Bobroknya Pendidikan Kita “Siapa Salah?”

Oleh: Zikri Fitra

“orang merasa mudah mendidik orang lain, namun sangat sulit untuk mendidik diri-sendiri” (Joni MN, 2012)

_MG_8519

TIDAK ada satu orang pun di dunia ini yang menginginkan disalahkan, begitu juga halnya dengan saya, anda, dia, mereka dan kita. Namun sebagaimana kita ketahui bersama tak ada manusia yang sempurna, tak ada juga yang bisa lari dari kesalahan. Baik itu kesalahan yang sangat besar atau kesalahan yang sangat kecil. Hal ini disebabkan karena kita semua adalah makhluk yang dicipta bukan makhluk yang mencipta. Jadi sudah pasti kesalahan itu ada.

Dalam dunia pendidikan saat ini sering kita jumpai kesalahan-kesalahan yang membuat pendidikan itu seolah tak lagi penting dimata sebagian orang. Kenapa bisa terjadi hal seperti ini? Jawabannya singkat saja tidak ada lagi istilah “ike rues keta  ku ines, ike tungku keta ku pelu”. Sebuah falsafah gayo yang hanya terdiri dari beberapa kata saja namun kata ini mempunyai makna yang sangat luas. Maksud dari  ungkapan  ini adalah  fungsikan sesuatu itu pada tempatnya ,dan serahkan  sesuatu itu pada ahlinya artinya disini  menuntut kepada keprofesionalisme-an  dalam  bidang ahlinya bertujuan  agar  tidak melenceng dari koridor yang sebenarnya dan sfesifikasi keilmuannya masing-masing.

Makna singkat yang bisa kita ambil adalah segala sesuatu serahkan pada ahlinya.Namun saat ini banyak sekali dari orang-orang yang pintar, pintar disini dalam artian pintar dalam mengolah kata sehingga tujuan yang diinginkannya tercapai dengan kepintaran berbicara orang yang kita maksudkan disini. Sebagai contoh sering sekali kita jumpai segelintiran orang yang memutar kata dalam mencapai keinginannya. Kata yang sering terucap adalah “asal luluse deh aku atau anak mu ni bier sanah pe buet te gere sesanah, nyapu pe jadi (asal lulus nya saya atau anak kita ni biar apa pun kerjanya tidak apa-apa, nyapu/cleaning service pun jadi)” namun ada juga kata-kata lain yang sering terucap “asal arae buet ni kusih pe male i tempaten mera aku(asal adanya kerja kemanapun ditempatkan mau saya)”.Nah, seperti ini lah kata yang sering terucap sebelum segelintiran orang ini mendapatkkan pekerjaan yang diinginkan. Namun kenyataannya yang terjadi, setelah pekerjaan di dapat, maka dengan berbagai cara segelintiran orang ini berusaha untuk mendapatkan tempat pekerjaan yang lebih di inginkan lagi. Salah satu tempat terfavorit yang di inginkan adalah di seputaran kota, pinggiran kota atau tempat yang mudah dan mulus di jangkau dengan kendaraan.

Salah satu penyebab bobroknya pendidikan di daerah kita adalah akibat tidak “rues ku ines, tungku ku pelu”. Sebagai contoh, Pegawai yang seharusnya menduduki jabatan fungsional malah diserahkan jabatan struktural kepadanya. Begitu juga sebaliknya pegawai yang mempunyai keahlian dibidang struktural malah diberikan tanggung jawab sebagai pegawai fungsional kepadanya. Akan tetapi kesalahan yang seperti ini tidak juga dibenahi sampai sekarang ini. Yang menjadi pertanyaannya “apakah pimpinan instansi yang bersangkutan tahu semua tentang pegawai yang ahli dibidang struktural dan pegawai yang mahir dibidang fungsional?” yang ditakutkan pimpinan sendiri tidak tahu sama sekali tentang fungsional dan struktural. Sehingga penempatannya pun terjadi dengan tanpa sepengetahuan pimpinan itu sendiri.

