WAKTU menunjukan pukul 13:40 WIB, Selasa 26 Maret 2013, jam makan siang telah lewat. Semua rekan-rekan wartawan mulai kelaparan. Para kuli tinta ini dalam jadwal, direncanakan makan siang bersama Bupati Aceh Tengah Ir. H. Nasaruddin MM sembari bersilaturrahim.
Ada satu episode yang menarik, ketika bupati sampai di cafe Batas Kota. Nas sapaan akrab bupati ini mengambil tempat duduk di pojok meja makan yang sudah disediakan protokoler. Dia mempersilahkan Julihan Darussalam Ketua Balai PWI Aceh Tengah duduk di sebelah kanan dan Jurnalisa Ketua Pokja Pembelaan Wartawan Balai PWI Aceh Tengah di sebelah kiri.
Wartawan lainnya dan Kabag Humas Mustafa duduk melingkari meja, sementara di atas meja makanan telah tersaji. Namun, tak seorangpun memulai menyentuh makanan itu. Tanpa disengaja semua menunggu komando, enggan bukan tak ingin menyentuh hidangan, saling menjaga image, walau kondisi perut kian lapar.
Jurnalisa si “gondrong” memakai topi khas yang biasa ia pakai dan menggunakan kemeja kuning, seolah memberi pesan kepada bupati, warna kuning adalah warna Golkar. Kebetulan pemimpin Partai Golkar Aceh Tengah adalah bupati.
Jurlis, sapaan akrab Jurnalisa refleks memberikan se-cambung nasi kepada bupati.” Silahkan, kamu saja yang sendokan nasi ke piring saya ,” sebut Nas akrab.
Tampak canggung, Jurnalisa membubuhkan nasi beberapa sendok ke piring bupati. Mungkin tidak biasa melakukan hal demikian, apalagi mengambilkan nasi untuk bupati. Sementara rekan wartawan lainnya tersenyum melihat tingkah Jurnalisa yang kelihatan agak kikuk.
Begitu juga dengan bupati, tidak seperti biasa dia yang selalu nampak serius dan menjaga penampilan, kali ini kelihatan begitu akrab dan elegan di hadapan wartawan. “Jurnalisa tahun depan akan jadi calon legislatif pak ,” celetuk salah seorang wartawan.
“ Oh ya, dia perlu kita dukung ,” timpal Nas menjawab celotehan wartawan tersebut.
Jurnalisa kelihatan agak malu dengan ucapan dukungan dari bupati itu, namun dia kelihatan senang. Ternyata si “gondrong” Jurnalisa sudah beberapa kali melakukan komunikasi dengan bupati tentang dirinya yang akan hijrah ke arena politik.
Patut diduga, temuannya di tengah-tengah masyarakat selama puluhan tahun berkutat mengejar dan menulis berita membuatnya jadi naik tensi untuk menjadi salah seorang wakil rakyat di lembaga legislatif, DPRK Aceh Tengah. Banyak persoalan yang tak tersentuh, saatnya harus turun tangan jadi legislator bergaya “jurnalis”.
Setelah pertemuan dengan Bupati, setidaknya menurut beberapa sumber, komunikasi langka ini adalah satu jalan bagi Jurnalisa untuk mendapat dukungan moril dari orang nomor satu di Aceh Tengah.
Begitu juga dengan baju kemeja kuning yang dipakai Jurnalisa, apakah itu juga sengaja dipakai demi menghormati Nasaruddin, serta beberapa sendok nasi yang ditaruk ke piring bupati menjadi satu bahasa tubuh yang perlu dicermati. Bahwa selama ini, antara bupati dan Jurnalisa telah akrab dan melakukan komunikasi sebelumnya.
Itulah komunikasi, ternyata selain dibutuhkan kepiawaian berbicara dengan lisan. Bahasa tubuh juga diperlukan, serta penampilan. Setidaknya, Jurnalisa sebagai seorang wartawan, telah berusaha ingin melakukan komunikasi politik dengan bupati.
Namun, “perahu” apa yang akan digunakan Jurnalisa untuk menjadi caleg pada Pileg 2014 nanti belum ada kepastian. Tapi, Partai Amanat Nasional (PAN) kemungkinan besar menjadi salah satu pilihannya.
Begitu juga dengan para wartawan di Aceh Tengah, kasat mata sangat mendukung Jurnalisa untuk hijrah menuju kursi legislatif. Tentunya, yang harus dipahami, kerja kuli tinta berbeda dengan kerja politikus.
Tapi, bagi wartawan mengikuti arus politik tidaklah begitu berat. Hanya tinggal mengasah sedikit keterampilan, maka, jadilah “barang” tu. Wartawan itu bukan ahli sesuatu, tapi banyak tau tentang sesuatu. Selamat berjuang Jurlis……(King Reje)