
Oleh: Hammaddin Aman Fatih*
WILAYAH Gayo yang terletak dipedalaman wilayah Pemerintahan Aceh, tepatnya yang mendiami wilayah kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan sebahagian wilayah Aceh Timur.
Daerah ini mulai mengalami perubahan cukup signifikan adalah pasca bencana alam yang amat dahsyat yakni gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 yang telah menghentak perhatian seluruh plosok – plosok planet bumi ini. Wilayah Gayo yang semula secara politik merupakan daerah tertutup menjadi terbuka. Dalam kondisi itu rakyat Gayo tidak lagi kritis dan analitis melihat perubahan yang begitu cepatnya terjadi.
Puncak perubahan itu terjadi pada masa rehabilitasi dan konstruksi Aceh. Berkembang budaya memasyarakatnya prinsip serba boleh (baca: permisif) dan serba bebas (baca; liberalis) dalam kehidupan masyarakat Gayo. Pada saat ini kita dituntut untuk mengkristalkan kembali sikap, pandangan dan terkadang–kadang harus “konfrontasi”. Dari sanalah kesemestaan, kemurnian dan eksistensi budaya Gayo tetap akan berjalan atau dengan istilah lain mengembalikan marwah Gayo sebagai daerah modal, kembalikan ke fitrahnya semula yang bernafaskan Islam.
Kita sama–sama mengetahui, bahwa dahulunya ajaran Islam (baca;berdasarkan Al–Qur’an dan Hadits) sangat kental mewarnai jalannya peradaban budaya Aceh. Tapi, ketika peradaban Gayo mulai mengenyampingkan atau mengadopsi peradaban berbau kebarat-baratan. Gayo menjadi tidak berwibawa lagi.
Sentralisme Budaya
Globalisasi informasi telah menjadi bagian internal dari kehidupan umat manusia. Telah menjadi maju tidaknya suatu komunitas. Telah menjadi mizan modern dan tidak modrennya seseorang. Budaya global bahkan telah merenda visi rakyat Aceh terhadap realitas dunia, alam, manusia, sejarah dan masyarakat. Alhasil, dasar untuk menilai baik buruknya suatu objek pun telah dicampurtanganinya.
Konsisten dengan pengertian global, maka budaya yang merambat lewat arus ini sifatnya mendunia. Apa yang terjadi di suatu tempat dengan otomatis menjadi pengetahuan umum di seluruh penjuru dunia, yang kalau seseorang tidak mengikutinya seakan tidak “abash“ untuk di sebut up to date. Budaya di sini sontak menjadi komoditi massal. Individu kehilangan oritasnya.
Apakah setiap budaya berhak untuk mengglobal? Kendati secara istilah seharusnya memang begitu. Tetapi, karena variable utama globalisasi adalah kecanggihan alat transportasi dan teknologi komunikasi, maka praktis yang berpeluang memasuki arus itu hanya budaya dari negara–negara yang memiliki teknologi seperti itu.
Pada tataran ini, globalisasi lantas berubah menjadi sentralisme (baca;pemusatan kebudayaan), yakni keyakinan bahwa budaya yang unggul terpusat pada suatu negara tertentu. Bangsa lain, kalau mau maju atau lebih tepatnya, kalau mau survive harus mengadopsi budaya mereka.
Sentarlisme budaya seperti ini akan menemukan bentuknya yang paling depotis (baca;zalim) dan represi (baca;menindas) setelah bersekongkol dengan lembaga–lembaga internasional. Diposisikan vis – s – vis (baca;sebagai lawan) dengan negara lain, maka sentralisme ini dengan seberapa jauh berubah bentuk menjadi imprialisme budaya.
Di titik ini, agar barat tetap tampil dengan wajah humanisme (baca;kemanusian ), maka seluruh kata yang mereka gunakan mengalami eufemisme (baca; penghalusan kata). Kata–kata demokrasi, liberal, hak asasi dan konservasi lingkungan pada hakekatnya hanya mewakili satu makna saja ; mempertahankan status “qua“ budaya sekuler barat. Di sini tampak jelas bahwa imprialisme dipersiapkan oleh kolonialisme bahasa.
Maka istilah–istilah sekulerisme, modrennisme dan saintsme tidaklah secara mandiri mewakili makna kata itu sendiri, melainkan telah menjadi “missionaries“ kaya yang membawa pesan ke seluruh dunia tentang tetek bengek kebudayaan barat sekarang.
Jangan terkejut kalau pemimpin semacam Naquib Al – Atas dari Malaysia menolak mati–matian sekulerisme. Maryam Jamilah dari Pakistan menentang keras moderenisme dan Isma’il Raji Al – Furugi dari Amerika amat berang terhadap saintsme.
