Irama Br Sinaga*
Memilih antara dua pilihan bukanlah perkara mudah. Begitulah yang terjadi kepadaku tiga tahun lalu. Antara lanjut kuliah atau berhenti. Saya membuat catatan perbandingan antara yang mana lebih baik. Lalu ambil keputusan untuk tinggal di Asrama milik Pemerintah Daerah Kabupatenku. Di sana aku menjalani hidup dengan amat sederhana dan harus irit demi cita-cita tertanam dihati.
Asrama, Bukanlah seperti yang kubayangkan sebelumnya dan seperti yang diceritakan kawan-kawan yang dulunya pernah tinggal di Pesantren. Mereka harus antri makan dan mentaati segala peraturan, mereka jenuh dengan kehidupan di asrama.
Perjalananku hingga ke Asrama itu penuh liku-liku. Enam bulan aku berada di asrama diangkat menjadi ketua Asrama. Saat itu aku tidak yakin kalau hal ini akan terjadi dan ini benar-benar diluar dugaan. Aku adalah salah satu warga asrama yang paling pendiam dan paling tidak suka berdebat ketika lagi rapat masalah peraturan.
Asrama tempat tinggalku tidak memiliki Ibu Pembina dan peraturannya dari warga untuk warga. Aku melihat ini bukan asrama tapi kost. Saat diamanahkan menjadi ketua, aku jarang sekali tidur di kost kawan dan bahkan aku harus mengontrol warga asrama. Pikiran ku bertambah lagi, sebelumnya hanya memikirkan bagaimana kuliah, sekarang harus memikirkan nasib anak asrama.
Seiring berjalannya waktu aku mencoba bertahan menjadi ketua, berbagai cobaan, pujian, hinaan yang aku rasakan bahkan aku pernah mengundurkan diri dari ketua karena tidak sanggup memikul beban. Namun pengunduran diri tidak disetujui oleh warga. Alasannya tidak ada yang mau menggantikan dan tidak ada yang bisa jadi ketua. Saat itu aku hanya bisa terima walaupun sesungguhnya tidak menerima kenyataan namun aku mencoba mengambil hikmah dibalik semua itu.
Teringat saat kak Indah memberi ku nasehat, dia adalah kakak seiman, persaudaraan kami atas dasar Islam bukan karena saudara keturunan, kakak itu banyak membantu baik nasehat, motivasi maupun berupa uang. “Dek, ketika Allah menguji kita, Dia menghadiahkan berbagai persoalan hidup, sebenarnya Allah rindu dengan kita. Kita diminta menyebut nama-Nya dengan sepenuh hati, bahwa hanya Dia yang bisa memberi pertolongan dan menyelesaikan semua masalah dan keperluan, dan satu-satunya tempat kembali”
Kak Indahpun terus melanjutkan nasehatnya “Bayangkan, bila tidak ada ujian, atau jika ujian demikian besar dan Adek tidak mencari Allah, maka Allah akan menutup semua pintu penyelesaian? Adek tidak punya solusinya. Kemana Adek akan mencari jawabannya? Walau punya uang hingga miliaran dan triliunan, tapi semua itu tidak mampu menyelesaikan semua masalah. Kekayaan itu pun tak berarti apa-apa”.
Sejenak beliau berhenti, kemudian sambil menatap wajahku, beliau melanjutkan nasehatnya “Allah, Sang Maha penyelesai masalah dan kebutuhan Adek. Sungguh, Allah sangat merindukan Adek kembali, selangkah Adek mendekati Allah, melompat Dia menyambut taubat Adek, hanya Allah yang mampu membuat luka menjadi bahagia, membuat hina menjadi mulia, selain Allah tidak ada yang bisa”.
Saat itu aku hanya terdiam, dan berkata “Terimaksih kak, atas nasehat kakak,“
“Adek yang tegar ya?” kak Indah mencoba menyemangati ku.
“ya kak, semoga Allah memudahkan segala urusanku” jawab ku.
Hidup memang kadang membuat kita jenuh, masalah demi masalah, ujian demi ujian selalu menghampiri. Terkadang sempat terbesit “kapan berakhirnya, kapan aku bisa bahagia, kapan aku bisa tidur dengan nyenyak”. Namun bila kita berfikir semua akan baik-baik saja. Hanya waktu yang belum tepat untuk menjawab semua derita yang kita alami.
Aku adalah gadis biasa, bila ada masalah biasanya aku curhat pada kak Indah dan kak Mulyani serta sahabat terdekatku. Baik itu tentang keluarga, asrama, kuliah dan organisasi. Terkadang aku merasa waktu kurang, pagi sampai sore biasanya menghabiskan waktu di luar asrama dan malam sudah kelelahan sehingga masalah yang ada di asrama terbengkalai. Padahal asrama butuh perhatian, warga sangat tidak suka dengan sikapku.
Amanah menjadi ketua memang sangat berat, aku belum bisa membagi waktu dan aktvitas ku berantakan. Aku mencoba memperbaiki dan mengurangi aktivitas di luar agar asrama bisa diperhatikan. Sebenarnya tidak ada yang perlu diperhatikan namun kawan-kawan kadang rindu berkumpul, cerita, masak bareng dan nonton bareng.
Semua yang tinggal di asrama adalah mahasiswi, jadi mereka sudah bisa memikirkan mana yang baik. Namun terkadang walaupun kedewasaan telah tiba, sifat kekanakkan masih melekat. Tah karena anak manja atau memang sifat mereka seperti itu. Namun aku tetap mensyukuri nikmat Allah, dari merekalah aku belajar kesabaran walaupun menjengkelkan, belajar iklas walupun mereka menyakitiku dan belajar semangat walaupun mereka membuatku lelah.
Malam jum’at adalah malam wajib baca Yasin bagi warga, saat itulah kami ada waktu untuk rapat dan memberikan saran atau kritik pada pengurus atau warga lain. Debat dan diskusi berlangsung kadang amarahpun timbul dan aku sebagai ketua harus terima apa yang dikatakan warga dengan lapang dada. Sakit terpaksa aku tahankan karena sudah menjadi sayuran setiap malam Jum’at.
Hari itu, Minggu. Seperti biasanya anak asrama gotong royong, namun cuaca pagi itu mendung, sepertinya langit akan menumpahkan air ke bumi. Aku yang diamanahkan sebagai ketua setiap hari minggu selalu mengingatkan kawan-kawan agar membersihkan pekarangan asrama. Namun saat kami memulai membersihkan halaman asrama, hujan mengguyur bumi. Semua anak asrama mengambil ember untuk menampung air hujan. Sejenak aku termenung di ujung asrama sambil melihat tetesan hujan yang turun dari atap asrama “sampai kapankah kami seperti ini? semiskin inikah Kabupatenku?” banyak hal yang aku fikirkan sehingga teriakan anak asrama tidak terdengar.
“kak Ira,,!” Wina mengejutkan ku.
“dipanggilin dari tadi gak nyahut-nyahut” dia menyapa dengan wajah cembrut dan logat Jawa.
“opo nduk?” jawab ku dengan bahasa Jawa
“ember mbak sing warna ireng nengendi to?
“neng dapur” jawab ku singkat
Ember besar ku itu punya sejarah. Saat itu, acara Poros Louser di Anjungan Gayo Lues. Disana kami masak-masak dan banyak barang-barang dari asrama dipinjam, karena aku juga salah satu panitia saat itu. Setelah acara selesai maka barang-barang yang dipinjam pun berantakan sehingga sebagian barang-barang hilang salah satunya ember warna abu-abu ku hilang. Rasanya aku menyesal meminjamkan ember itu karena baru seminggu dipakai dan ember itu merupakan kenang-kenangan dari kawan untuk menampung air hujan. Setelah saya laporkan pada ketua panitia maka digantilah ember warna hitam besar. Dan ember itu aku gunakan untuk menampung air.
Hari-hari kami lalui begitu saja, Asin tetap kami rasakan. Bila kemarau tiba maka air pun semakin keruh dan sangat asin. Secara kasat mata saja air yang kami gunakan itu tidak sehat apalagi secara ilmu kesehatan. Sungguh kami merasa tersiksa dengan air asin itu namun Pemerintah kami seakan buta tak melihat penderitaan kami padahal sudah beberapa kali datang dan melihat air itu, bahkan sudah pernah masuk kekamar kecil. Tah apa yang membuat Pemerintah tidak membantu memasukkan PDAM ke asrama. Keluhan kami selalu ditanggapai dengan baik namun sudah tiga tahun setengah saya tinggal di asrama namun air tetap asin.”mungkin sampai tamat kuliah air tetap asin” huh..desus ku
Suatu hari, aku dan kawan-kawan asrama lainnya sedang mendiskusikan refreshing akhir tahun.
”Tahun ini kita ke Pasir Putih aja” kata Arni
“Boleh juga” jawab ku singkat
“Aku gak mau ke Pasir Putih” kata Meri
“Why?” kata kak Henny yang kuliah di Bahasa Inggris Institut Agama Islama Negeri AR-Raniry
“Kalau ke Pasir Putih itu sama saja di asrama kak, sama-sama asin ha ha” Meri ketawa
“ha ha ha” kawan-kawan pun serentak tertawa
“Jadi, dimana juga?” jawab ku tersenyum.
“Kita cari yang air tawar saja, biar karat di badan pudar ha ha” kak Mey menjawab sambil tertawa, padahal kak Mey adalah kakak letting yang kami segani karena dia orangnya pendiam namun pandai humor juga.
