Bangsa Gayo Harus Belajar dari Bangsa Moro

Refleksi Penandatangan Perdamaian antara bangsa Moro dan Pemerintah Filipina

Oleh: Sabela Gayo*

MINDANAO Selatan merupakan satu-satunya wilayah yang tidak pernah dijajah oleh Spanyol. Perlawanan yang heroik dari bangsa Moro di Mindanao Selatan membuat Spanyol kesulitan untuk masuk dan menguasai wilayah Mindanao Selatan yang kaya akan sumber daya alam. Wilayah lainnya di luar Mindanao (wilayah negara Filipina sekarang) semua sudah berada di dalam genggaman Spanyol. Banyak warga yang berada di dalam kekuasaan penjajah Spanyol yang berusaha melarikan diri dari wilayah jajahan karena tidak tahan dengan massive-nya penyiksaaan dan kerja paksa yang diterapkan oleh Spanyol terhadap warga daerah jajahan.

Pada masa itu, salah satu tujuan pelarian warga jajahan tersebut adalah Mindanao Selatan karena pada saat itu, Mindanao Selatan-lah satu-satunya wilayah yang masih merdeka dan terus melakukan perlawanan bersenjata tanpa henti terhadap serdadu-serdadu Spanyol yang berusaha memasuki wilayah Mindanao Selatan dan Kesultanan Sulu.

Islam pertama kali masuk ke Mindanao dan Kepulauan Sulu pada tahun 1380 melalui para pedagang dan pendakwah yang datang dari Arab. Salah satu pendakwah asal Arab yang menyebarkan agama Islam di Mindano dan Sulu adalah seorang ulama yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Beliau kemudian menjadi raja pertama Kesultanan Sulu dengan gelar Paduka Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim. Saat ini wilayah Mindanao dan Kesultanan Sulu berada di dalam status Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM) atau Wilayah Otonomi Muslim Mindanao yang terdiri atas 6 provinsi di mana 3 provinsi terletak di daratan Mindanao yaitu Magunindanao, Lanao Del Sur, Shariif Kabungsuwan dan 3 provinsi lainnya terletak di wilayah kepulauan Sulu yaitu Sulu, Basilan dan Tawi-Tawi. Status wilayah otonomi tersebut diperoleh sejak penandatangan kesepakatan perdamaian antara Moro National Liberation Front (MNLF) atau Front Pembebsan Nasional Moro dibawah pimpinan Nur Misuari dan pemerintah Filipina pada tahun 1996 yang lalu.

Bangsa Moro merupakan bangsa minoritas di Mindanao Selatan, Filipina. Mereka merupakan pemeluk Islam yang taat dan menjadikan Islam sebagai bagian dari identitas mereka. Sama halnya dengan bangsa Gayo yang menjadikan Islam sebagai ruh dan identitasnya. Bangsa Moro hidup di atas tanah nenek moyangnya sembari berkutat dengan maraknya arus migrasi lokal para pendatang dari pulau-pulau lain diluar Mindanao yang mana para pendatang tersebut berbeda agama, budaya dan ideologi dengan bangsa Moro. Bangsa  Moro merupakan salah satu bangsa yang paling tertindas di dunia karena selama ± 3 abad selalu berperang melawan penjajahan Spanyol dan ketidak-adilan para penguasa berikutnya.

Pada awalnya (sebelum Spanyol masuk ke Filipina) Kesultanan Sulu memiliki kekuasaan yang membentang dari Mindanao sampai ke Sabah Malaysia. Pada masa perang 3 abad melawan Spanyol Kesultanan Sulu menyebut peperangan mereka dengan nama Perang Sabil. Penyebutan itu hampir sama dengan sebutan perang di Aceh yaitu perang Sabi. Sejarah Kesultanan Sulu yang demikian megah dan Wilayah kekuasaannya yang luas memiliki kemiripan cerita dengan kemegahan sejarah Kerajaan Linge  Gayo yang mana para keturunannya menjadi raja dan sultan di berbagai wilayah di pesisir Aceh sampai melahirkan sebuah Kerajaan yang gilang-gemilang yaitu Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Aceh Darussalam sebenarnya merupakan bentuk legacy (penegasan) eksistensi Kerajaan Linge Gayo.