Kemudian, penyebab lain dari kebobrokan ini adalah penempatan pendidik yang tidak merata. Karena sebagaimana kita tahu semua bahwa daerah kita masih banyak desa terpencil, desa yang jauh dari perkotaan, desa yang tidak mempunyai akses jalan yang bagus untuk menuju kesana, semua mereka baik di kota maupun di daerah yang terpencil sekalipun berhak mendapatkan pendidikan dan pelayanan yang sama. Namun hal yang terjadi adalah para pendidik berlomba-lomba untuk segera keluar dari desa yang seperti kitasebutkan tadi. Yang sakitnya lagi siapa yang mempunyai PERDA (Pertalian Darah) dengan pejabat penting daerah dengan gampangnya pindah tugas dari desa-desa yang disebutkan diatas. Sudah jelas perhatian pemerintah terhadap pendidikan di daerah terpencil belum maksimal. Di sisi lain UU negara kita sudah menjelaskan bahwa setiap WARGA NEGARA berhak atas pendidikan. Dari UU ini disebutkan setiap “WARGA NEGARA”. Bukankah yang berada di desa terpencil sekali pun merupakan warga negaraIndonesia juga?. Lalu apa yang membedakan mereka dengan yang ada di kota atau dipinggiran kota atau yang daerahnya mudah dijangkau karena akses menuju kesana mudah dan mulus. Dalam kaitan ini ada sebuah dialog yang penulis dengar dari beberapa orang pegawai, seperti;

“ anu le pak (anu lah pak), jarak pedi ari kute ni kampung oya (jauh sekali dari kota desa itu), jelen pe rusak pedi (jalannya pun rusak sekali), umah sekulahe pe 2 kelas we (sekolahnya pun hanya ada dua kelas), nye siswa e pe tikik pedi we (terus siswanya pun sangat sedikit), jadi lagu gere gure tu kurasa nejer i one (jadi seperti tidak enak saya rasa ngajar disana)”.

 Apakah jawaban seperti ini yang menjadi alasan? Tentu saja tidak, bukan? Karena mereka juga sudah disumpah sewaktu pengangkatannya sebagai tenaga pengajar atau pegawai?

Hal itu terjadi tentu saja karena kurangnya ketegasan dari pemerintah daerah yang mempunyai wewenang penuh dalam penempatan tenaga pendidik di setiap daerah yang ada di daerah tersebut. Kalau memang pimpinan dari pemerintah daerah tegas dalam meratakan tenaga pendidik di seluruh desa yang ada didaerahnya maka bukan tidak mungkin sistem pendidikan di daerah bisa bersaing dengan daerah lain.Namun, kita selaku rakyat jelata hanta bisa berharap akan ada sebuah kebijakan yang menyama ratakan tenaga kependidikan di seluruh pedesaan yang ada di suatu daerah dan kita berharap tenaga kependidikan yang profesional yang ditempatkan di pedesaan. Contohnya tenaga pendidik yang bertitle S-2 yang ditempatkan di desa-desa terpencil. Karena pada dasarnya di pedesaan lah yang paling membutuhkan tenaga pendidik yang profesional. Karena kalau di pusat kota atau di pinggiran kota para siswa sudah mulai menyadari pentingnya ilmu pengetahuan. Sangat berbeda dengan siswa yang ada di desa-desa terpencil, siswa-siswa yang ada di sana masih sangat kurang kesadarannya tentang ilmu pengetahuan. Dalam benak mereka masih ada anggapan “untuk apa saya sekolah? Presiden sudah ada, wakil presiden sudah ada, menteri sudah lengkap, gubernur, bupati, camat, dll sudah ada semua, jadi untuk apa saya sekolah?”. Inilah paradigma dari pemikiran mereka saat ini yang harus dibenahi oleh kita semua.

Di sinilah dibutuhkan tenaga pendidik yang memiliki nilai kpribadian, sosial, dan profesional yang tangguh dan bisa memberi pemahaman tentang pentingnya ilmu, dan memberi penjelasan bahwa bukan tidak mungkin saya, kamu, dia, mereka dan kita bisa juga menjadi pengganti Presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati, camat dan lainya. Hal yang paling penting lagi bahwa di desa-desa terpencil dibutuh kan tenaga pendidik yang bisa mengembangkan bakat dan minat dari peserta didik. Kalau pun tidak menjadi seperti yang diharapkan, sekurang-kurangnya pendidik bisa memberikan ilmu yang bermanfaat kepada seluruh peserta didik dimana pun siswa itu berada yang menjadikan mereka bermakna terhadap sesama.

*Zikri Fitra, S.Pd, Ketua Yayasan Pendidikan Prima (YPP) Takengen dan Pemerhati Pendidikan Gayo. Tinggal di Takengen – Aceh Tengah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments