SENANG sekaligus malu hati menerima paket kiriman berupa stiker dan pin bertuliskan “Save Lut Tawar” dari seorang rekan, warga Jawa Tengah, Hanief yang sempat beberapa hari berada di Takengon Kabupaten Aceh Tengah sekitar 3 tahun lalu yang berbarengan dengan kedatangan 2 grup musik, Tim Lo dan Kangen Band.
Rasa senang menerima kiriman itu karena ternyata dia masih ingat selama berada di Takengon, dia terkesan dan jalinan silaturrahmi tidak terputus begitu saja.
Malu, rasa berat menerima kiriman tersebut saat membaca tulisan Save Lut Tawar, kegelisahan menyeruak. Pengagum Lut Tawar, memilikinya, begitu berharga. Namun tak bisa berbuat apa-apa, Lut Tawar menangis. Ekosistemnya kian rusak.
Kiriman Hanief tersebut tiba di Takengon, Sabtu 9 Februari 2013 dan dalam suratnya menyebutkan sangat terkesan terhadap Tanoh Gayo.
“Warganya ramah-ramah, budayanya luhur dan alamnya sangat indah telah meninggalkan kesan yang mendalam untuk saya,” tulis Hanief.
Hanief mengirimkan sedikit kenang-kenangan. Dia berharap bisa menjadi pengingat agar menjaga kelestarian danau Lut Tawar. “Hingga jika suatu hari Allah SWT mengijinkan saya mengunjungi Takengon lagi, keindahannya tetap terjaga dan lestari, Amin,” tulis Hanief.
Risih terhadap Hanief. Dia pengagum Gayo dari segala sisinya, termasuk Danau Lut Tawar. Tersirat pesan untuk menyelamatkan kelestarian Danau Lut Tawar, walau menurut hasil penelitian terakhir dari ahlinya, Danau Lut Tawar belum tercemar berat.
Menyatakan vonis tercemar, rasanya tidak butuh ilmu terlalu tinggi karena nyata-nyata Danau yang katanya sebagai salah satu andalan tujuan wisata bagi warga Aceh sudah rusak dan cemar. Butuh militansi untuk menyelamatkannya. Ini pekerjaan berat, dan sejauh ini pewarisnya, termasuk saya belum bisa melakukan upaya apapun selain berkoar-koar.
Upaya kampanye penyelamatan yang dilakukan elemen sipil dan pemerintah selama ini juga belum menampakkan hasil sesuai harapan. Masih berkutat pada retorika-retorika.
Kesadaran masyarakat masih sangat rendah untuk menjaga kelestarian Danau Lut Tawar. Peraturan perundang-undangan juga belum bisa diterapkan sebagaimana mestinya.
“Orang-orang kok pada jahat ya sama danau ini,” kata seorang wisatawan asal Bogor Jawa Barat beberapa hari lalu. masa plastik kemasan makanan dan minuman sampai pempes dibuang ke danau. kata wisatawan ini kesal. Pernyataan yang tidak perlu ditanggapi karena benar adanya.
Walau hafal ayat Allah yang mengingatkan agar manusia jangan membuat kerusakan di muka bumi, tetap saja turut membiarkan pengrusakan itu terjadi. Sengaja atau tidak kerap ikut-ikutan merusaknya, mungkin secara tidak langsung.
Saat berkesempatan memantau kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) se-Kecamatan Bintang beberapa hari lalu, terbesit kekecewaan mendengarkan satu persatu usulan dari kepala desa di kawasan paling timur Danau Lut Tawar tersebut. Nyaris tak ada suara kerisauan terhadap kelestarian ekosistem danau Lut Tawar. Masih terus berlomba usulkan anggaran pembukaan jalan kebun dan persawahan, irigasi dan lain sebagainya. Mereka tidak salah, kesejahteraan hidup mungkin masih dibawah standar layak.
Elemen sipil yang katanya pemerhati ekosistem Danau Lut Tawar di Aceh Tengah juga seperti kehabisan bahan bakar menyuarakan nasib Lut Tawar. Berbeda sekali dengan apa yang mereka lakukan 2-4 tahun silam. Kini mereka lebih suka menikmati dan mempromosikan “sisa” keindahan melalui saluran media yang ada, pasang status di jejaring sosial ketimbang upaya sosialisasi untuk peningkatan kesadaran masyarakat serta pemangku kepentingan.
