Ingat! Hari Ibu Bukan Mother’s Day

Catatan: Muhammad Syukri*

 

TERUS TERANG, saya terharu membaca catatan Dewinta Hariza tentang “Ibu.” Si Penulis dengan kalimat yang menyentuh mengajak pembaca untuk merenungkan perjuangan seorang ibu. Tidak mustahil ada pembaca yang sempat meneteskan air mata saat membaca ulasannya. Saya sendiri malah makin merinding ketika si penulis menekankan pada sebuah kalimat: “untuk segala jerih payahnya dia hanya menginginkan saya bahagia.”

Memang kalau ditanya kepada seorang ibu, harapannya hanya satu agar si anak hidup bahagia. “Mubahgiemi ko anakku!” Benarkah seorang ibu hanya menginginkan anaknya bahagia? Hanya itu? Lantas kalau seorang anak pada akhirnya hidup bahagia, apa yang didapat oleh seorang ibu? Tidak ada, si ibu hanya bisa menitikkan air mata haru saat melihat anaknya bahagia. Berbagai penyakit yang dideritanya, sekonyong-konyong sembuh. Si ibu merasa seperti orang yang sangat kuat ketika itu.

Cukupkah balasan seorang anak dengan tetesan air mata haru dari seorang ibu? Sebenarnya, balasan apa yang diharapkan seorang ibu? Sedikit saja, itulah doa! Kalau hanya itu, gampang sekali (desis hati seorang anak). Memang kalau hanya membaca “Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayana saghira” terkesan mudah dan gampang. Terus dengan membaca doa itu berarti telah impas derita dan perjuangan seorang ibu kepada anaknya?

Seorang ibu yang telah membesarkan kita, butuh bantuan dari anak-anaknya, baik semasa masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Tahukah pembaca, bantuan apa yang dibutuhkan seorang ibu? Itulah doa dari anak amal shaleh. Mengapa? Salah satu yang bisa membantu seorang ibu (bapak) ketika berada di alam barzah adalah doa anak amal shaleh, selain ilmu yang bermanfaat dan sadaqah jariah (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Adakah keinginan kita untuk membalas jasa seorang ibu? Tentu, dan penulis yakin bahwa para pembaca pasti ingin membalas jasa itu. Kalau ditanya kepada seorang ibu, jasanya minta dibalas dengan apa? Jawabnya: cukup anakku bisa hidup bahagia. Dalam pikiran seorang ibu, bahagia yang dimaksudnya adalah bahagia di dunia dan akhirat.

Bahagia di dunia berarti hidup dalam berkecukupan sehingga mampu melakukan berbagai kebajikan. Sedangkan bahagia di akhirat, seorang ibu mengharapkan anaknya dapat melaksanakan ibadah sebagaimana ketentuan syara. Intinya, bahagia dalam  doa seorang ibu agar anaknya menjadi seorang anak yang beramal shaleh sehingga doa mereka makbul dan dapat membantunya di alam barzah nanti.

Apa sih amal shaleh itu? Amal Shaleh terbagi dalam dua jenis, yaitu amal jariah dan amal ibadah. Amal jariah adalah perbuatan kebajikan yang dilakukan secara sukarela dengan mengharap ridha Allah SWT dan mendatangkan kebajikan (pahala) bagi yang melakukannya, meskipun dia telah meninggal dunia. Amal ibadah adalah pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT (Bachrul Ilmy, Pendidikan Agama Islam, Grafindo, 2007).

Kalau demikian halnya, membalas jasa seorang ibu bukan dengan membuat setalam kue tart yang dipersembahkan pada Hari Ibu, atau sowan ke rumah ibu pada tanggal 22 Desember. Lebih menyedihkan lagi jika kita baru ingat ibu saat tibanya Hari Ibu. Seharusnya bakti kepada ibu harus dilakukan setiap hari, bukan sehari saja. Total hari berbakti untuk ibu dalam setahun adalah 365 hari. Sudahkah dilakukan?

Dewasa ini, banyak yang keliru menafsirkan makna Hari Ibu. Seolah-olah Hari Ibu sama dengan Mother’ Day sebagaimana dirayakan orang-orang Eropa. Hari ibu dalam pandangan orang Eropa berangkat dari kebiasaan mereka memuja Dewi Rhea, isteri Dewa Kronos yang merupakan ibu para dewa. Inilah kisah yang tertuang dalam sejarah Yunani Kuno sehingga di negara-negara tersebut peringatan hari ibu atau Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.

Untuk diketahui pembaca bahwa penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu didasarkan kepada pertemuan para perempuan pejuang pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Gedung Dalem, Jayadipuran Yogyakarta. Pertemuan para perempuan pejuang itu diilhami oleh semangat perjuangan kaum perempuan pada abad ke-19, seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meuthia, Laksamana Malahayati, Maria Christina Tiahahu, R.A Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, dan lain-lain. Semangat mereka dianggap sebagai titik tolak dan tonggak kebangkitan semangat perjuangan kaum perempuan Indonesia.

Kesimpulannya, Hari Ibu di Indonesia tidak sama dengan Mother’s Day di Eropa. Hari Ibu di Indonesia dimaksudkan untuk memperingati bangkitnya semangat perjuangan kaum perempuan di seluruh penjuru nusantara. Para perempuan boleh berbangga, ternyata semangat dan kehebatannya telah mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Dengan demikian perlu diingat bahwa Hari Ibu bukan Mother’s Day. (syukritakengon[at]gmail.com)

 *Pengamat Sosial, tinggal di Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.