[Cerpen] Sayap-Sayap Mendung

Oleh: Sihabuddin

TERBANG mengelilingi kota yang belum kuketahui ujungnya, terbang bersama gerimis mengikuti kepakan sayap menjadi hujan. Bingung kemana harus berteduh, sedang kami belum berpengalaman hidup bebas di tempat yang ditumbuhi gedung-gedung pencakar langit. Untungnya kota ini masih menyisakan pohon-pohon besar untuk disinggahi.

Hujan tak terbendung. Ribuan kendaraan melaju dengan cepatnya. Sungguh aku takjub dengan kecanggihan manusia. Sayang kecanggihan itu sering disalahgunakan. Dua tahun yang lalu ketika masih berada di duniaku yang sebenarnya, mereka seenaknya menebang pohon-pohon tempat keluarga berteduh. Aku juga masih ingat ketika dengan sadisnya memainkan senapan sehingga banyak korban berjatuhan. Ketika itu aku dan ibuku terbang mengikuti kepakan sayap, yang penting kami selamat dari senjata yang berbunyi dor dor dor. Waktu itu juga terakhir kalinya aku melihat ibu, saat berpisah mencari keselamatan. Saat itu juga aku berhenti di sebuah ranting mencari jejak ibu. Nihil. Dor, sebuah pelor menghujam kaki aku kehilangan keseimbangan, dunia mulai gelap.

Saat tersadar aku sudah di kerangkeng. Bersama puluhan burung yang senasib dalam sangkar berusaha keluar hingga putus asa dengan ketidak berdayaan bangsa apes. Aku dipisahkan dengan teman-teman satu sangkar, satu sangkar satu jenis burung, setelah lama berpindah dari tangan ke tangan akhirnya berkumpul dengan binatang yang dipertontonkan. Orang menyebut tempat tinggalku yang baru sebagai kebun binatang. Padahal binatang bukan tumbuhan tapi tempat kami dinamakan kebun.

Hujan mulai reda aku dan teman-teman berpisah mencari makanan. Sudah dua hari perut kosong. Kami memutuskan keluar dari sangkar yang dijadikan tontonan. Kami masih buta dengan keadaan kota besar, berlima kabur dari sangkar besar karena tidak mau menjadi korban seperti komodo, kijang dan binatang lainnya dan mati sia-sia. Tidak tahu apa penyebab kematian mereka? Seharusnya para pengelola kebun binatang menjamin kehidupan penghuninya. Para binatang dijadikan tontonan, tapi tidak dijamin kehidupannya. Lebih baik biarkan semua penghuni hidup sebebasnya.

“Kawan….., disini banyak buah yang masak,” aku memanggil teman-teman yang terpisah di beberapa pohon. Namun sayang suaraku kalah dengan kendaraan yang menyemut. Terpaksa aku menghampiri satu persatu. Kamipun makan sepuasnya sehingga lupa bahwa dunia ini masih asing dalam perut kosong.

Dor……

Suara senapan tergiang. Salah satu kawanan kami jatuh ke tanah dengan luka di perut. Melihat kejadian itu, kami langsung lari kocar kacir.

Dor…. dor….. dor…..

Suara senapan memberondong setiap kepakan sayap. Si empunya senapan mengingikan sasaran, tapi hanya satu dari lima burung yang bernasib sial.

Matahari mau pulang bersamaan berhentinya jatuhnya hujan dari langit. Warna jingga di ufuk barat yang dihiasi dengan gedung-gedung pencakar langit menambah keelokan pesona senja di kota ini. Sekumpulan burung walet memutar-mutar di udara. Jalanan semakin macet, ribuan manusia kembali ke rumahnya masing-masing. Adzanpun menggema dari setiap masjid dan musholla yang berdiri di sudut kota. Siang sudah berakhir.