Hari ini kondisi bangsa Gayo mirip dengan bangsa Moro di mana apa awalnya bangsa Gayo merupakan mayoritas tetapi kemudian seiringnya dengan derasnya arus migrasi ke tanah Aceh menjadikan bangsa Gayo sebagai komunitas yang minoritas. Demikian halnya dengan bangsa Moro, pada awalnya mereka merupakan mayoritas penduduk di wilayah Mindanao dan Kesultanan Sulu tetapi seiring dengan derasnya arus migrasi lokal setelah kemerdekaan Filipina ditambah dengan kebijakan pembangunan yang diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah Filipina menyebabkan bangsa Moro menjadi bangsa minoritas di atas tanah leluhurnya sendiri.

Keterbelakangan pendidikan dan kemunduran ekonomi yang sangat memprihatinkan yang dialami oleh bangsa Moro juga dialami oleh bangsa Gayo di mana akses-akses pendidikan dan ekonomi sangat terbatas diberikan kepada bangsa Gayo. Tetapi ada satu hal yang dimiliki oleh bangsa Moro dan belum dimiliki oleh bangsa Gayo yaitu rasa persatuan, kebersamaan, persaudaraan dan senasib-sepenanggungan diantara sesama bangsa Moro.

Oleh karena itu, walau kondisi sesulit dan sesusah apapun mereka dapat menghadapinya dengan mudah hingga akhirnya tercapai kesepakatan perdamaian antara Moro Islamic Liberation Front (MILF) atau Front Pembebasan Islam Moro dengan pemerintah Filipina yang ditandatangani pada 15 Oktober 2012 di istana Malacanang, Manila Filipina. Berbeda halnya dengan kondisi bangsa Gayo hari ini yang di satu sisi masih mencari identitas dirinya apakah bagian dari Aceh atau tidak, apakah penduduk asli atau tidak dan lainnya dan disisi lain masih terpecah-belah baik secara geografis maupun ideologis. Kondisi riil bangsa Gayo yang demikian menjadikan kehidupan bangsa Gayo di Aceh menjadi semakin terpuruk dan teraniaya baik secara sosial, budaya, politik dan ekonomi.

Akhirul kalam, bangsa Gayo harus mampu mengembalikan ruh kebersamaan, persaudaraan, persatuan dan senasib-sepenanggungan sebagai jatidirinya sebagai mana yang telah terukir pada semangat ”alang tulung beret berbantu” jika bangsa Gayo menginginkan kembalinya kejayaan dan kegemilangan Kerajaan Linge Gayo masa lalu sebagaimana yang pernah dikuir oleh para pendahulunya maka tidak lain kuncinya adalah bangun dan pupuk kembali rasa kebersamaan, persaudaraan, persatuan dan senansib-sepenanggungan sembari menghilangkan semua perasaan negatif yang menghalangi rasa kebersamaan dan persaudaraan tersebut seperti egoisme pribadi, egoisme kelompok, dan rasa saling tidak percaya/saling curiga diantara sesama anggota kaum.

Akhirnya, belajarlah dari bangsa Moro, bagaimana mereka berhasil membangun kebersamaan dan persatuan sehingga mampu mengalahkan musuh-musuhnya. Sebenarnya, musuh yang terbesar bukan berasal dari luar diri kita atau dari luar kaum kita melainkan musuh yang terbesar  sebenarnya berasal dari dalam diri kita sendiri yaitu hawa nafsu dan lunturnya rasa persatuan, kebersamaan dan persaudaraan diantara sesama anggota kaum. Jadi, dengan belajar dari bangsa Moro, bangsa Gayo bisa mengambil pelajaran berharga bahwasanya status sebagai minoritas bukan lah menjadi halangan/faktor penghambat untuk meraih kemandirian dan kejayaan baik secara sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan politik.  Yang terpenting adalah kemauan bersama seluruh anggota suatu perkauman itu untuk bangkit bersama dan maju meraih kejayaan sesuai dengan harapan dan cita-cita bersama.(sabela.gayo[at]gmail.com).

*Mahasiswa Program Ph.D in Law of University Northern Malaysia (Universiti Utara Malaysia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments