Catatan Akhir Pekan a.ZaiZa
ASSALAMUALAIKUM… apa kabar saudara ku semua. Lama rasanya tak bersua dengan saudara-saudara ku. Dalam beberapa pekan ini, terasa hambar dalam hidup saya. Rasanya ada yang kurang dari segala sesuatu yang saya kerjakan.
Rasa rindu yang memuncak terus memasak ku ingin berbagi bercerita. Namun, gejola itu terkadang dikalahkan, akan satu takdir yang sudah di janjikan Allah SWT. Sehingga tak satu orangpun bisa melawannya.
Orang tua saya (Ayahanda) dipanggil mememuhi janji-NYA.(maaf bukan ingin berbagi cerita sedih). Kehilangan orang tercinta teramat berat bagi saya. Sehingga sulit rasanya kita bisa berbagi cerita di akhir pekan, dalam beberapa minggu terakhir ini.
***
Hari ini, Sabtu 11 Mei 2013. Dengan dorongan kuat teman-teman. Rasanya waktu yang pas bagi kita untuk berbagi cerita, dan berdiskusi menyangkut persoalan di negeri kita Aceh Gayo, sambil menikmati kopi. So pastinya kopi Gayo.
Kopi Gayo, memang tak asing lagi bagi kita. Saat mendengar dua kata itu. Berbagai cerita bisa terbangun, saat dua kata tersebut di ucapkan. Mulai dari kebun kopi, cita rasa, kenangan indah, modal usaha, biaya anak sekolah/kuliah hingga nasib sang petani kopi itu sendiri tentunya.
Hanya saja, saat ini cerita pilu yang terbangun saat kita bercerita tentang kopi Gayo. Pasalnya, ditengan ‘banjir’ (panen raya) harga kopi merosot tajam, petani mengeluh dan menjerit, karena rendahnya nilai jual yang bisa diterima. Rasanya, hasil penen kali ini tak bisa mencukupi kebutuhan hidup.
Padahal, memasuk bulan Mei-Juni-Juli ini, merupakan masa kritis bagi petani kita di Gayo. Pasalnya, ini merupakan tahun ajaran baru, dimana tentunya semuanya akan serba baru. Anak yang masuk SD, SMP dan SMA serta melanjutkan keperguruan tinggi. Ini semua hanya bisa diselesaikan dengan uang tunai.
Belum lagi keperluan membayar hutang yang terpinjamkan saat merawat kopi, keperluan dapur sehari-hari dan banyak lagi kebutuhan tentunya yang tak bisa kita urai satu per satu. Karena saya yakin, saudara ku pasti sedang merasakannya atau setidaknya pernah merasakan saat genting seperti itu.
Rendahnya harga kopi disaat ‘banjir’ kopi seperti sekarang ini, lalu ditambah kurangnya perhatian pemerintah di Gayo (Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues) mengundang reaksi dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa. Dimana, para intelektual muda ini memberikan berbagai solusi, diantaranya pemanfaatkan Bandara Rembele sebagai bandara ekspor kopi, meminta pemerintah daerah mengambil kebijakan untuk member ganti rugi kepada petani dan banyak lagi yang disarankan, meski tak sedikit juga yang hanya umbar pernyataan, tanpa diperkuat data dan fakta yang valid.
Menurut pengakuan seorang petani kopi di Bener Meriah Asnadi sebagaimana dilansir atjespost.com, 7 Mei 2013, tahun ini, harga kopi jenis glondongan atau kopi merah Rp5 ribu per bambu, setara dengan 13 ons. Padahal tahun sebelumnya, harga kopi sangat lumayan, Rp12 ribu per bambu.
“Sedangkan harga gabah kopi saat ini Rp13 ribu per bambu, tahun sebelumnya mencapai Rp30 ribu per bambu,” ujar Asnadi sambil menambahkan, selain harga anjlok, agen atau pengumpul kopi tidak langsung membayar tunai saat membeli. Petani harus menunggu hingga sepekan, baru mendapat bayaran dari agen.
Sungguh ironi memang. Jikapenyakit klasik ini terus muncul saat panen kopi, kapan masyarakat kita (Gayo) bisa bernafas laga. Puas dengan harga kopi yang dihasilkannya. Kondisi ini perlu pemikiran kita bersama. Semua orang pinter yang darahnya mengalir darah Gayo harus memikirkan ini. Ini bukan saja urusan pemerintah dengan petani dan agen (kalau tidak mau disebut temgkulak).
Di Indonesia, kebutuhan kopi diperkirakan mencapai 121.107 ton per tahun. Area perkebunan kopi di Indonesia seluas 1,3 juta ha, antara lain tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, hingga Papua.
Sebenarnya, secara umum harga kopi di pasar internasional cenderung menurun pada awal tahun ini. Di bursa ICE Futures pekan lalu, harga kopi Arabika untuk kontrak pengiriman Mei 2013 menyentuh level US$ 2.800 per ton. Ini adalah posisi terendah harga kopi dalam enam bulan terakhir.
Sementara itu, mengacu ke data Organisasi Kopi Internasional atau International Coffee Organization (ICO), harga kopi robusta senilai US$ 2.160 per ton di pasar Amerika Serikat dan US$ 2.040 per ton di pasar Eropa.
Dari data ini menunjukan bahwa anjloknya harga kopi Gayo yang notabene berjenis Arabika, dikarenakan gejolak harga dunia. Bukankan kita ketahui bersama bahwa kopi Arabika asal Gayo merupakansalah satu terbaik di dunia dan ini bukan isapan jempol belaka, namun sudah diketahui oleh pasaran dunia.
Ketua Kompartemen Specialty Kopi dan Industri Kopi AEKI, Pranoto Soenarto, mengemukakan harga kopi belakangan ini jatuh ke titik terendah. Oleh karena itu, para eksportir kopi saat ini mengantisipasi penurunan harga kopi di tingkat dunia.
