by

Gayo itu Norak…?

Yunura Anggarawati
Yunura Anggarawati

Oleh: Yunura Anggarawati*

MAIMIKO terlihat murung, ia duduk diteras sebuah rumah kos yang dia tempati bersama teman-teman seangkatannya. Pandangannya kosong karena sedang fokus berfikir. Dia masih berang setelah mengetahui ada suatu bahasa dari daerah lain yang artinya sangat tidak berkenan dihatinya.

Kegusaran hati Maimiko berawal dari percakapan mereka di kos tersebut. Saat itu ada seorang gadis yang memakai pakaian yang terlihat agak norak. Kemudian seorang teman Maimiko berkata sambil tertawa “hahaha gayo bana”. Maimiko tersentak mendengar kata-kata tersebut. “gayo itu apa?” tanya Maimiko. Temannya menjawab sambil terus tertawa “gayo itu norak! Hahaha”.

Darah Maimiko serasa naik ke kepala sampai meluap dan berhamburan keluar dari ubun-ubunnya. “Rahma, aku suku Gayo” katanya pelan mencoba mengendalikan emosi. “Hah, maaf Maimiko aku tidak bermaksud mengejek atau apa pun. Itu hanya sebuah istilah dari daerahku. Bukanya kamu berasal dari Takengon?” kata Rahma terkejut dan merasa bersalah. “iya aku berasal dari Takengon tapi sukunya suku Gayo” jawab Maimiko lesu.

Maimiko terus berpikir keras, banyak pertanyaan yang mengelilingi benaknya. Darimana asal kata Gayo? Kenapa kata itu bisa sama dengan kata dari daerah lain tapi maknanya miris? Apa benar orang suku Gayo itu norak makanya dikatakan suku Gayo?.

“Ah, pusing!” gumamnya kesal. Maimiko masuk ke kamarnya mengambil laptop dan modem, kemudian duduk manis didepan meja kecil bergambar batu Putri Pukes. Dengan dahi berkerut dia mulai mencari di Google.

Bukan jawaban yang didapat Maimiko, tetapi sebaliknya kekesalan yang bertambah. Disebuah blog Maimiko membaca “Ada sebuah tulisan dari seorang saudara dari etnis Aceh yang menyebutkan penamaan ‘Gayo’ itu berasal dari bahasa Aceh ‘Kayo’, yang artinya ‘sudah takut’. Saudara ini mengambil kesimpulan seperti ini berdasarkan atas kemiripan semantik antara ‘Gayo’ dan ‘Kayo’.

Berdasarkan kemiripan pengucapan kata ini si saudara ini menyimpulkan kurang lebih bahwa alasan kenapa saat ini orang Gayo tinggal di gunung adalah karena perasaan ketakutan orang Gayo terhadap orang Aceh. Menurut ini mengatakan bahwa orang Gayo pada awalnya tinggal di pesisir lalu pindah ke pegunungan karena terdesak oleh kedatangan orang suku Aceh. Teori ini cukup masuk akal, karena memang biasanya kebudayaan yang lebih tua selalu terdesak oleh yang lebih baru”. Belum sempat Maimiko membaca pernyataan tersebut lebih lanjut, Bungong mengajaknya jalan-jalan. Maimiko tidak mungkin menolak ajakan teman barunya itu.

Disepanjang perjalanan mereka membicarakan keunikan-keunikan baru yang mereka dapat di Banda Aceh, tempat perantauan baru yang jauh dari pengawasan orang tua. Diterik matahari sore tiba-tiba ada beberapa gadis memakai pakaian dengan warna kuning, merah, Mirabella dan orange. Bungong yang membawa motor yang kami kendarai jadi oleng, spontan dia berkata “Dari kampung mana tu cewek kok panas-panas gini pakai warna ngejreng, mengganggu penglihatan saja. Norak!”.

Maimiko juga merasakan penglihatannya jadi silau, dia memperhatikan gadis-gadis tersebut. Tidak lama kemudian Maimiko tersentak dan ternyata mereka teman-teman SMA Maimiko di Takengon.

Dia menelan ludah lalu berkata pada Bungong. “ternyata mereka teman-teman aku SMA Bungong”. “Aduh, gitu ya” tanggapan Bungong terlihat salah tingkah.

Maimiko kembali terfikir dengan apa yang dikatakan oleh Rahma, “Gayo artinya Norak”.  Apa itu yang melandasi asal usul kata Gayo?.

Untuk mencairkan suasana Bungong mencoba untuk menghangatkan topik pembicaraan mereka. “Maimiko, kenapa anak Gayo suka pakai warna ngejreng begitu?” tanyanya. Maimiko terdiam bingung medengar pertanyaan Bungong karena dia baru memperhatikan hal itu hari ini.

Bungong mengerti kebingungan Maimiko, “iya, Maimiko. Coba aja kamu perhatiin dimana-mana kalo sudah memakai pakaian warnanya ngejreng pasti 85 persen anak Gayo”.

