Reformasi Sistem Pengadaan Barang/Jasa di Indonesia

Oleh: Sabela Gayo*

sabela_gayo_DSCN0008PROSES pengadaan barang dan jasa (procurement) yang baik dan sehat sangat menentukan sukses atau tidaknya penyelenggaraan pembangunan baik di pusat maupun di daerah. Setiap tahun anggaran, pemerintah baik pusat maupun daerah memiliki ratusan bahkan ribuan paket pekerjaan baik fisik maupun non-fisik dalam rangka menggerakkan ekonomi nasional dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Keberhasilan pejabat publik dalam menyelenggarakan proses pengadaan barang dan jasa akan sangat berpengaruh pada kinerja pejabat publik yang bersangkutan. Disamping itu, proses pengadaan barang dan jasa tersebut juga menyisakan persoalan hukum khususnya bagi penyelenggara pelayanan publik (kepala dinas, bupati, walikota, menteri/kepala lembaga negara), panitia pengadaan barang dan jasa dan kontraktor pelaksana paket pekerjaan tersebut.

Selama 10 tahun terakhir sejak bergulirnya reformasi tahun 1998, banyak pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah yang ditangkap dan ditahan oleh kejaksaan maupun komisi pemberantasan korupsi (KPK) atas dugaan melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Bahkan hamper semua pejabat publik yang sudah ditangkap dan ditahan oleh KPK kemudian divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Menurut data terakhir yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia pada 29 Agustus 2012, tercatat bahwa sepanjang 2004-2012 ada sekitar 244 Gubernur/Bupati/Walikota yang terlibat kasus korupsi dari 563 jumlah total kabupaten/kota/propinsi di Indonesia. Banyaknya para pejabat publik di daerah yang terlibat kasus korupsi menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di masing-masing daerah tersebut menjadi tidak stabil.

Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah perbaikan yang strategis dan komprehensif terkait sistem pengadaan barang dan jasa di Indonesia. Dari 244 pejabat publik yang terlibat korupsi tersebut, tidak semuanya melakukan tindak pidana korupsi secara langsung melainkan terlibat karena posisinya sebagai pemegang kas dan penanggung jawab keuangan di daerahnya masing-masing.

Pengertian tindak pidana korupsi sesuai dengan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 (1), disebutkan bahwa “Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dpidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah)  dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (Satu Milyar)” dan selanjutnya Pasal 2 (2) “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.

Adanya frasa di Pasal 2 (1) diatas yang menyebutkan bahwa “memperkaya orang lain atau suatu korporasi” menyebabkan banyak pejabat publik yang terjerat pidana tindak pidana korupsi sebagai akibat keputusannya sebagai pemegang anggaran dan penanggung jawab kas daerah. Sehingga dengan demikian, reformasi sistem pengadaan barang dan jasa yang sehat dan lebih baik mutlak diperlukan dalam rangka meminimalisir jumlah pejabat publik baik pusat maupun daerah yang terlibat tindak pidana korupsi.

Reformasi sistem pengadaan barang dan jasa tersebut juga dapat mendorong kepala satuan kerja perangkat kabupaten/bupati/walikota/kepala satuan kerja perangkat propinsi/gubernur/ menteri/kepala lembaga negara agar lebih fokus dalam menyelenggarakan program kerjanya masing-masing tanpa harus direpotkan denga urusan pengadaan barang dan jasa yang dapat menyeretnya ke dalam pusaran tindak pidana korupsi.

Pemerintah pusat sudah membentuk suatu lembaga khusus yang disebut Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang menangani proses pengadaan barang dan jasa dengan lebih tranparan dan akuntabel. LKPP dibentuk dengan Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007. LKPP bertugas untuk mengembangkan dan merumuskan kebijakan nasional barang dan jasa pemerintah.

Kemudian, LKPP berfungsi sebagai penyusun dan perumus strategi serta penentuan kebijakan dan standar prosedur di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah termasuk pengadaan badan usaha dalam rangka kerjasama pemerintah dengan badan usaha, penyusun dan perumus strategi serta penentuan kebijakan dalam rangka pembinaan sumber daya manusia di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, melakukan pemantauan dan evaluasi pembinaan sumber daya manusia di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, melakukan pembinaan dan pengembangan sistem informasi serta pengawasan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik (e-procurement), pemberian bimbingan teknis, advokasi dan bantuan hukum, dan penyelenggaraan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan, penatausahaan, kepegawaian, keuangan, perlengkapan dan rumah tangga.

Dengan kehadiran LKPP diharapkan proses pengadaan barang dan jasa di Indonesia menjadi lebih baik dan sehat dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana korupsi sesuai dengan kebijakan nasional yang tertuang di dalam Peraturan Presiden No 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 yang kemudian dipertegas melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2013. Semoga Indonesia bisa menjadi lebih baik dan maju yang dimulai dari proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang baik, bersih, akuntabel dan transparan.(winngayo[at]gmail.com)

*Mahasiswa Program Ph.D in Law of Northern University of Malaysia (Universitas Utara Malaysia).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments