Oleh: Azmi Gayoe*
MENYIKAPI beberapa permasalahan yang akhir-akhir ini menjadi hot topic dalam pemberitaaan beberapa media lokal Aceh maupun media nasional mengenai polemik Qanun Wali Nanggroe (QWN) yang telah di tetapkan pada tanggal 2 November 2012 dalam sidang paripurna DPRA di Banda Aceh.
Sekilas menurut pengamatan saya, beberapa dari redaksional qanun tersebut memang masih mengandung klausul-klausul yang bersifat diskriminatif terhadap identitas tertentu yang terdapat di Provinsi Aceh.
Beberapa ketentuan redaksional yang bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan perundang-undangan nasional adalah:
1. Sebagian poin dan klausul dalam ketentuan syarat menjadi Wali Nanggroe, Waliyul’ahdi, Tuha Peuet Wali Nanggroe, Majelis Fatwa, Majelis Tuha Lapan Wali Nanggroe, Majelis Ekonomi Aceh, Bentara, Majelis Hutan Aceh, Majelis Khazanah dan Kekayaan Aceh, Majelis Pertambangan dan Energi, Majelis Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan dan Majelis Perempuan adalah mereka yang memenuhi syarat yaitu berbahasa Aceh dengan fasih dan baik, bisa berbahasa Aceh, serta mempunyai keturunan (nasab) Aceh hingga keturunan keempat keatas.
Dalam Qanun Wali Nanggroe bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ketetatapan MPR RI Bab XA Tentang Hak Asasi Manusia pasal 28D ayat I dan 3, pasal 28G ayat 1, serta pasal 28i ayat 2 dan 3 serta pasal 28J ayat 1 dan 2. Ketentuan mengenai persyaratan ini Juga bertentangan dengan UUPA Bab XII tentang lembaga Wali Naggroe pasal 96 ayat 1, 2 dan 3.
2. Sebagian poin dan klausul dalam ketentuan tugas, fungsi dan kewenangan Wali Nanggroe beserta sebagian perangkatnya bertentangan dengan UUPA No 11 tahun 2006 pada BAB I Pasal I ayat 2, 3, 4, 5 dan 6.
Disisi lain, dikarenakan begitu panjang dan completenya proses pembahasan Qanun Wali Naggroe tersebut telah menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar, khususnya kepada dewan perumus Qanun Wali Naggroe dan kepada pemerintah Aceh pada umumnya.
Beberapa dari pertanyaan mendasar tersebut adalah :
a. Mengapa RDPU atau sejenisnsya harus keluar negeri yang menurut hemat saya hal tersebut hanya menghabiskan waktu, tenaga dan dana saja karena negara yang di maksud juga negara yang masih dipertanyakan penerapan sistem demokrasinya yaitu Malaysia, mengapa tidak memulai sosialisasi dan penyaringan pandangan-pandangan, ide-ide aspiratif dari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh budaya, tokoh adat, akademisi dan yang lainnya secara maksimal ke daerah-daerah, khususnya ke daerah tingkat II yang nantinya akan menjadi objek dari qanun yang akan di tetapkan tersebut yang dalam logika organisasi ini di anggap aneh karena menanyakan alat dapur sendiri kepada orang lain, meskipun tidak mesti salah?
b. Mengapa pembahasan Qanun Wali Naggroe tersebut terkesan di tutup tutupi kepada internal masyarakat yang ada di propinsi Aceh itu sendiri sehingga terjadi kemandulan dan resesi komunikasi antara pemimpin dengan rakyatnya?
c. Apakah tidak terlalu berbahaya jika di kemudian hari rancangan Qanun Wali Nanggroe tahun 2012 tersebut ternyata di sahkan oleh Kemendagri, karena jika di telaah lebih dalam, rancangan Qanun tersebut masih syarat dengan pemaknaan dialektik yang bersifat memecah belah persatuan provinsi Aceh?
Menurut saya ada beberapa langkah konkrit yang perlu di tempuh agar qanun tersebut tidak menjadi pertentangan dan kontroversial dalam masyarakat di propinsi Aceh.
Pertama: Bagi semua stake holder baik eksekutif, legislatif, akademisi, pengacara, mahasiswa, pemuda, tokoh masyarakat dan masyarakat di daerah, sudah saatnya merestorasi pola pikir kita dan memperbaharui pola komunikasi kita (keterbukaan informasi dan komunikasi jantan) khususnya mengenai kompleksitas pemahaman heterogenitas suku, bangsa, budaya dan sosial masyarakat di provinsi Aceh demi terciptanya kerukunan, kedamaian dan persatuan di masa yang akan datang di bumi serambi mekkah yang kita cintai bersama.
Kedua: Saya kira perlu ada penjelasan yang tegas, jelas dan khusus mengenai penyebutan bahasa yang di gunakan dalam redaksional draf qanun Wali Nanggroe tersebut, yang sudah sejak lama dan sering menjadi polemik sensitif dalam masyarakat di provinsi Aceh khususnya mengenai kata-kata “Aceh” yang seharusnya ada pemilahan makna kata “Aceh” dalam konteks suku, bangsa dan budaya, maupun “Aceh” dalam konteks administratif pemerintahan.
Karena jika ditelaah secara mendalam mengenai bagian-bagian dari gaya bahasa dalam klausul-kalusul draf qanun tersebut menggunakan gaya bahasa lisan (verbal) bukan bahasa tulisan sebagai contoh penyebutan “orang Aceh” (bahasa verbal) dalam Bab V Mekanisme Pemilihan Bagian Ke Satu Wali Nanggroe Pasal 69 Poin a ”orang Aceh yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT”, yang seharusnya menggunakan redaksional “warga asli provinsi Aceh (berdasarkan konvensi) yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT”. saya tidak mengerti apakah ini unsur kesengajaan sebagai sebuah kepolosan intelektual dalam tarekat politik semata atau sebaliknya memang benar-benar sebagai sebuah kepura-puraan ideologis? semoga anggapan saya pada klausul kedua tersebut salah!
Ketiga: Mengenai ketentuan dan pendefenisian hak, tugas, fungsi dan wewenang Wali Naggroe dan sebagian perangkat lembaga wali nanggroe dalam draf Qanun Wali Naggroe tersebut menurut hemat kami sungguh tidak mendiskripsikan adanya kejelasan batasan-batasan tugas, fungsi dan wewenangnya, karena ketika dikomparasikan dengan tugas, fungsi dan wewenang perangkat-perangkat daerah sebagaimana di atur yang tercantum dalam UUPA No. 11 tahun 2006 dan mekanisme perundang-undangan nasional. secara logika rumit di fahami, karena terjadi dualisme fungsi administratif.
Keempat: Sebagaimana diketahui umum, bahwa Qanun Lembaga Wali Nanggroe merupakan amanat dari MoU Helsinki 2005 yang dirumuskan ke UUPA No. 11 tahun 2006. Maka dari itu kita semua masyarakat di provinsi Aceh (khususnya mahasiswa) harus lebih kritis, tegas dan komprehensip dalam memandang eksisitensi draf Qanun Wali Naggroe tersebut, khususnya yang berkaitan dengan tujuan dasar dan prinsip di bentuknya lembaga yang di maksud yaitu menjadi pemersatu masyarakat di provensi Aceh, bukan sebaliknya. Dan jika yang terjadi sebaliknya, maka hemat saya perlu kita adakan evaluasi dan taubat nasional mengenai keberadaannya. Karena kebaikan Aceh adalah kebaikan kita semua, masa depan Aceh adalah masa depan kita bersama.(azmie_gayoe[at]yahoo.com)
*Mahasiswa Jurusan Studi Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada