Penggeseran Nilai Kerudung

IMG_5115

Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]

Islami, itulah kesan ketika mendengar kata-kata seseorang memakai kerudung atau jilbab, bila kata memakai kerudung atau jilbab dihubungkan dengan kata “jalabib” yang terdapat dalam al-Qur’an maka melahirkan hukum wajib untuk memakainya bagi setiap muslim.  Kalau kita perhatikan fenomena pemakaian kerudung atau jilbab dalam masyarakat maka antara kerudung dan  jilbab pada mulanya seakan berbeda, karena pada tahun 1970-an kata jilbab belum sering diucapkan dikalangan masyarakat, malah kata yang selalu terdengar adalah kerudung atau memakai kerudung. Namun kita tidak punya alasan yang kuat untuk memisahkan kedua kata tersebut, boleh jadi karena keterbatasan ilmu atau informasi yang kita milliki atau juga karena kata jilbab sudah ada di dalam al-Qur’an.

Untuk melihat potret pemakaian kerudung dalam masyarakat dari dahulu tahun 1970-an  sampai sekarang maka kita bisa sebutkan :

Kerudung Tradisi

Pemakaian busana muslimah sebagai gerakan sosial keagamaan baru  mulai pada tahun 1980-an, sebelumnya pada tahun 1970-an masyarakat masih mengenakan kerudung tradisional atau kerudung kapstok. Pada masa ini kerudung belum merupakan busana muslimah tapi hanya sehelai kain tipis transpraran yang diletakkan di kepala dan hanya sebagai pakaian tradisional dengan dilengkapi baju kebaya. Sementara rambut, leher dan di atas dada dibiarkan terbuka, pakaian selengkap inipun hanya dikenakan pada saat acara-acara tertentu. Sebagai contoh kita bisa melihat foto-foto keluarga yang menikah atau acaara-acara resmi pada tahun 1970-an.

Kerudung Ideologi

Pada tahun 1980-an bentuk pakaian muslimah berubah total dari segi bentuknya, aktivitas perkuliahan dan pelajar perkotaan mengenakan pakaian muslimah tertutup rapi dan rambut tidak terlihat sama sekali. Pakaian seperti ini tidak hanya kita temukan di lembaga-lembaga pendidikan tetapi juga di tempat-tempat perbelanjaan, tempat bermain dan tempat-tempat hiburan. Ada dua sudut pandang pemakaian pakaian muslimah seperti ini:

Pertama, munculnya kesadara bahwa memakai pakaian muslimah merupakan yang memenuhi kreteria pakaian syari’at Islam.

Kedua, pada tahun-tahun ini merupakan masa kebangkitan Islam dan pakaian muslimah dijadikan sebagai perlawanan terhadap peradaban atau kebudayaan asing yang sekuler sehngga pakaian muslimah ini menjadi ideologi.

Kerudung Islamisasi

Memasuki tahun 1990-an fenomena pakaian Islami telah menyebar luas keselurh lini kehidupan publik, seperti kelompok politik, perkantoran, pengusaha, selebriti, kaum profesional dan lain-lain. Masa ini merupakan masa proses Islamisasi yang menembus kelas menengan dan elit yang mereka itu sedang mengalami kemakmuran ekonomi.

Kerudung Gaul

Kalau pada tahun 1980-an adalah masa perintisan pemakaian pakaian muslimah, pada tahun 1990-an merupakan priode peneguhan dan perluasan dan pada tahun 2000 adalah priode kultural serta pasca tahun 2000 kerudung sudah menjadi kultur masyarakat Indonesia. Hampir semua orang Indonesia sudah memakai kerudung, dimana pada masa ini tidak seusah lagi menemukan orang-orang yang memakai kerudung karena kerudung bukan lagi dikenakan pada acara dan tempat tertentu.

Konsekwensi, ketika sebuah gejala berubah menjadi fenomena dan kultur masyarakat, pergeseran nilaipun terjadi. Yang mulanya memakai kerudung bertujuan untuk menolak budaya asing demi mempertahankan nilai-nilai syari’at Islam tidak lagi terjadi,karena sebagaimana telah disebutkan bahwa memakai kerudung sudah menjadi budaya. Upaya menjadikan kerudung sebagai upaya sosialisasi nilai-nilai keagamaan tidak terjadi lagi karena semua orang sudah memakai kerudung dan sudah menjadi tren

Dua hal yang menjadikan kerudung menjadi kerudung gaul, memakai kerudung karena pada dasarnya mengandung nilai agama di satu sisi dan tren sosial global di sisi lain. Maka terjadilah penggabungan dua kesadaran antara menutup tubuh dengan show keindahan tubuh, antara berkerudung dan seksi.

Ketika kerudung dijadikan sebagai kerudung gaul maka orang orang tidak lagi memperdulikan nilai yang ada pada kerudung tersebut yang penting mereka memakai kerudung. Apakah ketika ia memakai kerudung ia berprilaku baik atau tidak itu tidak penting yang penting ia memakai kerudung, sehingga banyak akhlak atau moral mereka tidak disukai oleh agama dan juga orang lain. Kalau juga kita lihak kerudung sebagian orang, kita bisa katakan ia memakai kerudung namun celana yang ia pakai sangat ketat membungkus fisiknya dan kalai ia jongkok atau duduk maka celana dalamnya nampak karena baju yang dipakai juga sangat pendek.

Demikian juga ketika mereka bergaul dengan orang lain terlebih laki-laki, mereka tidak menjaga moralnya. Ketikan mereka duduk berboncengan di atas sepeda motor duduknya sangat rapat dan bertingkah seolah mereka tidak mempunyai budaya keagamaan .

Banyak ibu-ibu yang menganggap bahwa memakai kerudung adalah salah satu bentuk pakaian gaul, dengan demikian desakralisasi tidak hanya ditampilkan oleh remaja yang sedang mencari identitas, ibu-ibu muda yang mencari perhatian tetapi juga oleh ibu-ibu gaul. Kerudung ibu gaul ini memiliki ciri. (1) Dasar pemakaian karena pengaruh lingkungan, tren dan mode. (2) Dipakai dalam acara-acara pertemuan, tetapi ditanggalkan dalam penampilan sehari-hari. (3) Tanpa ruh agama karena banyak ibu berkerudung, tetapi bercelana ketat dan berjoget dalam panggung hibura.


[*] Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.