Analisis yang sangat bagus pikirnya, “mungkin karena disana dataran tinggi, harinya selalu terlihat mendung dan udaranya selalu dingin. Dengan memakai warna cerah bisa mempengaruhi semangat.

Kalau sudah gelap memakai pakaian yang gelap pula kan rasanya mati” jawab Maimiko asal. “tapi kan sikon disini berbeda dengan disana, kenapa tidak bisa disesuaikan?” tanya Bungong lagi. “mungkin Cuma itu yang mereka punya” jawab Maimiko asal bunyi lagi.

Bungong terus saja bertanya dan bertanya lagi, Maimiko tau pertanyaan Bungong bukan untuk menjatuhkan. Pertanyaan itu berlandaskan penasaran karena keunikan budaya Gayo. Salah satunya kentut dan sendawa sembarangan termasuk kebiasaan yang sangat tidak sopan, padahal menurut Bungong kebiasaan tersebut tidak masalah dikehidupannya.

“tidak mungkin mereka hanya memiliki pakaian tersebut, anak Takengon kan terkenal kaya-kaya” kata Bungong yang tiba-tiba kembali membahas topic awal yang membawa mereka terhanyut dalam bahasan budaya. “siapa yang bilang anak Takengon kaya-kaya?” tanya Maimiko mengernyitkan dahinya.

Kemudian Maimiko bercerita kalau dia memiliki abang dan abangnya selalu cerita pengalaman merantaunya kepada Bungong. “abang aku punya teman yang pacaran sama anak Gayo, ceweknya cantik-cantik, putih, matanya cipit. Gitu juga teman-teman cewek itu tidak kalah cantik sama dia” Bungong berhenti bercerita dan meneguk minumannya.

Lalu dia melanjutkan ceritanya, “anak Gayo terkenal kaya, cantik dan gaul. Setiap ada liburan mereka liburan ke Sabang atau ke Medan, itu abang aku Cuma nebeng aja semua biaya ditanggung sama cewek itu. Kemaren aku cerita sama abang aku kalau aku punya teman anak Gayo. Abang aku pesan sama kamu hati-hati biasanya mahasiswa baru seperti kamu jadi sasaran empuk” Maimiko tersedak mendengar celotehan Bungong.

Pandangan sesuai realita yang mungkin bisa dijadikan pelajaran, Maimiko hanya tersenyum mengingat semua yang dikatakan Bungong.

Sepulang dari kampus Maimiko jalan kaki menuju kos-kosannya. Dijalan dia bertemu Rahma, tidak jauh dari tempatnya berdiri terlihat ada keributan. “ada apa?” tanya Maimiko pada Rahma. “tidak tau” jawab Rahma yang terlihat takut. “pak, ada apa?” tanya Maimiko pada seseorang yang lewat didepannya. “ada demo” jawabnya.

Maimiko ingin bertanya lagi tapi bapak itu langsung menghampiri temannya. “siapa yang demo?” tanya temannya. “biasa anak plat G” jawab bapak itu. “anak Gayo?” tanya temannya lagi, Maimiko menoleh pada mereka. “bukan, tapi plat Gaduh hahaha” jawabnya. “aneuk Gayo memang gitu selalu buat gaduh, sedikit-sedikit demo.Norak” temannya menanggapi.

Maimiko sedih juga kesal mendengarnya. “Bu, terkadang aku menyesal harus terlahir dengan suku Gayo dan merantau di negeri yang anti suku Gayo. Bu, sesak rasanya menerima tekanan dari mereka karena ulah anak yang mengaku suku Gayo yang tidak bertanggung jawab. Disini aku belajar menjadi karang dan tebing yang kokoh agar aku tegar” gumamnya, tidak ia sadari butiran hangat air mata pun mengiringi gumamannya.

Maimiko sudah melupakan mencari asal usul kata Gayo yang menurutnya cukup sulit. Dia bertahan menerima dan membaca berita tentang keburukan Gayo. Hingga kini di relung hatinya dia memiliki kebanggaan tersendiri terlahir sebagai suku Gayo. Dia berfikir dimana-mana Gayo terkenal dengan kopi dan keseniannya, lihat saja “kopi Gayo Ule Kareng” kenapa ada Gayo dan Ule Kareng?.

Berarti kopinya berasal dari Gayo dan Ule Kareng itu? Pertanyaan yang tidak harus terjawab.
Walaupun Gayo artinya norak toh kopi dan keseniannya terkenal tingkat nasional dan internasional. “aku tidak mengidentifikasi bahasa daerah, tidak bermaksud menyalahkan bahasa, aku hanya memberi semangat untuk diriku dan daerah asalku kalau yang dimaksud itu bukan kami dan norak bukan yang melandasi suku kami” tulis Maimiko pada sebuah buku kecil yang covernya bergambar kerawang sambil tersenyum puas.###

*Mahasiswa FKIP Biologi Unsiyah asal Takengon

Comments

comments