Intrique Barat
Alam pemikiran Rakyat Gayo yang notebene Islam saat ini sudah tidak lagi murni berangkat dari ajaran Islam (Al–Quran/Hadits ). Tapi juga sudah bercampur dari dialektika keduanya. Lebih memprihatikan bahwa hampir semua produk pemikiran, mulai terkontaminasi atau berada di bawah skenario barat yang notebene suka melakukan eksprimen tentang pemikiran. Akibatnya, muncul pertanyaan, apakah tidak mungkin kita generasi Rakyat Gayo sekarang yang akan menjadi percobaan eksprimen besar barat ? Dalam tulisan ini, penulis hanya menggambarkan gejalanya saja.
Pengaruh itu menyerap tidak hanya pada grass root level, tapi juga menggejala pada middle dan elit level. Wujud dari pengaruh itu tercermin dari sikap hidup sehari-hari, cara berbicara, berpakaian, berprinsip, bahkan dalam mengambil keputusan. Banyak keputusan kebijakan yang di motori oleh mafia–mafia pemikiran kebarat–baratan atau lebih barat dari pada barat itu sendiri.
Sikap kebarat–baratan itu tidak hanya menyentuh sisi – sisi kehidupan duniawi, tapi lebih memprihatinkan lagi mulai merusak pada dataran trensenden dalam agama. Sikap seperti ini seringkali dipraktekkan oleh mereka yang belajar di barat. Memang, di barat mereka tidak melulu belajar Islam, teknologi dan lain sebagainya. Tapi, lebih menekankan belajar metodologi ilmu. Namun, harus kita akui bahwa, metode ilmu yang di bangun bermuara dari filsafat dan kultur dalam konteks ruang dan waktu yang sebenarnya hanya pantas berlaku di sana.
Sesampai di tanah air, mereka yang baru pulang dari barat mencoba membahas Islam dengan memakai “instrumen“ metodologi ilmu dari barat. Dapat di duga, cetusan agamanya terpaksa atau dipaksa bercorak barat. Lebih parah lagi jika cetusan keagamannya sudah berani menyentuh pada sisi yang “rensenden dan mapan“ dalam agama. Sehingga menimbulkan keresahan di sana–sini. Dalam triminologi budaya, gejala seperti ini kita mengenalnya dengan istilah schock culture (baca; tahap pertama).
Sejarah telah membuktikan betapa besarnya kebencian barat terhadap wilayah yang bergaya Islam sehingga mereka berusaha menghancurkan Islam dengan energi Islam itu sendiri. Sebuah penghematan yang luar biasa. Apakah mungkin mereka mau melepaskan generasi Islam yang belajar di sana tanpa dibekali pemikiran kebarat– baratan ?
Adopsi Budaya Barat
Sebuah kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa seiring meruyaknya isu “ globalisasi “ dunia modren. Kini media–media informasi seperti radio, parabola, laser disc serta perangkat media pers, telah mampu menerobos batas–batas negara untuk menyajikan apa yang disebut siaran global.
Karena barat secara “eksolisit” telah mengakui sebagai “baramoter“ budaya pop dunia. Maka dunia saat ini sedang di ubah menjadi sebuah pasar. khususnya Rakyat Gayo sedang sedang dibentuk menjadi konsumen bagi produk–produk penguasa ekonomi, politik, sosial dan lain sebagainmya, di bawah rekayasa tangan–tangan sekuleris barat, dengan cara dipaksanya jaringan informasi mengglobal.
Akibat diatas, terjadilah letusan reformasi yang ditandai dengan usaha menumbuhkan kebutuhan-kebutuhan hidup yang seragam lewat adopsi nilai–nilai secara langsung. Karena itu, melihat fenomena trend saat ini sedang dipropagandakan oleh kerangka pemikiran budaya global, terjadi semacam kesamaan bangunan wilayah komunikasi yang kolektif di antara para budaya pop itu.
Sementara itu, bukti–bukti yang paling ekstrem ekibat meletusnya revolusi budaya pop itu. Saat ini di negara–negara muslim pada umumnya, khusus wilayah Gayo terjadi konspirasi dan intimidasi barang–barang konsumsi yang tidak terdapat nilai gizinya sama sekali.
Penutup
Jika kita ingin mengubah kondisi kita, Rakyat Gayo yang lemah saat ini, maka tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada “reanalysis“ dan “reaktualisasi “ pemahaman Al–Quran dan pemahaman syahadah yang benar bukan hanya atribut arabisme atau bukan sebagaimana dilontarkan oleh orang–orang barat yang berlindung di balik gelar “eintelektualannya”.
Marilah kita berangkat dari budaya Gayo yang bernafas Islam, tapi diberi baju baru disesuai dengan tuntutan zaman yang diridhai Allah SWT. bukan berarti mengutak – atik hal yang sudah menjadi baku dalam agama dan budaya Rakyat Gayo. Sehingga Rakyat Gayo tidak merasa minder bila berinteraksi dengan dunia luar. (madin73[at]ymail.com)
*Antropolog dan Ketua Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat FISIP Universitas Gajah Putih Takengon.