Medan | Lintas Gayo – Mencuatnya isu penolakan Qanun Bendera dan Lambang Aceh serta Qanun Wali Nangroe (WN) yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) merupakan salah satu kritikan sosial untuk menguji kemampuan dan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat Aceh.
Ini diutarakan seorang Peneliti di Pusat Studi HAM Unimed Sumatera Utara, Quadi Azam kepada Lintas Gayo, Selasa (26/3/2013).
“Persoalan ini tidak bisa dianggap sepele oleh kalangan birokrat di Aceh. Yang menjadi persoalan adalah, andaikan anggota DPRA terbuka dan menjelaskan kesepakatan ini ke publik, seyogyanya hal ini akan kembali reda. Akan tetapi, sebaliknya jika isu ini dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan beberapa suku minoritas yang ada di Aceh akan terus mensuarakan penolakannya,” kata Quadi Azam.
Hematnya, menurut dia, penting dilakukan oleh Gubernur Aceh Dr. Zaini Abdullah adalah, memanggil tokoh-tokoh Gayo, Alas, Singkil dan Suku lainnya untuk berkoordinasi menyangkut permasalahan kritikan terhadap kedua Qanun tersebut.
Selanjutnya yang kedua, bahwa dominasi partai Aceh sebagai pemenang Pemilukada Aceh tahun 2012 serta Pileg daerah Aceh pada tahun 2009, membuktikan partai ini sebagai penguasa di parlemen Aceh.
“Namun, momen ini juga harus dijaga untuk menjaga elektabilitas partai Aceh sendiri khususnya diwilayah tengah, dengan mengklarifikasi serta membuktikan urgennya penetapan kedua Qanun ini,” ujar dia.
Dan ketiga, Kepolisian Daerah Istimewa Aceh harus menjaga isu ini agar tidak terjadi perang antar suku dan pertumpahan darah lainnya yang dapat merusak perdamaian dan ketemtraman kondisi Aceh kini. Demikian Quadi Azam. (LG003)
alah….hom hai…
Ka..meubuet laju…bek pakat pakat loun..yang penteng kiban cara ta peudong propinsi baro..ALA….
Bek le meu pake le hai syedara…
Senni ike nguk kite murum murum perjuangkan propinsi ALA…
Enti ne ara unjuk rasa atau demo yang berojong tragis…dukung meh ne propinsi ALA kati kita bermartabat dan berdaulat i mata pake ya….