Oleh Setyo Pamuji*
Meski semua itu terasa sangat berat, tapi harus kita jalani. Bagaimanapun juga ‘lebih baik menangis karena menahan rindu daripada tertawa di atas dosa’. Sedetik ketika kata perpisahan terucap, ada yang hilang dalam diri. Kenangan manis yang pernah kita alami bersama menambah berat hati berjauhan denganmu. Hemh… berat memang, tapi mau apa lagi.
Entah apa yang ada dalam pikiran, aku bingung dengan semua ini. Setiap aku lihat tempat-tempat ketika kita bersama, bercanda, tertawa, bahkan marah bersama rasanya hati tak ingin jauh darimu. Namun demikian, aku harus tetap melangkah. Meski terkadang hati hampa.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku diam, perasaan tetap tak enak. Aku menuju masjid, berharap ada ketenangan, aku masih menyimpan rasa rindu yang dalam. Apalagi ketika berfikir dua tahun ke depan, waktu yang sangat lama dalam penantian. Biasanya aku selalu ceria menghadapi masalah, tapi entah kali ini harus murung. Mencoba menghibur diri, namun sekali lagi hatiku tetap mengusik. Kuputuskan untuk keluar gerbang kampus menuju keramaian jalan, berharap suasana hati tak mendung lagi. Berputar-putar pada tempat yang sama, bingung arah yang kutuju.
Ingin pergi, tapi ke mana? Sudah tiga kali memutar tempat yang sama, hatiku gelisah. Melanjutkan perjalanan, perjalanan ke mana? Sore itu begitu merisaukan bagiku. Sebuah gerobak berisi buah-buahan segar. Aku berhenti, berharap dapat memberi sedikit kesegaran dalam hati. Namun, apa yang terjadi, rasa buah itu hambar…tidak… bukan..tidak… bukan buahnya yang hambar, tapi memang hatiku yang sedang hambar. Buah ini pasti manis, si penjualnya menambahkan banyak gula di campur susu kental, mustahil hambar. Segelas just buah telah habis.
Aku putuskan untuk pulang. Ya pulang adalah keputuan yang terbaik. Melepas semua masalah penat seharian. Berjalan perlahan dalam barisan kendaraan berjalan kencang saling salib, aku mengenderai motor dengan laju pelan. Semangatku yang dulu kemana ? Tidak, tidak jangan sampai aku kehilangan semuanya.
Berusaha mencari kesibukan aku membaca buku. Kata demi kata menjadi kabur. Aku tertidur.
Hari Pertama Kamis
Aku sebenarnya berharap setelah terbangun tidur dapat menenangkan hatiku. Namun ketika aku terbangun di malam hari, waktu itu pukul 02:02 dini hari, aku langsung ingat dengan si dia. Aku melihat hape siapa tahu ada pesan singkat, tapi aku juga tak berharap, bukankah kita sudah bersepakat buat bertemu dua tahun mendatang?
Daripada risau kuputuskan untuk memejamkan mata kembali. Betapa berartinya dia untukku. Setiap hari selalu dibangunkan oleh si dia jam tiga untuk shalat tahajud, namun hari ini semua itu telah tiada. Beratnya menahan rindu.
Tak makan untuk kedua kalinya, kemarin sore sesaat setelah kami bersepakat hanya berjumpa setelah dua tahun ke depan, perutku terasa penuh, tak merasa lapar sama sekali. Waktu sahur untuk puasa di hari kamis, aku tak makan sahur, perutku sesak dengan rindu.
Hari ke-2, Jum’at
Tak sedetik pun tak merindu. Apalagi ketika bangun dari tidur teringat dia membangunkan untuk tahajud. “Lebih baik menangis karena menahan rindu, daripada tertawa di atas dosa”. Aku milik Allah. Aku sudah serahkan semua kepadaNya. Berharap penantian ini akan segera berakhir. Berdiri di atas sajadah merah pukul 03:35, namun tak sanggup berdiri. Aku lunglai.
Ketika sedih aku takut hanya akan memperlambat impianku untuk bersamanya. Aku harus tinggalkan kesedihan. Aku harus membendung rasa rindu sampai saatnya kelak. Aku harus bangkit. Aku harus bergerak. Aku harus bisa.
Sore hari ini, perasaanku terasa tak enak. Aku putuskan untuk mengirim pesan singkat. Dia murung lantas nangis. Aku putuskan untuk menelepon, namun, dia sedang sibuk. Tak lama dia mengirim pesan menyatakan kesiapannya untuk jaga jarak. Sungguh berat, “tiap tetesan airmata adalah saksi kesucian cinta”.
Hari ke-3, Sabtu
Perasaanku agak kacau setalah kemarin meneleponnya. Aku merasa bersalah. Bersalah ketika membiarkan dia menangis karena itu melanggar aturan kita yang telah menyepakati jaga jarak. Ya Allah aku mohon ampun.
Badai di Tengah Jalan
22 Maret 2013, masalah besar mendera. Reruntuhan bangunan pondasi untuk selalu bersama mulai rapuh. Jangankan berjumpa, pesan singkat pun tak ada. Dia membenci hingga hilang rasa. Aku menunduk dan bergumam. Dadaku menyesak. Dalam kesendirian, sejak awal aku berusaha menyadarkan dia bahwa suatu saat nanti akan ada badai besar. Satu pintaku, tetap bertahan dan berpegangan.
Hatiku kian terpukul manakala ia berkata “bahagiaku adalah pisah darimu”. Aku tak sanggup berkata apapun. Mencoba membaca jiwa yang sedang digoncang dengan gelombang badai ombak yang begitu besar.
3 Mei 2013
Aku melihat dan menyapanya. Wajah yang tertunduk namun menyimpan bekam dalam hati. Aku dapat merasakan suasana hati yang begitu panas, menyengat rasaku. Bingung mulai menghantu dalam sembilu jiwa. Inginku dekat, namun takut lukakan menganga lagi. Bahagiaku bersamanya, tapi bahagianya berpisah dariku. Inilah simalakama cinta.
“Bismilllahirrahmanirrahim, karena Allah aku bertemu kamu, karena Allah juga aku ‘berpisah’ dengan mu, kelak aku yakin karena Allah pula kita akan bertemu kembali. Terima kasih cinta untuk segalanya. Aku akan menjaga hati. Sampai jumpa dua tahun ke depan. Aku akan merindukanmu” (Kurator: LG-007)
*Pegiat di Forum Sastra Al-Midad IAIN Sunan Ampel Surabaya