Oleh: Johansyah*
SEJAK pemerintah mendeklarasikan program pendidikan karakter, penulis terus mengikuti perkembangannya. Kelihatannya program ini tidak berjalan sesuai harapan, atau paling tidak kurang memuaskan. Apa dan bagaimana pun strategi, pendekatan, dan metode yang dikreasikan sekolah dalam pembentukan karakter tampaknya tidak memberi kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan karakter peserta didik.
Untuk memperkokoh asumsi di atas, kiranya perlu dipertegas tentang apa yang disebut dengan karakter. Berangkat dari pemahaman ini kemudian kita coba telusuri aspek-aspek lain yang berkaitan dengan karakter untuk kemudian dapat memperkokoh asumsi penulis sebelumnya. Pemaknaan karakter ini kemudian dapat memberi gambaran yang lebih jelas di mana sebenarnya basis utama pendidikan karakter?
Terkait dengan pengertian karakter, ada yang mengatakan bahwa karakter merupakan ciri atau tanda yang melekat pada suatu benda atau seseorang. Karakter menjadi penanda identifikasi. Kata salah seorang tokoh pendidikan karakter bahwa karakter itu bermakna mengukir, ibarat tulisan yang tergores di permukaan besi. Ada pula yang mengatakan bahwa karakter itu watak atau sifat yang sudah mengkristal dalam diri seseorang sehingga dalam situasi apa dan bagaimana pun, sifat itu tetap akan muncul.
Mungkin kita sering menyebut si pulan itu pekememel (pemalu), tukang bual (banyak bicara), umping (mudah marah), bes dirie (hanya memikirkan dirinya), dan lain-lainnya. itulah karakter. Ada juga karakteristik umum yang melekat pada kelompok atau komunitas tertentu. Misalnya ada kelompok masyarakat tukang pelolo (gemar berkelahi), suka gotong royong, tukang sonek (sukat mempropokasi), gemar muranto (suka merantau), dan beragam sifat kelompok lainnya. Itu adalah karakter kelompok. Suku Gayo, Aceh, Jawa, dan lainnya, masing-masing memiliki kekhasan tersendiri.
Karakter individu diperoleh dari keluarga atau proses pertemanan yang kontinyu dan akrab. Sedangkan karakter kelompok diperoleh dari masyarakat yang berkembang sesuai kebiasaan di sana. Karakter merupakan ‘anak kandung’ budaya atau produk zaman yang dikreasi oleh manusia. Tampaknya semua proses karakterisasi itu lebih dominan di lingkup kultural yang tumbuh secara alami dan berjalan apa adanya, bukan pada lingkup struktural yang sarat dengan perilaku manipulatif atau sekedar menjaga reputasi dan mempertahankan harga diri.
Untuk itu, sebenarnya perlu pertimbangan matang, atau setidaknya perlu menunda sebuah kesimpulan; bahwa penyebab Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), narkoba, pergaulan bebas, serta berbagai tindak penyimapangan moral lainnya semua disebabkan oleh kegagalan lembaga pendidikan formal (sekolah dan kampus). Mereka dianggap gagal memberikan porsi yang seimbang antara kapasitas intelektual dan kapasitas moral. Pertanyaannya, benarkah perilaku penyimpangan moral itu disebabkan oleh lembaga pendidikan formal atau jangan-jangan lembaga pendidikan informal justru menjadi penyebab utamanya.
Entah karena begitu banyaknya orang berkesimpulan demikian, ataukah karena pemerintah menyadari sendiri bahwa memang pendidikan karakter itu penting, maka pendidikan formal dianjurkan untuk mengembangkan pendidikan karakter. Inilah yang kemudian kita saksikan wujudnya pada tahun 2010 lalu, di mana Kemdikbud, Muhammad Nuh yang baru diangkat waktu itu , menjadikan program ini sebagai salah satu program kerja seratus harinya.
