Catatan Isma Arsyani*, Pengunjung Acara Bupatiku Sahabatku
SENIN malam, 24 Desember, saat di rumah tak ada orang, saya ingin menikmati kopi di warung di Jalan Mahkamah, dekat gedung bekas bioskop yang dulu saya sering nonton filem layar lebar, Gentala. Entah mengapa kaki ingin melangkah ke sana. Setiba di sana, rupanya bangku, meja, dan alat music sudah berada di sana dengan teratur. Di stage yang biasanya dijadikan ajang manggung seniman, sudah terpasang spanduk bertulis “ Bupatiku Sahabatku”.
Saya bertanya kepada penyuguh kopi, apa acara ini malam. Rupanya akan ada acara malam santai bersama Pj. Bupati Aceh Tengah. Tajuk acara seperti di atas: “Bupatiku, Sahabatku”. Dalam pikiran saya mengalir sebuah kalimat, “oh…agak berbeda dengan suasana di sebelah warung, di Pendapa Bupati”. Memang sejak sore di depan Pendapa Bupati sudah ramai dengan aktivitas orang yang berhubungan dengan akan adanya pelantikan Bupati Aceh Tengah, tanggal 27 Desember nanti. Orang ramai ini, bila saya tak salah amati adalah orang yang menganggap Bupati yang akan dilantik bukanlah sebagai “sahabat” mereka.
Sebab ingin lihat acara Bupatiku Sahabatku, saya rela menunggu selama dua setengah jam sembari menghabiskan dua gelas cangkir kopi Arabica. Tak suntuk juga, karena ada alunan lagu yang muncul dari stage. Hingga akhirnya Pak Baong, sebutan untuk Pj. Bupati datang, acara pun mulai sekitar pukul 10 malam.
Menarik bagi saya, ada dua ungkapan yang mengalir dari diri pak Baong saat dipercaya untuk memberi sambutan. Pertama, Baong berkata: “ …malam ini merupakan malam terakhir saya sebagai Pj, Bupati Aceh Tengah, namun sebagai Baong, saya akan tetap di sini…”. Ungkapan kedua di akhir sambutannya: “… saat memimpin masyarakat jadilah dirimu sendiri, itu akan membuat kamu akan bisa bekerja dan tentu saja akan selalu dikenang…”. Ungkapan ini menjadi inti peristiwa malam ini di samping Baong juga menyanyikan lima lagu Gayo dengan fasih. Baong, sangat Gayo sekali dibanding saya malam itu. Ya, Baong memang pernah di Gayo sebelum dia menjadi Pejabat Bupati, wajar memang Baong sangat Gayo dibanding saya.
Acara selesai dan saya pulang ke rumah. Saat pulang saya melihat keramaian masih terjadi di depan Pendapa Bupati. Menariknya, anak-anak dan ibu-ibu juga menggelar tikar di depan Pendapa.
Tiba di rumah, saya terbayang dua kejadian yang berbeda warna walau di lokasi yang sangat berdekatan. Warna pertama adalah cerah dan warna kedua agak kelabu. Saya melihat di kedua warna ini ada kesamaan, yaitu kepemimpinan dan masyarakat.
Pemimpin dengan kepemimpinannya memang harus selalu berada di hati masyarakat. Tak hanya masyarakat pemilihnya, namun juga semua masyarakat yang berada dalam naungan kepemimpinananya. Bila sudah demikian, sinergi antara pemimpin dan masyarakat akan muncul dan menimbulkan sebuah kepercayaan. Kepercayaan ini lah yang akan menjadi landasan untuk berkarya demi negeri.
Membumi di hati masyarakat bagi saya tak harus menjadi pemimpin formal. Banyak karya dan cipta yang bisa kita nyatakan dan laksanakan demi membangun negeri. Toh bila kita sudah berbuat dengan karya dan cipta dan nyata, masyarakat akan bisa menilai dengan cermat, bukan tak mungkin ini yang bisa membuat kita didorong masyarakat menjadi pemimpin formal.
Aceh Tangah saat ini sedang “galau” karena pemimpin formalnya, Bupati, belum dilantik. Bila nanti sudah dilantik, Bupati harus berani mengambil kepercayaan masyarakat dengan karya dan cipta yang nyata sembari mendengar suara masyarakat sebenarnya. Pun dengan yang lain yang belum menjadi Bupati, terus lah membumi. Bangun karya dan cipta sehingga negeri ini akan terus makmur. Sehingga semua pemimpin di sini baik yang formal mau pun pemimpin yang non formal bisa menjadi sahabat masyarakat.
“Bupatiku Sahabatku”. Dua kata yang menarik , biasanya agak susah menjadi sahabat Bupati, khususnya saya, yang belum pernah bermimpi menjadi sahabat bupati. Jempol buat pencetus tajuk atau tema ini saat malam 24 Desember 2012 di Jalan Mahkamah.
*Urang Gayo, warga Takengon
Semoga bupati terpilih akan ikut pola Baong untuk kebaikan. Kemunculan Jokowi, dan Baong di Takengon sudah membuat masyarakat merasa bahwa pemimpin yang baik itu melayani. Bukan dilayani. Meski pola bupati selalu dilayani selama ini terjadi di Gayo. Bupati itu seperti raja. Datang disambut dengan kerawang, dipayungi dll. Akibatnya timbul jarak dan batas. Tuan dan hamba, kaya dan miskin dan rakyat dengan pemimpin. Kita tentu muak dengan ini. Apalagi setelah kemunculan Jokowi dan Baong yang meruntuhkan “kesombongan” protokoler dan keangkuhan pendopo. Dengan pola Jokowi dan Baong, sungguh kita muak bupati yang selalu minta dilayani. Padahal siapapun bupati, dia sudah bersumpah dan menghiba meminta amanah diberikan kepadanya. eh malah setelah terpilih minta dilayani…kalau pemimpin seperti ini, sungguh rakyat mungkin tidak demo atau protes, tapi ttipak dagu…aaaaa’ .semoga kedepan ada perubahan. Ngak usah malu berpatron kepada Jokowi dan Baong. Buang gengsi dan malu yang tidak pada tempatnya…setelah bersumpah…mari melayani, bukan dilayani…singsingkan lengan baju, ..bukan malah sebaliknya….kami hanya mau melihat dan menunggu, lima tahun kedepan dengan perubahan signifikan atau tidak sama sekali. Semuanya tergantung anda yang bersumpah atas nama kami atau lima tahun kedepan akan terlampaui seperti sebelumnya, semuanya terserah anda….