Oleh : Muslim Arsani
Dalam perjalanan yang penuh liku-liku ini, tertadah tangan yang penuh kehampaan, kegembiraan, kehangatan, keindahan, kesedihan serta kesakitan yang dirasakan. Waktu itu tanggal 04 April 2011 adalah kehidupan dimana dimulai dengan penuh rasa yang takjub. Di taman itu sering disebut dengan nama taman 1001 janji, aku berjanji dengan disaksikan aliran sungai tempat para bangkai-bangkai manusia tahun 2004 silam dan disaksikan pula oleh hilir mudiknya bangkai-bangkai besi yang melintas di upuk mata. Hari demi hari waktu demi waktu detik demi detik terus bergulir menyaksikan kehangatan demi kehangatan yang terjallin dengan penuh keindahan. Masa-masa itu pernuh dengan hal yang baru, kehidupan seakan menjadi milik diri ini, fatamorgana kehidupan dilupakan menembus asa yang tak pasti. Jiwa serta pikiran menjadi tak baku dengan keadaan sekitar, akal tidak bisa menerawang jauh mengakibatkan dangkalnya pemahaman tentang arti kehidupan, dikatakan tuli tetapi tidak, dikatakan buta juga tidak.
Karena ketulian yang aku rasakan, sehingga aku menganggap semua yang ada dalam sanubari yang kokoh ini seakan kuat, padahal lemah ketika jarak memisahkan. Dulu kau begitu dekat dengan asa, yang salah bukanlah bunga tetapi tangkai yang tak bisa menahan terjangan angin dan para serangga yang hinggap untuk mengambil manfaat. Karena kebutaan ini juga, aku lupa akan betapa besar potensi yang ada pada bunga itu, walaupun sekarang hanya penyesalan yang dirasa kan oleh sebatang tangkai.
Ibarat sebatang pohon yang rindang dan kokoh, Begitulah seharusnya kita wahai tangkai dan bunga!! karena dengan siraman air cintalah kita tumbuh, dengan pupuk pengorbanan dan pengabdian kita di tempa. Hingga lambat laun, akar kemandirian itupun menghujam dalam dada. Dengan cita yang menjulam ke langit, dan buah karya yang membumi. Hidup ini benar-benar luar biasa ketika patung halusinasi disembah dengan banyak energi, materi, air mata, keringat dan pikiran sampai aku lupa ketika di berangkatkan dari istana kedamaian dan keromantisan dalam dekapan keluarga, aku lupa apa yang menjadi visi hidup dalam proses pembelajaran ini. Ini tidak lain karena cinta yang kudapat dalam rona kehidupan dalam mencari jati diri.
Jika hidup adalah mentari, maka cintailah teriknya, Jika hidup adalah angin, maka cintailah badainya, Jika hidup adalah sungai, maka cintailah arusnnya, Cinta bukanlah benda, namun ia dapat dirasa, Cinta ibarat perapian, kita hanya dapat menari ceria di sekilingnya, Hakikat cinta bukanlah menerima, namun memberi, hakikat cinta bukanlah memiliki, namun berkorban…
Karena cintalah, Khalid bin walid berkata “berjaga semalaman dalam medan jihad lebih aku sukai dibandingkan malam pertama dengan istriku”. Atas nama cinta pula Muhammad al-Fatih Murad bersama pasukan muslim menaklukkan Konstantinopel pada usia yang baru beranjak 23 tahun.
Hidup itu indah saat kita mencintai, Hidup itu bermakna saat kita berbagi, Hidup itu indah saat kita dicintai-Nya. Namun izinkan, jiwa yang haus untuk menimba ilmu dan meraup cinta ini. Mereguk selaksa cinta darimu, Kutulis sebuah puisi, spesial untuk dirimu yang luar biasa :
wahai jiwa yang rapuh, kemana kau berlabuh
tak sampai hati mendamba sosok yang dicari
dan kini…. kutemukan tempat itu
dirimulah yang ku cari duhai gadis sejati……
sepenuh jiwa seorang musafir cinta
Segumul bantal tersentak jatuh kelantai membangunkan glora oohh…ternyata aku bermimpi. Namun dalam perjalanan yang begitu menyesakkan, penuh haru serta ketulusan ini. Seperti besi yang ditempa menjadi pedang yang tajam memaksa untuk berpikir bagaimana cara menikam musuh dan menanjapkannya pada selangkangan meraka, sehingga darah akan menjadi saksi bagi serentetan fakta kehidupan. Begitu pula diri ini, dengan berbagai fenomena dan promblematika yang sudah dihadapi bagaikan ditempa dari barang yang sangat tidak berharga menjadi mesin pembunuh yang sangat menghancurkan tetapi lemah dikala berhadapan dengan musuh yang nama nya CINTA dan WANITA.
Kenapa dua pikiran selalu berlawanan arah, TIDAK jawab saya …!!! Itu adalah statemen keras diri ini ketika satu sama lain dianggap tak seimbang sehingga menimbulkan jiwa selalu dalam keadaan bergentayangan. Semula berawal dari secercah anugrah yang diberi Maha Kuasa tentang satu kalimat menggugah dan mengubah tingkat kesahajaan yang dianggap sebagai insan manusia dalam berkomunikasi. Inilah pemicu awal kenapa kapal ini tidak bisa berlayar, dan singgah untuk berlabuh menuai harapan,,?? Semua karena lautan beranggapan dirinyalah yang menentukan bukan kapal yang menentukan dimana harus berlabuh. Kalau nahkoda kapal ditempa pada keadaan dan tempat yang eksrim pastilah lautan akan bersahaja dengan alam dan ombak. Tapi ini adalah nahkoda yang tak pernah menapakkan kakinya dilautan lepas. Apakah itu salah ??
Tepat tanggal 17 maret 2013, air tawar yang datang dari hulu singgah di hilir. Mengakibatkan bencana alam bagi kehidupan diri yang ingin menapaki jalan kebahagiaan. Semua telah berakhir hanya penyesalan yang terungkap dengan keputus asa an, andai diri ini bisa bersabar pastilah terik matahari akan selalu muncul dari timur dan terbenam di upuk barat sampai ajal mendekat. Banyangan semu itu selalu Nampak bagaikan setan yang tak kasat mata. Aku terbangun dari lamunan membawa singasana kehidupan dalam lengkingan petir malam, sedih dirasa dalam kehangatan bayangan semu dan masa lalu, masa disaat dia disisi.
Inilah kisah hidup yang abadi akan ku ingat dalam peri dan diri. Dan akan kusimpan dalam bilik hati yang sengaja kusediakan untuk dirinya yang begitu berharga. Jujur diri merindu.