Pertanyaannya, apakah lembaga pendidikan formal mampu mewujudkan pembentukan karakter peserta didiknya? Dan kalau kita sepakat bahwa karakter itu adalah sebuah produk budaya yang tumbuh alami di masyarakat, maka bukankah lembaga pendidikan informal (keluarga dan masyarakat) yang seharusnya lebih berperan? Barangkali dua pertanyaan ini dilematis, tapi tampaknya itu persoalan yang harus kita cerna jawabannya.
Penulis yakin bahwa selama pembentukan karakter itu tidak ditekankan dan diperkuat dalam keluarga dan masyarakat, maka selama itu pula cita-cita dan harapan membentuk karakter generasi bangsa ini akan menjadi sebuah utopia belaka. Apapun ceritanya, pendidikan formal pasti lebih dominan terhadap perkembangan kognetif siswa, walaupun pada hakikatnya sekolah sejatinya harus menyatukan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Lagi pula, standar-standar pendidikan nasional yang dikonstruksi oleh pemerintah selama ini semuanya standar empiris-kuantitatif dan menapikan standar moral.
Kalau demikian, maka pemusatan program pendidikan karakter sebenarnya adalah masyarakat dan keluarga sebagai basis tumbuh kembang dan bertahannya sebuah budaya dan nilai-nilai, bukan pendidikan formal. Sekiranya eksistensi budaya dan nilai-nilai dalam sebuah masyarakat kokoh dan tidak terkontaminasi oleh fenomena eksternal-global, maka pendidikan formal sendiri akan terbawa pada kondisi yang kondusif dalam menata moral dan mentransformasikan nilai kepada peserta didiknya, tanpa harus mendesain kurikulum khusus pendidikan karakter karena semua pengelola sekolah tumbuh dari lingkungan yang berbudaya dan bernilai.
Jika sepakat dengan pemusatan pendidikan karakter dalam masyarakat dan keluarga, maka bagaimana seharusnya dikembangkan? Caranya tidak lain adalah dengan memperkokoh eksistensi budaya yang telah tumbuh dalam masyarakat kita. Walaupun demikian, hemat saya ada warisan-warisan budaya yang harus didekonstruksi untuk kemudian direkonstruksi, atau mungkin perlu mereposisi nilai-nilai tertentu. Misalnya nilai persaudaraan. Persaudaraan itu baik, namun selama ini banyak yang salah menempatkanya untuk mencapai kepentingan kelompok atau keluarganya. Perekrutan CPNS misalnya dengan memerioritaskan keluarga walaupun tidak berkualitas.
Dalam masyarakat Gayo sendiri, sebenarnya kita memiliki prinsip nilai yang kokoh dan mumpuni. Bila merujuk kepada hasil penelitian Syamsul Bahri dan Al Musanna tentang “Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal masyarakat Gayo,” ternyata masyarakat Gayo memiliki tatanan nilai yang sangat filosofis-religius, yaitu mukemel, mutentu, munahma, mupendirin, malem, mubetih, makal, muilmu, mutertip, muperasaen, mumerala, genap mupakat, musara. Sebenarnya inilah sumber nilai pendidikan karakter yang sejatinya dikembangkan dan dipertahankan dalam masyarakat Gayo.
Akhirnya, kita tetap mendukung upaya pemerintah dalam mengembangkan pendidikan karakter di lembaga pendidikan formal. Namun jangan lupa bahwa akar karakter itu adalah budaya yang tumbuh dalam masyarakat dan keluarga. Dan modal utama untuk mengajarkan karakter adalah keteladan dan pembiasaan. Semakin kuat keteladanan yang kita berikan kepada generasi muda di segala lini maka semakin terbuka peluang untuk keberhasilan pembentukan karakter generasi bangsa ini.
Untuk itu, jadi pejabat jangan korupsi, jadi hakim jangan mudah terima gratifikasi, jadi kepala dinas atau kepala sekolah jangan hak orang disunati, jadi orang tua atau guru jangan sering memarahi dan memaki. Tunjukkan bahwa kita layak diteladani dan itulah pendidikan karakter yang sesungguhnya. Wallahu a’alam bisshawab!(johansyahmude[at]yahoo.co.id)
*Pemerhati Pendidikan, tinggal di Bener Meriah