Oleh: Armi Arija*
BEBERAPA hari yang lalu saya beserta tiga orang teman pulang kampung (pulkam) dengan menggunakan sepeda motor dari arah Lhokseumawe, saya berboncengan dengan seorang teman Hairi yang juga junior saya dua tinggkat dibawah saya, kami berdua tercatat sebagai mahasiswa FISIP di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe. Namun demikian jurusan kami berbeda, saya sendiri jurusan ilmu administrasi Negara sedangkan Hairi merupakan mahasiswa ilmu politik.
Kepulanagn kami memang karena adanya sejumlah keperluan, sengaja memang laju sepeda motor kami perlambat agar bisa menikmati apa yang terlintas dikanan dan kiri jalan. Setelah melewati jalan Medan–Banda Aceh sepeda motor berbelok kekiri. Hujan gerimis mulai turun ketika kami melalui jalan Takengen-Bireun, genangan air di jalan menandakan bahwa hujan lebat baru saja reda.
Sepanjang perjalanan kami berdua asyik bercerita tentang beragam masalah baik masalah kuliah, organisasi, serta merembet kemasalah yang hangat dibicarakan saat ini, sesekali diselingi dengan dengan candaan dan humor yang berasal dari guyonan dan sedikit parodi serta hal-hal janggal yang terlihat mata. Sampai puncaknya ketika melewati ruas jalan yang longsor ada juga yang badan jalan yang amblas yang sanat membahayakan pengguna jalan.
Pembicaraan mulai mengarah pada bencana yang sedang melanda Aceh sebagaimana yang terjadi di bagian barat selatan (Aceh singkil, Subulussalan) dan baru-baru ini terjadi di Aceh Tengah tepatnya 4 kecamatan yang terkena Kecamatan Ketol, Silih Nara, Celala dan Rusip Antara. Banjir bandang, tanah longsor merusak pemukiman penduduk, memutuskan jembatan serta jalan.
Lagi bencana ini terjadi karena kerusakan eksistensi hutan, banyak kerusakan yang diakibatkan oleh banjir disebabkan oleh tingginya curah hujan, dan lagi-lagi hutan (pohon) yang menjadi kuncinya, yang menyerap air, tidak ada yang menyokong kekuatan tanah maka terjadilah banjir bandang, longsor, air sungai meluap dan sebagainya .
Apakah kita Akan Merusak Bumi Kita Sendiri ?
Ini merupakan pertanyaan yang mestinya kita jawab, dan jawabanya adalah bagaimana perlakuan dan sikap kita terhadap alam. Banyak pesan yang disampaikan oleh konseptor, lembaga dan komunitas pecinta alam atau bahkan seruan yang dikeluarkan oleh pemerintah minsalnya “Hutan Adalah Titipan Untuk Anak Cucu“ atau mungkin “pakailah apa yang diberikan oleh bumi, tetapi gunakanlah dengan bijak “ maka dari itu apabila hutan rusak apa yang akan diwarisi?
Bila hutan terus dijarah, ditebang, dibakar, apa yang dilakukan oleh masyarakat untuk pembukaan lahan tetapi kebanyakan yang digarap wilayah yang dilarang, misalnya hutan lindung dan sebagainya. Terlepas dari itu banyak juga tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab yang hanya memikirkan kepentingan sendiri, illegal loging, pembukaan lahan yang berlebihan yang tidak memikirkan lingkungan, terutama kawasan hutan terluar dari daerah jauh dari pengamatan, ini permainan kelompok tertentu, namun demikian tidak tertutup kemungkinan pihak yang berwenang memiliki peran.
Saya tergelitik mendengar ceramah yang disampaikan oleh almarhum KH Zainuddin MZ yang kalimatnya begini “Negara ini hancur karena salah urus, yang disuruh ngurus hutan malah rame-rame jadi orang utan“. Memang benar bumi ini rusak karena ulah tangan manusia itu sendiri, bung Ebiet G Ade juga punya pesan moral mengenai alam dalam lagunya, apakah alam mulai bosan bersahabat dengan kita?. Apa mungkin ini teguran atau cobaab dari Allah SWT? Kita harus intropeksi diri, apa mugkin kita juga harus bertanya pada rumput yang bergoyang? mengapa semua ini terjadi.(abiarmigayo[at]gmail.com)
*Mahasiswa FISIP Universitas Malilussaleh