Catatan Akhir Pekan a.ZaiZa
“Kalau kita tidak mengkritik diri, kita jadi bodoh dan buta, sehingga kita berjuang dengan ketidaktahuan diri dan orang lain.”
– Mohammed Arkoun, guru besar Universitas Sorbonne, Paris
PADA catatan akhir pekan ini, saya sengaja mengutip pernyataan seorang guru besar di sebuah universitas di Francis. Karena ungkapan professor ini saya nilai relevan dengan semangat yang disampaikan oleh seorang mahasiswi asal Takengon yang bernama Yunura Anggarawati.
Saya juga berharap Yunura Anggarawati, kelak mampu menjadi seorang guru besar atau setidaknya orang yang bisa memberikan pencerdasan bagi daerahnya hingga bisa maju dan “kembali” memiliki masa jaya sebagaimana yang pernah diukir para keturunan Reje Linge yang menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Aceh Darussalam.
Yunura Anggarawati, yang sampai saat ini saya tidak kenal baik secara langsung maupun lewat dunia lain (facebook, HP dan jaringan lainnya). Saya hanya mengenalnya lewat sebuah tulisan yang nilai menarik yang dimuat di Lintas Gayo, media yang sedang and abaca ini, yakni tulisan yang berjudul “Gayo itu Norak…?”.
Memang terkesan, tulisan itu menghina, melecehkan atau merendahkan suku bangsa kita (saya, anda dan kita semua) yakni Gayo. Kata norak itu membuat beragam pendapat dilontarkan para pembaca, mulai dari yang berusaha meluruskan hingga ada yang melontarkan kata-kata tak pantas dengan ucapan, “…… (maaf- nama hewan yang najis) yang bilang Gayo Norak”, yang sebernya tak layak diucapkan di media publik.
Hanya saja, saya menyikapi tulisan Yunura Anggarawati merupakan realita, yang bisa saja saya rasakan, anda atau kita semua. Hanya saja dalam konteks yang berbeda dan perlakukan yang berbeda pula. Tetapi, dengan sikap polos dengan semangat otokritik, Yunura berani mengekspresikannya dalam sebuah tulisan.
Jujur saya katakan, jarang ada orang Gayo yang berani mengkritisi diri sendiri. Sebab, tipikal manusia jika dikritik akan muncul sikap egonya dan berusaha melawan, meskipun yang dikritisi itu benar adanya sesuai dengan realita yang terjadi.
Sebanrnya, di tengah kondisi Gayo secara umum yang sedang membuka diri menuju secercah harapan akan masa kejayaan, melalui terbukanya tabir kebangkitan Reje Linge, Gayo membutuhkan banyak tukang kritik yang konstruktif. Sehingga kita (Gayo-pen) bisa menyongsong masa ke emasan yang pernah terukir pada masa lalu menjadi masa ke emasan di zaman modern sekarang ini dan akan datang.
Berlandaskan kata pemikir besar, Bernard Lonergan, “Be attentive, be intelligent, be responsible, be loving, and if necessary, change.”, Fransiskus Nadeak seorang blogger mengungkapkan, dengan kebiasaan melakukan otokritik, kita akan mampu meninggalkan keyakinan-keyakinan yang melenceng, yang tidak relevan, yang mungkin keliru atau error. Kita memperoleh pengertian (dengan cara) baru, lebih luas, lebih dalam, dan lebih tajam. Dengan pengertian seperti ini, maka bagaimana kita mengimani sesuatu akan semakin baik, dengan demikian keyakinan kita pun akan makin tangguh, teguh, dan kokoh.
Semangat yang diungkapkan Frasiskus Nadeak itu pula dilontarkan Yunura dalam ending tulisannya, yakni ….. “Hingga kini di relung hatinya dia memiliki kebanggaan tersendiri terlahir sebagai suku Gayo. Dia berpikir dimana-mana Gayo terkenal dengan kopi dan keseniannya, lihat saja “kopi Gayo Ule Kareng” kenapa ada Gayo dan Ule Kareng?.
Berarti kopinya berasal dari Gayo dan Ule Kareng itu? Pertanyaan yang tidak harus terjawab.
Walaupun Gayo artinya norak toh kopi dan keseniannya terkenal tingkat nasional dan internasional. “aku tidak mengidentifikasi bahasa daerah, tidak bermaksud menyalahkan bahasa, aku hanya memberi semangat untuk diriku dan daerah asalku kalau yang dimaksud itu bukan kami dan norak bukan yang melandasi suku kami” tulis Maimiko pada sebuah buku kecil yang covernya bergambar kerawang sambil tersenyum puas.
Berkenaan dengan otokritik ini sendiri, seorang master psikolog di Aceh Tengah juga melontarkan otokritik. Lewat catatannya, Wahyuni,M.Psi mengungkapkan, Jadi sebaiknya momentum ulang tahun itu dijadikan masa pembenahan dan edukasi, karena hidup itu berjalan kedepan bukan kebelakang. Dia berguna untuk kehidupan generasi anak dan cucu kita nanti.
Seyogyanya, aktifitas atau kegiatan yang dilakukan lebih fokus pada pembenahan, bukan sekedar even yang sama setiap tahunnya. Jangan sampai peringatan ulang tahun itu kehilangan makna, sehingga tidak tercipta perubahan pola pikir dan pertubahan perilaku masyarakat.
Memang sudah selayaknya kita terus berbenah baik pribadi maupun pemerintah daerah untuk bisa berbuat lebih baik. Dan partisifasi masyarakat sangat dibutuhkan dengan terus mengkritisi setiap kebijakan yang lahir sehingga bisa dibenahi kearah yang lebih baik, tentunya kritik yang disampaikan harus konstruktif, bukan kritik buta.
Seorang Kaisar Prancis, Napoleon Bonaparte dalam mengapai masa kejayaannya juga pernah meminta untuk mengritisi semua kebijakannya, sehingga bisa berimbas dan bermanfaat langsung bagi masyarakatnya dalam semua kebijakan pembangunan yang dilakukannya.
Meskipun akhirnya Napoleon sendiri merasa takut akan kritikan tersebut, sebab kritikan yang disampaikan lewat media sangat “menghantui” kebijakannya. Hal ini pula yang melandasi Napoleon Bonaparte pernah mengatakan, “Jika media dibiarkan saja, saya tidak akan bisa berkuasa lebih dari tiga bulan”.
Dibagian lain Napoleon Bonaparte mengungkapkan, ia lebih takut kepada media massa dari pada satu batalyon yang lengkap dengan senjata. Namun, bukan Napoleon namanya, kalau tidak bisa memanfaatkan semua kritikan media massa tersebut, tanpa “merangkul” media itu dengan ungkapan “Media massa” merupakan pilar demokrasi.
Intinya, kritikan itu perlu dan segala kritikan terutama yang otokritik harus bisa disikapi untuk kemajuan negri ini untuk menuju kearah yang lebih baik. Semoga kita dan pemerintah tak alergi dengan semua kritikan yang dilontarkan.
Terakhir, Dirgahayu Takengon. Selamat datang otokritik demi Gayo yang gemilang.(aman.zaiza[at]yahoo.com)