Demi menyiasati penurunan harga kopi, menurut Pranoto, pemerintah perlu berperan aktif, misalnya turut memperbaiki produktivitas tanaman kopi dalam negeri. Dus, kenaikan produksi dan penjualan kopi bisa mengkompensasi penurunan harga komoditas ini.(SuaraPengusaha.com, 11 Mei 2013)
Kopi Lampung
Di tengah gonjang-ganjing harga seperti ini, kiranya pemerintah kita bisa melirik Lampung sebagai pembelajaran. Untuk sekedar perbandingan, kopi Lampung pada umumnya adalah kopi jenis robusta.
Data menunjukkan luas lahan tanaman kopi Kabupaten Lampung Barat mencapai 60,347,7 hektare lebih, dengan hasil kopi kering per tahun mencapai 29.712 ton per hektar/tahun. Kabupaten Lampung Barat telah dijadikan contoh perkebunan terbaik di Provinsi Lampung dan Nasional. Daerah ini menjadi contoh terbaik di Provinsi Lampung dalam peningkatan produksi dan mutu kopi. Komoditas kopi menjadi mata pencaharian sebagian besar masyarakat yang tinggal di Lampung Barat baik di pinggiran kota maupun di pedalaman. Potensi kopi Lampung Barat setiap tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan, hal tersebut membuktikan komitmen pemerintah dalam mengupayakan peningkatan mutu kopi, yang diikuti pula dengan peningkatan ekonomi petani.
Dalam perspektif lebih jauh, bagi masyarakat Lampung, kopi bahkan merupakan identitas yang dapat diurai dari aspek sejarah, sosial, budaya, dan adat istiadat. Salah satu kopi Lampung kemasan kebanggaan masyarakat Lampung adalah Kopi Bubuk Sinar Baru, Cap “Bola Dunia” yang juga menjadi salah satu usaha kopi bubuk tertua di Lampung yang masih bertahan. Awalnya usaha kopi bubuk ini dirintis tahun 1917.(sharelampungku.blogspot.com).
Dari cerita tentang kopi Lampung tadi. Ada beberapa solusi yang bisa kita ambil, terutama bagi pemeritahan di Gayo plus legislatifnya. Yakni, Lampung punya pabrikan kopi. Bagi saya, ini gaya bertani modern. Dimana kita tidak hanya bangga punya komuditi pertanian yang unggul, namun kita juga seharusnya punya pabrik untuk komuditi tersebut.
Lampung punya dua pabrik bubuk kopi besar yakni Kopi Bubuk Sinar Baru, Cap “Bola Dunia” yang pasarannya sudah merambah pasaran nasional bahkan internasional. Satu lagi, di Lampung juga punya pabrik bubuk kopi internasional yakni produk Nestle yakni Nescafe. Saya yakin, hampir semua kita pernah menikmati Nescafe ini.
Lalu, jika ada yang bertanya, dari mana kopi nestle itu. Jawabannya Lampung. Perusahaan investasi terbesar di dunia ini yang bermarkas di Swiss mendirikan pubrik bubuk kopi kemasan yang bernama Nescafe yang kopinya dibeli dari petani kopi setempat. Wow…luar biasa. Perusahaan raksasa dunia, namun tak mematikan usaha lokal (daerah).
Dalam sebuah acara di Banda Aceh baru-baru ini, Head of Public Relations PT Nestle Indonesia, Brata T Hardjosubroto mengungkapkan, Nestle punya kopi, tapi tak punya kebun kopi, Nestle punya susu, tapi tak punya sapi dan banyak lagi produk Nestle, yang semua bahan mentahnya dibeli dari petani.
Sesuai dengan lambang Nestle, sarang burung yang dihuni seekor induk burung dan dua anaknya. Dimana induk burung itu memberi makan anaknya. Agar kelak bisa besar juga menjadi induk burung yang tangguh.
Dengan adanya dua pubrik berskala nasional dan internasional ini, para petani kopi di Lampung tak pernah mengalami krisis. Sebab, jika saat banjir harga merosot, pertani menjual hasilnya panennya kepada perusahaan kopi tersebut dengan harga yang selalu standar. Lalu disaat harga dipsaran dunia membaik, maka mereka menjualnya kepada eksportir dengan harga yang tinggi. Jadi, tidak ada istilah merugi. Karena kestabilan harga terus terjaga bagi petani.
Cerita pembanding ini, hanya sekedar membuka wacana bagi pemerintahan di Gayo, untuk sudah saatnya membuka pubrik kopi. Tidak sanggup. Cari investor, bukan hanya diam dan berdiam diri menunggu datangnya investor.
Lihatlah skala prioritas. Sebagian besar masyarakat kita adalah petani. Maka berbuatlah yang bisa menguntungkan petani. Sebab petani kuat, maka pemerintahpun akan kuat. Kita berharap, penyakit klasik kopi terutama kopi Gayo ini tidak terulang lagi dimasa-masa mendatang. Pemerintah dan legislatif harus berpikir ke arah tersebut.
Sebab, selain perekonomian petani kopi yang membaik dengan adanya pabrik bubuk kopi kemasan ini, namun juga bisa mengurangi angka pengangguran di daerah. Sebab, dengan adanya pabrik, maka tenaga kerjapun akan terserap.
Semoga pemikiran ringan ini bermanfaat bagi kita semua. Dengan harapan, terlahirnya petani tangguh di Gayo, dan Kopi Gayo bukan saja memang nama di dunia internasional, namun petaninya juga memiliki standar yang memadai, sebagai petani kopi yang tangguh dan mandiri. Semoga…!(aman.zaiza[at]yahoo.com)