Oleh.Drs.Jamhuri, MA[*]
Sudah satu minggu di rumah (Banda Aceh) kulkas tidak lagi dingin tidak tau apanya yang rusak, karena tidak ada yang ahli untuk memperbaikinya maka sampai sekarang kulkas tersebut tidak dapat digunakan. Semua orang di rumah memberi pendapat dengan menggunakan teori kemungkinan yang mereka punya, saya katakan mungkin ada kable yang putus, isteri katakan mungkin ada obat yang seharusnya ada tapi sudah habis, anak-anak katakan mungkin selama ini arus listrik tidak normal. Itulah diskusi yang berkembang dirumah selama semingu ini. Tapi tetap tidak ada solusi.
Tiga hari yang lalu, telah mencoba menghubungi teknisi kulkas namun sampai sekarang juga belum datang, ingin memanggil teknisi yang lain takut teknisi yang sudah dipesan datang, namun setelah menuggu tetap juga tidak datang. Akibatnya sayur-sayuran, buah-buahan, ikan dan lain-lain yang seharusnya bisa disimpan di kulkas sekarang tidak bisa lagi. Melihat kondisi kulkas seperti itu saya terpikir kalaulah ada diantara keluarga yang ahli dalam memperbaiki kulkas tentu kulkas rusak tidak selama sekarang, sayur-sayuran, buah dan ikan bisa dibeli dan disimpan untuk persiapan satu minggu atau lebih lama.
Sembari memikir kulkas rusak yang ada di rumah saya teringat dengan keluarga dan orang-orang di kampong dan Gayo umumnya, yang sejak turun temurun berusaha sebagai petani, mereka menanam padi, kopi dan sayur-mayur. Padi yang mereka tanam dirawat dan dipanen, selanjutnya mereka punya ilmu untuk menyimpannya, dibuat lumbung “keben” sehingga dapat bertahan untuk kebutuhan sampai setahun bahkan ada yang lebih lama. Demikian juga dengan kopi, mereka tanam, mereka rawat dan ketikan panen mereka punya ilmu untuk menyimpannya karena memang kopi dan padi tersebut bukan benda yang mudah busuk.
Petani sawah tidak banyak lagi, petani kopi semakin banyak mencapai 90 % lebih dari pendudukan Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tapi semua petani kopi belum berhasil mengantungkan hidup mereka secara penuh kepada usaha kebun kopi tersebut, sehingga mereka menjadikan tanaman palawija sebagai usaha alternatif. Mereka menanam tomat, cabe, kul, sawi dan lain-lain, terkadang mereka mendapat hasil yang banyak dengan harga yang tinggi terkadang juga mereka gagal panen karena musim yang tidak menentu dan ada juga mereka mendapat hasil banyak tetapi tidak ada harga, akhirnya mereka rela dengan nasip asal ada yang mau membeli walaupun dengan harga yang murah sampai terkadang tomat, kul, sawi dan lainnya menjadi sampah di pinggir jalan karena tidak ada yang beli.
Saya berandai, kalaulah ada orang Gayo yang sekolah dan kuliah di teknik elektro dan mampu membuat kulkas raksasa (cold storage) tentu tomat-tomat yang dihasilkan petani tidak lagi dibuang karena alasan tidak ada yang membeli atau juga bisa menahan penjualan sambil menunggu membaiknya harga. Juga dengan kul dan sawi tidak akan lagi membusuk di pinggir jalan sehingga membuat saudara kita tidak mau lagi berusaha menanam palawija karena alasan selalu rugi.
Semua orang di Gayo tau pohon kasma, ketika musim berbuah semua daunnya seolah berganti dengan buah, batangnya seakan mati. Semua buahnya berjatuhan dan menjadi pupuk tanaman kopi dan kotoran yang menjijikkan dan kalaupun dijual menurut petani tidak sepadan antara harga yang ditawar dan tenaga yang dikeluarkan, lalu muncul tradisi dalam masyarakat “siapa yang berminat petik sendiri” dan kalau untuk dijual maka cukup dengan memberi harga seikhlasnya. Demikian juga dengan buah nangka dan pisang, bagi masyarakat kampung hanya memadai untuk dimakan selebihnya menjadi konsumsi tupai dan burung, tidak ada dalam benak mereka bahwa benda tersebut dapat dijual apa lagi diolah menjadi makanan yang mewah. Untuk ini saya berandai lagi kalau ada orang Gayo yang kuliah di jurusan teknologi hasil pertanian tentu semua hasil yang telah disebutkan dapat diolah menjadi makanan yang digemari oleh semua orang, tersimpan di toko-toko yang berkaca, seperti prutella, potato dan juga kacang koro. Tapi siapa yang bisa mengarahkan generesi muda dan meyakinkan mereka bahwa itu adalah lapangan kerja atau usaha yang dapat menhasilkan dan menghidupi diri sendiri dan keluarga dan juga dapat menciptakan lapangan kerja untuk orang lain.
Kata mereka yang ahli antropologi (antropolog) tidak ada keharusan masyarakat petani (agraris) berpindah propesi menjadi ahli bidang industri, tetapi justru keadaan yang menghendaki atau menuntut perpindahan dari masyarakat agraris menjadi industri. Karena itu masih dengan menggunakan teori kemungkinan, bahwa mungkin nasip petani kita akan bisa berubah apabila generasi mudanya bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan yaitu merubah diri dari pola pikir agraris menjadi berpikir industri.
pak….
Hana geral kulkase…
LG, Panasonic, Sharp, Samsung atau Polytron…kati te beteh isi si rusak…
Ike gere imah nye u tekhnisi terdekat i kute….