Catatan Supri Ariu*
RASANYA belum hilang kepenatan yang Saya bahkan mungkin juga banyak orang rasakan tentang permasalahan politik di Negeri Serambi Mekah ini. Mulai dari timbulnya konflik sosial akibat pemilihan kepala daerah (Pemilukada) tahun lalu, yang dilanjutkan dengan sikap protes dari sejumlah etnis tentang peraturan yang ditetapkan dalam pemilihan Wali Nanggroe.
Sekarang tentang permasalahan Qanun Bendera Aceh yang banyak menimbulkan pro dan kontra akibat bendera yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tersebut disebut-sebut banyak yang mengatakan bahwa bendera tersebut mirip dengan bendera salah satu organisasi saparatis.
Tentunya saya sebagai salah satu warga Aceh merasa miris dengan kejadian ini, kenapa tidak, sampai saat ini permasalahan pengesahan bendera tersebut belum kunjung selesai.
Kini masalah itu menjadi perhatian oleh sebagian daerah di Tanah Air, akibat dari bendera tersebut juga, saat ini antara satu suku dengan suku yang lain saling bertentangan hingga menimbulkan masalah yang saya anggap itu bukanlah masalah biasa lagi.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang saya rangkum dari berbagai media, ada yang mengungkapkan bahwa bendera Aceh tersebut perlu dalam mengangkat identitas Aceh, juga sebagai salah satu simbol kebersamaan masyarakat Aceh.
Namun yang membuat saya bingung, apakah masih bisa saya menyatakan bendera tersebut sebagai salah satu simbol kebersamaan sedangkan sampai saat ini banyak masyarakat dari berbagai daerah yang merasa tidak setuju dengan pengesahan bendera tersebut?
Jika kita melihat kembali tentang kondisi Aceh hari ini, Aceh merupakan wilayah yang baru bangun dari keterpurukan. Mulai dari permasalahan konflik yang panjang, bencana Alam besar yang pernah diberikan Tuhan, lain lagi permasalan sosial lainnya yang saya pikir Aceh masih banyak sekali tugas yang perlu dibenahi.
Tentunya dalam memperbaiki itu semua, masyarakat Aceh mengharapkan kebijakan dan ketegasan oleh wakil-wakilnya yang saat ini duduk sebagai DPRA. Semua warga Aceh pasti berharap, agar Aceh bisa menjadi wilayah yang mampu menyetarakan diri dengan wilayah-wilayah maju lainnya.
Namun, apakah harapan itu bisa terwujud jika selalu dikurung dengan masalah-masalah internal seperti ini? Hingga ada sebagian orang luar yang menanyakan apakah DPRA miskin program hingga harus selalu disibukan dengan membahas hal-hal yang tidak penting seperti ini.
Namun saya lebih memilih diam, karena memang saya adalah orang yang awam dan tidak tau banyak dengan sepak terjang perpolitikan di Aceh.
Hati ini semakin cemas dan takut, ketika bendera aceh mulai dibanding-bandingkan dengan bendera Sang Saka Merah Putih, berbagai pertanyaan yang timbul dikalangan masyarakat menjadikan Saya tambah kuatir, apakah ini pertanda yang tidak baik bagi Aceh?
Harusnya, semua program yang dirancang oleh para Wakil Rakyat tentunya semua bertujuan untuk kesejahteraan rakyatnya. Namun seperti yang kita lihat saat ini, tidak sedikit masyarakat yang menolak tentang peresmian bendera tersebut menjadi bendera Aceh.
Namun kenapa para wakil rakyat tetap bersikeras tentang penetapan bendera tersebut?
Tentunya hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan bagi kami masyarakat Aceh, sebetulnya DPRA lebih memilih siapa?
Kesejahteraan atau kekuasaan?
atau, lebih lebih memilih siapa?
Rakyat Acehnya atau bendera Acehnya?? Miris.
Wallahualam, apapun nanti, tentunya saya sebagai anak Negeri berharap jangan lagi ada ketakutan yang terjadi di Aceh.
Rakyat Aceh sudah bosan dengan ketakutan, Rakyat Aceh sudah marah dengan kehilangan, Rakyat Aceh mencitakan kedamaian dan kesejahteraan.###
*Mahasiswa asal Gayo Lues
jangan hanya mementingkan kelompok. pemimpin tidak akan ada apabila tidak ada rakyatnya.
jannga hanya karna kepentingan sebagian orang akan dimanfaatkan sebagian pihak uang tidak bertanggung jawab.