Oleh: Safutra Rantona*
ISU ketertinggalan kawasan tengah Aceh kerap dijadikan bahan jualan politik. Bahkan hingga kini, setelah delapan tahun perjanjian damai Helsinki ditandatangani, isu ketertinggalan Aceh bagian tengah menjadi sangat dominan, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan ketertinggalan pembangunan di kawasan ini mendorong sebagian masyarakat Aceh bagian tengah untuk berpisah dari Provinsi Aceh.
Berawal mulai keterwakilan anggota DPR Aceh asal Gayo, pembagian anggaran APBA,hingga dana aspirasi Anggota DPR Aceh. Semua sumber anggaran tersebut tak pernah menyentuh masyarakat yang ada di masyarakat Aceh bagian tengah. Mereka hanya menjadikan Aceh bagian tengah sebagai sumber kebangkitan penambahan APBA.
Sebagai daerah yang kaya akan potensi alam, tak seharusnya masyarakat di Aceh bagian tengah hidup dalam kungkungan kemiskinan. Meski menjadi bagian penting dari peredaran bubuk kopi di dunia, Kopi Gayo tak mampu bersaing secara ekonomis karena regulasi tak berpihak kepada para petani.
Petani kopi tak mampu menjadikan komoditas incaran dunia ini menjadi sumber penghasilan yang mampu mengangkat derajat hidup dan kesejahteraan mereka. Suburnya tanah Gayo juga tak menjadikan petani sayur dan padi menikmati hidup layak. Sebagian besar masyarakat meyakini, bahwa pola pembangunan yang dilakukan di daerah ini tidak memberikan kontribusi bagi pengembangan kualitas kehidupan masyarakat.
Dengan pekerjaan penduduk di daerah Gayo bahwa hampir 98 persen masyarakat bekerja sebagai petani kopi dan sayur-sayuran. Namun, Lihat saja jalan menuju kebun kopi petani, hampir tak ada tanda-tanda dibangun. Pemerintah hanya mengumbar janji-janji pembangunan, akan tetapi bisnis kopi tersebut, dijadikan penambahan kantong uang untuk daerah-daerah tertentu di Aceh.
Anehnya lagi, setelah berganti pemerintahan, Aceh bagian tengah juga masih dipandang sebelah mata. Karena itu, penting kiranya agar seluruh elemen, terutama warga Aceh bagian tengah, untuk duduk bersama mencari jalan keluar dari peliknya permasalahan yang dihadapi.
Semakin tingginya anggaran APBA 2013 ini,daerah penghasilan kopi terbesar tersebut tidak mendapatkan sesuai dengan hasil pajak bumi kopi tersebut. Ironisnya, pada pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf (Zikir) saat ini, anggaran tersebut berkiblat ke lembaga partai “merah” itu, yang memenangkan mereka pada Pemilukada 2012 lalu.
Pemerintahan Zaini dan Muzakir saat ini,pembangunan di Aceh bagian tengah semakin tertinggal jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah di Aceh. Lihat di Pidie, hampir 50 persen anggaran APBA tahun 2013 ikut andil di daerah Pidie.
Ketidak adilan semakin nyata dan mulai terlihat blak-blakan, pemerintah semakin menutup mata dari daerah penghasilan kopi tersebut, pemerintah tidak pernah berpikir bagaimana harga kopi tersebut bisa sesuai dengan kualitas, pemerintah tidak pernah berpikir bagaiamana kopi tersebut langsung keluar negeri melalui bandara rembele, pemerintah tidak pernah berpikir bentuk promosi kopi Gayo tersebut dapat menjamahi pemasaran kopi dunia, dan pemerintah tidak pernh berpikir bagaiamna di daerah Aceh bagian tengah tersebut dapat dibangun pabrik kopi terbesar didunia? Tidak.Tidak.Tidak…
Anggaran semakin tahun semakin bertambah, jika tidak memiliki konsep pembangunan merata, maka jangan pernah bermimpin Aceh akan bangkit dari duduknya. Dan ketidakadilan tersebut juga bisa menjadi berpisahnya Aceh dengan daerah Aceh bagian pedalaman khususnya Gayo.(ranto_sijarak[at]yahoo.com)
*Mahasiswa Ilmu Komunikasi,Fisip, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh
Kune ke male mujeleni perdamayen ni ike lagu nini cara ni pake a.
Jelen 1 1 GLA turah bangket, kati beteh jema tanoh kepingen surge ente seluruh dunie…
waduuh….jangan marah marah dulu…sabar sabar…jangan kedepankan emosi…itu tidak baik…
Ayo…mahasiswa asal aceh bagian tengah coba galang persatuan, kesatuan dan rapatkan barisan satukan suara serta bulatkan tekan menuju ALA….
Perjuangkan ALA…agar impian masyarakat aceh bagian terwujud….Amien….