Petani Kopi Gayo, Kuli di Kebunnya Sendiri

Oleh Maharadi*

Anak petani kopi Arabika Gayo di Wih Nongkal Aceh Tengah (Lintas Gayo | Kha A Zaghlul)
Anak petani kopi Arabika Gayo di Wih Nongkal Aceh Tengah (Lintas Gayo | Kha A Zaghlul)

Menyebut nama kopi Gayo, terbayang dalam benak kita nikmatnya kopi arabika pegunungan yang telah hampir seabad ini mendunia. Namun, bagi warga di Dataran Tinggi Gayo, Aceh, tempat kopi ini ditanam secara profesional sejak 1918, sebelumnya kopi sudah dikenal oleh Urang Gayo dengan sebutan Kahwa.

Kopi arabika itu bukan sekadar rasa, melainkan warisan jiwa di tanah bergunung itu, mereka menanam kopi bercita rasa tinggi yang menghidupi. Ada tiga kabupaten di dalamnya Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Total luasan tanam pada tahun 2010 mencapai sekitar 94.500 hektar (ha), terdiri dari 48.500 hektar di Aceh Tengah, 39.000 hektar di Bener Meriah, dan 7.000 hektar di Gayo Lues.

Kopi Gayo ibarat nyawa bagi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tercatat, jumlah petani kopi di Aceh Tengah 34.476 keluarga. Jika satu keluarga diasumsikan beranggotakan 4 orang, sebanyak 137.904 orang di sana yang menggantungkan hidup pada kebun kopi. Jumlah itu setara dengan hampir 90 persen total penduduk Aceh Tengah yang mencapai 149.145 jiwa (2010).

Kabupaten Aceh Tengah memiliki potensi yang cukup besar di bidang pertanian. Tanah Gayo adalah ‘Tanah Surga’, di mana perkebunan kopi menjadi andalan utama. Komposisi penduduk di Aceh Tengah pun sebagian besar berprofesi sebagai petani kopi, sehingga tak dapat dipungkiri lagi begitu besarnya peranan kopi terhadap roda perekonomian rakyat Gayo. Membahas masalah kopi di Aceh Tengah berarti membahas nasib puluhan ribu petaninya.

Bila dipetakan secara umum mulai dari mata rantai produksi hingga pemasaran, posisi petani amat rentan mengalami berbagai kesulitan. Di rantai produksi, mereka harus membeli bibit, pupuk, dan obat pembasmi hama. Harga-harga input tersebut mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan kerapkali menjadi langka pada masa tanam akibat ulah oknum tertentu. Di samping itu, selama ini peran petani kebanyakan hanya berada dalam fungsi produksi saja, hanya sebagian kecil saja yang sampai mengambil peran di fungsi pengolahan, apalagi pemasaran.

Dengan anggapan bahwa peningkatan produksi secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan petani, pemerintah biasanya cuma memberikan bantuan penyuluhan dan pendampingan tentang bagaimana cara bercocok-tanam yang paling baik. Sementara itu, fungsi pengolahan dan pemasaran hasil-hasil pertanian diserahkan ke ranah profesi lain. Tapi sayangnya, sepertinya kurang disadari bahwa pola pembagian kerja seperti ini seringkali merugikan petani. Sebab pada umumnya petani kurang memiliki daya tawar dalam menjual hasil produksi mereka.

Secara tidak langsung pembagian kerja tersebut sesungguhnya telah mendiskriminasi petani dari pendapatan yang layak. Akibatnya petani kopi hanya menjadi kuli di kebunnya sendiri. Maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa berbagai data masih menunjukkan sebagian petani di pedesaan berada dalam atau mendekati jurang kemiskinan.

Kondisi ini semakin memprihatinkan bila kita melihat kecenderungan masyarakat di pedesaan Gayo yang mulai meninggalkan profesi mereka sebagai petani. Terlebih lagi, anak-anak petani yang telah mengenyam pendidikan cenderung tidak kembali pada dunia atau usaha penduduk asli. Apakah hal ini mengindikasikan bahwa profesi sebagai petani memang kurang menjanjikan? Bagaimanapun juga, selama ini pendapatan petani memang lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan profesi sektor lain, terutama profesi-profesi formal.

Di samping itu, ada anggapan bahwa modernisasi identik dengan sesuatu yang berada di luar pertanian dan pedesaan sehingga terjadilah marjinalisasi sektor ini pada pandangan generasi muda Gayo. Kadang mereka malu berprofesi petani, tetapi bertani atau berkebun lebih suka mereka sebut sebagai usaha sampingan. Itupun sebagian dikerjakan oleh orang suruhan.

Dalam kenyataannya harga jual kopi selalu berfluktuasi. Kondisi tersebut menyebabkan petani kopi berada pada posisi kesejahteraan yang tidak menentu, sebab pendapatan mereka ditentukan oleh pasar global yang aksesnya sama sekali tidak terjangkau oleh petani kopi. Setidaknya banyak pihak menyadari betul bahwa pasar internasional sangat menentukan naik turunnya harga kopi, tapi seringkali juga fluktuasi tersebut terjadi di tingkat lokal karena permaninan harga yang dilakukan tengkulak.

*Wartawan Lintas Gayo, penikmat kopi tinggal di Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.