(Negeri tak ber-Ama)
Oleh: Irwan Putra*
AYAH adalah sesosok manusia yang pemberani, memberikan ketenangan kepada buah hatinya dan sebagai sosok pejuang yang ulet dalam memberikan sesuatu yang terbaik kepada keluarganya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Ayah diartikan sebagai orang tua kandung laki-laki; bapak; panggilan kapada orang tua kandung laki-laki; segala hak dan kewajiban yang berhubungan dengan kedudukan itu (Balai Pustaka, Revisi III, Tahun 2005). Seandainya kamus tidak mengungkapkan secara khusus penafsiran kata Ayah ini semua orang pasti dapat menggambarkan sosok Ayah dengan versinya sendiri. Dalam bahasa Gayo, kata Ama digunakan untuk menyebut orang tua laki-laki atau Kepala/Imam keluarga.
Sekarang ini, sebutan Ama menjadi sangat populer dalam masyarakat Gayo, bukan hanya digunakan oleh orang yang sudah menikah (berkeluarga) tetapi, istilah ini juga digunakan oleh kaula muda dalam memanggil pasangannya dengan sebutan Ama-Ine, seperti halnya Ayah-Bunda, Abi-Umi, Papi-Mami. Di awal tahun 70-han ungkapan Ama pernah hilang dikalangan orang Gayo karena mereka mulai berbondong-bondong meniru panggilan seperti Ayah; Bapak; Abi; dan lainnya; hal ini dikarenakan ungkapan Ama sendiri dianggap kuno dan jadul ditengah-tengah galaknya transmigrasi yang masuk ke daerah Gayo pada tahun 1975/1976 (http://id.wikipedia.org/wiki/suku_Jawa,_Aceh), masuknya informasi juga sedikit banyak membawa pengaruh berubahnya pola bahasa dan panggilan masyarakat Gayo sendiri,
Seorang Ama dalam masyarakat Gayo sangatlah berbeda dengan ‘Ama-ama’ versi orang Jawa, Sunda dan daerah lainnya. Di suku Gayo seorang Ama sangatlah ‘dingin’ dalam meng-aktualisasi-kan kasih sayangnya kepada anak-anaknya, seperti tidak pernah mencium kening dan pipi anaknya ketika mau berangkat sekolah atau tidak pernah membelai rambut anaknya sewaktu anaknya ingin tidur, bukan berarti Ama di Gayo tidak sayang kepada anaknya tetapi, karena Ama di daerah Gayo tidak ingin membuat anak-anaknya menjadi cengeng, manja atau bahkan mellow.
Ama di daerah Gayo ingin mengenalkan kepada anaknya bagaimana sebenarnya realita kehidupan ketika mereka tak lagi ada suatu saat nanti, Sangat berbeda dengan suku-suku lainnya-Saya sering memperhatikan di daerah tempat Saya menimba ilmu- atau yang sering kita lihat di sinetron-sinetron yang di tayangkan berulang-ulang di stasiun TV kesayangan kita. bagaimana orang tua yang memperlihatkan keakraban pada anaknya, seperti bercanda, berangkulan dan makan bersama di satu piring.
Mungkin banyak yang beranggapan Ama di daerah Gayo sangatlah seram, tentu anggapan demikian sangatlah lumrah jika melihat proses interaksi dimana sang Ama sangat jarang bertatap muka bahkan berbicara kepada anaknya apalagi bercanda, sebenarnya hal tersebutlah sebagai faktor penentu keharmonisan dalam hubungan antara anak dengan Ama. Rasa penghormatan kepada Ama bukan karena rasa ketakutan atau kebencian. Penghormatan seorang anak kepada Ama di Gayo, tercermin dari tidak pernahnya seorang anak secara langsung beradu argumen dengan seorang Ama atau si anak menceritakan masalah asmaranya dengan pria/wanita pujaannya kepada Amanya.
Jika di daerah lain penyatuan piring dan gelas menjadi hal yang lumrah atau sah-sah saja, di Gayo, gelas dan piring seorang Ama sangatlah spesial berbeda dengan piring dan gelas yang biasa dipakai oleh anaknya untuk makan dan minum, tikar tempat duduk mereka juga sengaja dipisahkan agar beliau merasa nyaman walau itu semua bukanlah barang-barang yang mahal, hal ini disebabkan karena penghormatan seorang anak yang tidak mau menyamakan diri mereka dengan seorang Ama, karena seorang anak menganggap Ama adalah orang spesial dan itu sebagai perwujutan rasa kasih sayang dan menghormatan kepada mereka dan wajib bagi seorang anak muliakannya seperti Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’: 23. Yang artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”.
Banyak orang yang menyangkal pemberian kasih sayang yang kurang kepada anak akan membuat anak merasa minder, pemarah, kurang percaya diri dan tidak aktif. Mari kita kilas balik generasi jauh sebelum kita atau generasi Ama-ama kita, justru dengan didikan yang ‘dingin’ ala Ama Gayo ini mereka semakin mantap dan yakin pada diri mereka, mandiri tidak tergantung dengan orang tua. Banyak dari mereka yang sukses baik di bidang bikrokrasi maupun di bidang akademisi yang sampai sekarang tetap bijak dan memegang teguh adat Gayo, sebagai panutan yang baik bagi generasi muda seperti kita agar giat untuk mengejar cita-cita.
Bukan menyalahkan atau membandingkan antara orang tua yang memberikan kasih sayang yang sedikit berlebihan dengan menuruti apa yang anak kehendaki, tidak memarahi, menanamkan keakraban yang pada akhirnya malah sebagian besar hasilnya mengecewakan, kadang kita para orang tua latah dengan meniru pola asuh orang barat yang tidak sesuai dengan anak-anak di daerah kita seperti kata pepatah tua “lain lubuk lain ikannya”. Seperti sebuah artikel yang berjudul Fatherless Country dimana sebuah penelitian mengenai dampak yang di timbulakan akibat kurangnya interaksi berupa mendongeng, bercanda dll. Antara seorang ayah dan anak mengakibatkan si anak memiliki sipat Egois, pemarah, tidak ramah dll, karena tanpa sadar seorang Ayah telah membuat anak-anaknya menjadi yatim secara psikologis sejak dini.
Tentunya artikel tersebut juga tidak dapat kita salahkan karena keterbatasan mereka dalam melakukan penelitian dan mengambil sampel penelitiannya. Ama kami di Gayo telah membuktikan bahwa pola asah dan asuh yang mereka terapkan dan yang mereka kembangkan tidaklah salah. Semoga pola tersebut terus berkembang di tengah masyarakat suku Gayo sebagai sebuah ke khasan adat istiadat Gayo agar Generasi Gayo tetap menjadi Generasi yang tangguh di tengah Generasi yang lebay dan alay seperti saat ini.(irwanputra88[at]gmail.com)
*Mahasiswa asal Bener Kelipah di Bandung
Tulisan ini dididikasikan buat ama ku Sofyan Toweren
dan untuk seluruh ama-ama urang Gayo di seluruh dunia.