“Coba cari tempat yang ada air tawar dan ongkos mobil tidak mahal” tanya ku, mengingat uang kas minim sehingga refreshing kali ini harus hemat.
“Di jembatan sebelum kantor Gubernur aja kak” kata Imah dengan nada polos
“ha ha ha ha” suara tertawapun keluar dari setiap warga asrama saat itu
Beberapa saat kemudian wargapun terdiam, seakan malaikat sedang lewat. Walaupun asrama kami tidak seperti asrama kabupaten lain namun kebersamaan dan kekompakkan tetap kami jaga. Hanya kebersamaan yang menguatkan kami tinggal di asrama yang megah namun rapuh.
Allah maha segalannya, Allah mengetahui derita kami. Asin yang kami rasakan tidak memberikan penyakit pada tubuh kami. Air yang keruh dan berkarat tidak membuat kami gatal-gatal.
Terbaca sebuah ayat :
“…ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia maha suci Engkau …”(Ali-Imran:191)
Ayat di atas menyakinkan kami bahwa asin yang kami derita tidak akan sia-sia karena itu adalah ciptaan Allah. Asin mengajarkan kami mensyukuri nikmat Allah. Dan bukan berarti kami tidak berusaha untuk meminta bantuan Pemerintah. Kami sudah seperti pengemis dan anak telantar padahal setiap asrama ada anggaran namun selama ini kami tidak pernah mendapatkan anggaran itu.
Bukan hanya asin yang kami derita, pencuri berkali-kali masuk asrama dan dinding pun retak akibat gempa. Megah bila dilihat dari depan namun rapuh bila kita masuk dalam asrama tersebut. Menangis bila aku kenang semua cerita ku di asrama, pahit, suka, duka dan bahagia bercampur namun hal itu sudah menjadi suratan takdir yang dulu ku pinta. “aku yakin Allah memberikan yang terbaik untuk ku”, hanya kalimat itu membuat ku terus menjalani hidup.
Dalam hati ku terbesit “kelak bila aku sukses aku akan melihat Asrama, apa yang telah berubah dan aku akan membantu adik-adik yang tinggal di Asrama”.Pengalaman ku di Asrama membuat semangat ku untuk kuliah meningkat, bila aku tamat mungkin aku bisa kerja di jajaran pemerintah Kabupaten ku. Sehingga suatu hari, aku berfikir ingin menjadi Dewan Perwakilan Rakyat.
Tahun 2013 sebentar lagi berakhir, sekarang aku sudah mulai menyusun skripsi, artinya kesempatan itu sudah ada. Manusia hanya berencana dan Allah yang menentukan. Sebaik-baik rencana manusia, rencana Allah yang paling baik. Senja berlalu dengan alunan suara adzan, ku segerakan berwudhu karena antrian panjang pasti ada saat senja itu. Apalagi, malam ini malam minggu, kawan-kawan yang ada pacar biasa mandinya saat senja, agar pas kencan wangi sabunnya masih tercium.
Waktupun terus berputar, suara riuh asrama masih terdengar, ada yang mengaji dan ada copian suara Ayu Ting Ting dari kamar mandi. Aku yang lelah karena aktivitas siang tadi sangat padat, memilih untuk istirahat sembari mentadabburi sebuah ayat yang artinya “Jikalau engkau mensyukuri nikmat Ku kata Allah, niscaya akan Ku tambah . tetapi jikalau engkau mengingkarinya ingatlah azab Ku sangat pedih”. dari ayat ini mengajarkan aku tentang bersyukur.
Hujan merupakan anugrah yang tak bisa ku ungkapkan, bilapun hanya setetes kami tetap mensyukurinya dan bila pun turunnya ditengah malam kami tetap terbangun untuk menampungkan ember-ember yang sudah kami persiapkan. Ayat tadi selalu ku ingat, bila aku mensyukuri maka Allah akan menambahkan nikmat itu. Ayat itu tidak hanya berlaku pada kehidupan di asrama ku namun berlaku untuk semua umat yang berfikir.
Suka duka dalam asrama akan indah pada waktunya. Ada saatnya memetik buah dari peras keringat menimba ilmu di rantau orang. Sebuah penghargaan yang mungkin bagi sebagian orang sangat berharga. Namun bagiku ada hal yang lebih bernilai dari sekedar selembar Ijazah yaitu Ilmu dan ukhuwah (persaudaraan) serta pengalaman di Asrama. Ilmu yang bisa mengantarkanku menuju kesuksesan dunia dan kebahagiaan di akhirat.
–
Irama Br Sinaga, lahir di Samardua. 11 Juli 1991 (Aceh Singkil). Mempunyai hoby membaca dan traveling dan bermotto La takhof, Innaka Antal a’la (jangan takut, sesungguhnya engkau yang paling unggul). Gadis alumni SMA N 1 SINGKOHOR ini Mahasiswi Jurusan Komunikasi Islam.