Muhamad Hamka*
Akhir-akhir ini ada dua persoalan kebangsaan yang membonsai Indonesia sebagai bangsa dan Negara. Dua persoalan ini tidak hanya sudah memperoleh habitusnya di negeri ini tapi juga sudah menggurita, bahkan berpotensi menggerus Republik ini dalam kegagalan sebagai sebuah Negara.
Dua persoalan yang penulis sebut diatas adalah korupsi yang menggurita dan kekerasaan keagamaan yang kian mengakar. Dua hal ini merupakan persoalan serius, tapi ironisnya tak berbanding lurus dengan keseriusan Negara (pemerintah) untuk memberantasnya. Korupsi sudah menjadi primadona di Republik ini. Betapa tidak, berdasarkan data dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC), tahun 2010 Indonesia menempati peringkat pertama Negara tujuan investasi terkorup dari 16 negara di Asia Pasifik.
Sementara data dari lembaga Transparency Internasional menyebutkan indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2010 masih di angka 2,8. Tak beda jauh dengan indeks persepsi korupsi pada tahun sebelumnya. Hal ini terbukti dengan perilaku korupsi yang bergentayangan dengan pelbagai modus operandi dalam pelbagai level kehidupan. Pelakunya pun kian beragam, mulai dari birokrat, politikus, aparat penegak hukum, pengusaha hingga akademisi.
Bahkan korupsi sudah menjadi “cara berhidup” bagi sebagaian elite negeri ini. Sehingga para “garong” uang rakyat ini, sudah tidak punya rasa malu lagi untuk memamerkan harta curiannya tersebut. Bahkan mereka dengan lantang membela diri di depan publik bahwa mereka bukan pencuri. Para perampok uang Negara (koruptor) ini pun makin berjingkrak dengan hukum yang kehilangan “taji” di depan para garong ini.
Hukum pembuktian terbalik yang diyakini oleh sebagaian pengamat hukum dan penggiat anti korupsi sebagai solusi yang memiliki efek jera bagi pencuri uang rakyat ini menjadi kandas dalam tarik-menarik kepentingan elite politik. Sehingga gagasan “hukum pembuktian terbalik” buat para maling uang rakyat ini hanya sekadar wacana utopis. Akhirnya, para maling ini kian bersorak dengan nafsu serakahnya.
Kekerasan Berjubah Agama
Juga problema yang tak kalah “trengginasnya” dalam mengoyak eksistensi Republik ini adalah kekerasan yang berjubah agama. Salah satu buah reformasi yang patut di syukuri adalah kemerdekaan berkumpul dan bersyarikat yang mulai bebas dan terbuka. Kalau pada era Orde Baru, kemerdekaan masyarakat untuk berkumpul dan bersyarikat dikekang oleh penguasa, maka pada era reformasi justru dibuka seluas-luasnya.
Namun disinilah persoalan mulai timbul, dimana banyak perkumpulan/organisasi massa (ormas) yang menjadikan organisasinya mirip lembaga keamanan dan ketertiban. Ormas-ormas ini kerap kali bertindak garang dan anarkis dalam menjalankan aksi-aksinya. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana Jemaah Ahmadiyah di Bandung tak bisa menjalankan sholat Idul Adha di Masjid mereka (An-Nasir), serta tak bisa melaksanakan penyembelihan hewan kurban akibat aksi kekerasan yang dilakukan oleh ormas fundamentalis, Front Pembela Islam (FPI).
Organisasi pimpinan Habib Rizieq ini merusak masjid Jemaah Ahmadiyah ini pada saat malam takbiran beberapa waktu lalu. Perilaku ormas FPI ini susah diterima oleh akal sehat, karena bagaimanapun Islam adalah agama yang ramah dan toleran. Dalam rekam jejaknya, FPI adalah salah satu ormas berjubah Islam yang senantiasa mewartakan kekerasan dalam aksi-aksinya. Namun ironisnya, beberapa kali aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI, bahkan yang merenggut nyawa anak manusia, Negara (aparat kepolisian) justru cendrung membiarkan proses kekerasan tersebut berlangsung.