Sebagian, kini getol dan berbondong-bondong koar-koar soal kopi Gayo dari Luwak, Long Berry, Pea Berry, cupping test dan sebagainya. Sebagian lagi yang 2-4 tahun lalu, berbilang kalangan muda berteriak lantang “selamatkan Lut Tawar”, kini sebagian mereka pada sibuk ngurusi Dapil dan pemekaran wilayah. Ujung-ujungnya, bisa diduga turut maju atau mengusung seseorang di Pemilihan Legislatif 2014 mendatang.
Kita lihat saja, sudah pengalaman dari sebelumnya. Setelah kenduri rebutan kursi usai, apa suara koar-koar itu masih terdengar?. Atau kita terus menunggu dana dari atas, kiri, kanan atau terpancar dengan sendirinya dari perut bumi baru ada gerak untuk memunguti sampah atau menanam pohon
Sial sekali nasibmu Depik, Kawan dan Eyas. Orang-orang yang pertama menghuni lembah Takengon 7525 tahun lalu ternyata mempunyai keturunan yang mungkin layak digolongkan sebagai kaum kufur nikmat. Tak pandai bersyukur atas keberadaan kalian di Danau Lut Tawar. Hanya segelintir yang mau action, selebihnya No-Action Talk Only. (Kha A Zaghlul | jilan.pinter[at]yahoo.co.id)
DLT : diceriterakan, didiskusikan, diributkan, dijual . Tergantung dimana posisi si pembuat isu atau berita. Danau masih yang itu juga. Ada yang ikhlas, menjadi relawan meski asap dapurnya tidak ngepul dengan baik. Disorong dijadikan ‘tumbal’. Sorong ku lah.
Kemudian ada juga yang mengaku “sudah” orgasme berbuat untuk danau, versi dirinya, lalu tunjuk hidung orang lain.”Akulah..akulah..”, satu jari telunjuk kedepan lantang, empat kebelakang, pura-pura tak lihat.
Dulu teriak lantang. Tak ada posisi dan jabatan serta uang, meski dalam sistim. Tapi begitu danau bisa dijual, Visit Aceh Years dan diberi ruang, waktu dan uang, eh jualan danau juga. Hasilnya bawa pulang. Tak sebanding dengan upaya pelestariannya seperti yang diteriakkan .
Danau masih yang itu juga, payanya ditambal, mau dijadikan daratan.Berseberangan pendapat adalah lawan. Harus dilawan dan dijatuhkan. Buat kelompok baru sebagai kawan. Adalah sangat berbeda, ketika berbicara danau, empat kantong safarimu terisi, ada tabungan yang bisa dipakai hingga 10 tahun kedepan.
Dengan mereka yang bicara danau tapi murni keikhlasan meski ekonominya keluarganya terancam. Orang ini kemudian disalahkan karena tidak lagi membicarakan danau tapi mengurus kopi yang bisa dijadikan sumber ekonomi lebih baik. Kembali tunjuk diri, salahkan yang bukan dirinya.
Danau, memang elok dan bisa dijual atau dilestarikan. Sendiri tak akan mampu, berkelompok tidak jua. Harus bersama. Aku mampu angkat sampah satu ekor, aku angkat. Tidak harus kukatan, demikian juga kamu. Lakukan saja, ihlaskan saja, ada raqib dan atid. Tak ada yang sempurna.
Sekabupaten adalah impian kita. Ketika semua kita di kabupaten ini cinta dan lestarikan danau. Dan itu sudah dimulai. Jangan terhenti karena tunjuk diri tadi. Terlalu kerdil atau berbuatlah lebih hebat, lebih ekstrim dan ilmiah ketika uang ada padamu . Apalagi tabungan juga oke dibanding mereka yang ditunjuk kemudian disalahkan.
Idealnya, danau ini dijadikan milik Provinsi, sebagai ikon, perlu dilestarikan provinsi juga. Bukan hanya dijual sepertai sekarang dan uangnya dibawa pulang. Bersama kita bisa. …ayo minum kopi. Semoga kopi bisa mengasapi dapur lebih dahulu. Baru mungkin menjual danau….
ya…nasibmu lut tawar…
Nasib kamipun entah kemana arahnya…masa depan kamipun kian suram…kami hanya bisa berdo’a semoga ada keajaiban bagi mu oh..lut tawar ku…sayang….depik ku malang…