggu) adalah hari libur kerja. Tanggal 18 Juni (hari Senin) adalah hari ke-dua tenggang waktu, dan masih ada tersisa 1 hari lagi, yaitu tanggal 19 Juni 2012 yang berstatus sebagai hari ke-tiga (batas tenggang waktu pendaftaran). Sehingga kita dibingungkan dengan Konklusi MK yang menyatakan telah melewati tenggang waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Jika tanggal 18 Juni 2012 yang dimaksud di atas, jelas belum melewati tenggang waktu karena masih tersisa satu hari lagi.

Kemudian, jika yang dimaksud tanggal Penetapan Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara, yaitu tanggal 15 Mei 2012 – sebagaimana ditetapkan dan dikeluarkan oleh KIP Aceh Tengah, jelas tidak mungkin, karena para kandidat peserta Pemilukada baru menerima form DB.KWK.KIP (satu-satunya objek yang diamanatkan oleh Undang-undang) pada tanggal 14 Juni 2012 (hampir sebulan setelah penetapan).

Hal inilah yang menjadi pokok permasalahan, karena keterlambatan penerimaan/ pendistribusian form DB. KWK. KIP adalah kesalahan secara sengaja dilakukan oleh KIP Aceh Tengah. Sungguh tidak adil, jika kesalahan yang dilakukan oleh KIP Aceh Tengah harus dibebankan kepada para pihak Pemohon, ironisnya pihak Mahkamah Konstitusi (MK) tidak ambil peduli sedikitpun.

Akhirnya, pada tanggal 3 Juli 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menggelar satu-satunya sidang terhadap perkara Nomor 43/ PHPU.D-X/ 2012 dengan mengeluarkan Putusan, yang dalam Konklusi, Poin [4.3] menyatakan Permohonan Pemohon diajukan melewati tenggang waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Sehingga dalam Amar Putusannya, Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa KIP Aceh Tengah dengan segala fasilitas dan kewenangannya telah melakukan kesalahan fatal baik disengaja maupun tidak yang telah merugikan para Pasangan Calon kontestan Pemilukada Aceh Tengah 2012, kemudian kesalahan tersebut dibebankan kembali kepada para Pemohon, yang mana hal tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan sedikitpun bagi MK. Walaupun secara kewenangan MK bisa saja melakukan terobosan hukum, namun Lembaga Super Body  itu enggan dan tak mau.

Namanya Lembaga Super Body  tidak dapat dikritik dan menjadi wajar jika dalam menjalankan fungsi dan tugasnya Lembaga ini tidak ada yang mengawasi. Akan tetapi, menarik untuk dikaji bahwa MK pun inkonsisten’ telah menghina 41.885 rakyat Aceh Tengah dengan cara menginjak-injak Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah, Pasal 5 ayat (1) berbunyi: Permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pemilukada diajukan ke Mahkamah paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Termohon menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah yang bersangkutan; ayat (2) yang berbunyi: Permohonan yang diajukan setelah melewati tenggat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diregistrasi. Tapi ternyata pihak kepanitraan MK meregestrasi permohon kasus Pimukada dengan Nomor 43/ PHPU.D-X/ 2012.

Timbul pertanyaan:

Apakah Putusan MK Nomor 43/ PHPU.D-X/ 2012 bisa dijalankan mengingat keputusan itu diputuskan dengan pertimbangan hukum yang bertentangan satu sama lain? (karena sesuatu yang tidak memiliki kepastian hukum tidak dapat dijalankan.

Apakah SK 32 yang berisi Rekapitulasi Hasil Penghitungan suara dan SK No 67 tentang Penetapan Pemenang dapat dijadikan dasar Pengangkatan seorang Bupati, bagaimana jika SK itu palsu? (Karena SK itu sekarang sedang diproses di Bareskrim Mabes Polri).***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.