Ada satu hal yang sesungguhnya menjadikan ormas fundamentalis Islam ini semakin kokoh eksistensinya semenjak rezim SBY berkuasa, yakni adanya perjumpaan kepentingan. Sadar atau tidak, keberaniaan gerakan fundamentalisme/radikalisme Islam dalam memparadekan kekerasan demi kekerasan, karena dibiarkan oleh negara (penguasa). Proses pembiaran ini sebetulnya bukan cek kosong, tapi ada simbiosis-mutualisme disana.
Pertemuan kepentingan itu sangat pragmatis dan parsial, jauh dari kemaslahatan bangsa. Penguasa (untuk menjaga pencitraan) membutuhkan ormas-ormas radikal ini untuk menciptakan stabilitas kekuasaanya. Fungsi ormas ini adalah mengalihkan isu-isu yang berpotensi menohok jantung kekuasaan. Sehingga jangan heran ketika ada isu yang berpotensi menggoyang stabilitas kekuasaan, maka pada saat yang sama muncul kekerasaan yang bermotif keagamaan. Akhirnya, perhatian publik teralihkan dan tersedot oleh isu kekerasaan kegamaan yang dilakukan oleh gerakan fundamentalis Islam.
Sementara itu, gerakan fundamentalis Islam mendapat keuntungan dari “perselingkuhan” dengan penguasa. Mereka memperoleh jaminan “pembiaran” oleh negara akan aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan. Hal ini sudah terbukti dengan sikap “diam” negara selama ini. Sehingga tak heran kalau teriakan yang menggema di seantero negeri untuk membubarkan ormas-ormas (Islam) anarkis tak pernah digubris dan ditindak-lanjuti oleh negara (pemerintah).
Kedua persoalan kebangsaan yang sangat serius diatas tidak akan pernah hilang dari bumi Pertiwi, ketika tidak ada kemauan kuat dari pemimpin bangsa ini untuk melakukan pengorbanan politik (political sacrifice). Sekarang bukan saatnya lagi pemimpin Republik berbicara kemauan politik (political will), tapi harus ada kemauan yang kuat untuk melakukan pengorbanan politik.
Menjadi Panglima
Presiden SBY harus siap berkorban untuk membersihkan Negara ini dari para “maling uang rakyat” sekalipun itu elite di lingkaran kekuasaan atau elite di Partai Demokrat. Presiden SBY harus menjadi panglima dalam pemberantasan korupsi. SBY tak boleh lagi sekadar bertitah dari dalam selimut pencitraan, namun harus keluar dan berdiri di shaf terdepan untuk menumpas garong (koruptor) uang rakyat.
Atas nama kemaslahatan bangsa dalam usaha pemberantasan korupsi, presiden SBY bisa dan boleh saja mengintervensi proses hukum (dalam hal korupsi) yang tak berjalan sebagaimana mestinya. Disinilah dibutuhkan ketegasan dan political sacrifice seorang Presiden, bukan sekadar tumpukan retorika untuk menjaga citra.
Begitu pula dalam hal kekerasan berjubah agama yang semakin beringas menjalankan aksinya. Presiden Yudoyono harus berani melakukan pengorbanan politik untuk membubarkan ormas anarkis tersebut, sekalipun itu berpengaruh pada stabilitas kekuasaan. Karena sangat jelas, bahwa konstitusi mewajibkan Negara untuk melindungi setiap warga Negara dalam menjalankan agama dan keyakinannya. Seturut dengan itu, Negara juga di perintahkan oleh konstitusi untuk melindungi keamanan/keselamatan semua warga negaranya tanpa kecuali.
Untuk itu, kita mengharapkan sikap kenegarawanan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) untuk menjadikan kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia sebagai pendulum dalam aktus kepemimpinannya.(for_h4mk4[at]yahoo.co.id)
* Analis Sosial & Politik