Aku melayang di udara berharap masih bisa bertemu dengan teman-teman. Lima burung rangkong yang tinggal empat. Semoga teman-temanku masih selamat dari pemburu sehingga bisa berkumpul kembali ke kota asing ini. Lelah telah menggerogoti tubuhku, karena telah lama memutar mutar tanpa tujuan. Salah satu penyebabnya kejadian tadi sore. Tidak ada pilihan lain aku harus istirahat.

Saat membuka mata, kota sudah ramai. Kendaraan mulai menyemut lagi. Syukur bisa melalui malam. Aku pindah dari ranting ke ranting sambil melihat suasana kota yang sibuk. Kesenjangan sosial yang terjadi adalah hal biasa. Gedung pencakar langit sampai gubuk.

“Papa  lihat itu pa,” seorang anak kecil melihat keberadaanku.

“Ada apa sayang?” Jawab bapak dari anak kecil.

Tanpa pikir panjang aku langsung terbang. Takut sial menimpa. Terbangku semakin tinggi, aku takjub pada sebuah benda yang sangat besar terbuat dari besi yang bisa terbang, ini yang dinakamakan pesawat terbang? Selama ini hanya kudengar bunyinya.

Matahari mulai meninggi. Iklim kota sungguh panas, terlalu panas untukku melayang di udara. Tiba-tiba, jenduar…..!!! sebuah kecelakan lalu lintas. Sungguh tragis. Manusia memang ada yang seperti itu, ceroboh, enak sendiri dan tidak memikirkan yang lain. Apalagi memikirkanku yang jelas-jelas bukan manusia.

Kami hanya menangis melihat tubuh yang sudah tak terbentuk. Mau menolong tidak punya kekuatan. Yang bisa dilakukan hanya melihatnya dari atas pohon. Tak ada yang peduli, semua pengendara tak ada yang tertarik sedikitpun. Kalau masih hidup dikerangkeng mau dipertontonkan. Dasar biadab.

Tak ada gunanya aku merenungi nasib teman yang sudah tak bernyawa. Hal ini akan merugikan diri sendiri. Kami memutuskan terbang membumbung tinggi ke angkasa. Berharap masih menemukan teman yang lain, berharap bisa berkumpul lagi meskipun tinggal tiga ekor.

Matahari sudah mulai turun begitu juga panas yang menyengat kota. Seiringnya perjalan waktu gerimis mulai turun, lama kelamaan semakin besar dan menjadi hujan deras. Panas berganti dingin. Kami berteduh di salah satu pohon yang tetata apik, di saat menikmati rintik hujan yang menembus lebat pohon tiba-tiba teman kami muncul. Kami tersenyum. Temanku yang satu ini memang hobby membuat kejutan. Rasa rindupun terobati. Perbincangan kumulai dengan menceritakan semua yang telah kami terjadi. Tampak sekali di raut wajahnya kalau dia bersedih.

Hujan reda, aku mengajak kedua kawanku memusyawarahkan nasib selanjutnya. Kami berbeda pendapat. Temanku yang sudah kemarin menemaniku ingin kembali ke kebun binatang. Ia tidak tahan dengan ganasnya perkotaan. Sedangkan temanku yang baru datang menceritakan petualangannya, ia melihat gunung menjulang tinggi di selatan dan dia yakin kalau disana masih banyak pepohonan karena terlihat hijau. Ia menawarkan untuk bermigrasi. Aku memilih untuk tetap tinggal di kota ini, karena aku yakin kematian hewan di kebun binatang mendapat respon dari pemerintah dan masyarakat yang peduli dengan kehidupan satwa. Dengan ini kehidupan para satwa akan lebih terjamin. Bila ini terjadi aku akan kembali ke kebun binatang.

Mereka tetap pada pendirian masing-masing. Begitu pula denganku, aku yakin pengelolaan kebun binatang akan berubah. Kalau tetap banyak binatang yang meninggal, aku akan bermigrasi ke selatan seperti yang ditunjukan temanku.

Sore sebagai pertanda bergantinya siang. Mendung tidak berganti cerah. Gumpalan awan hitam tetap menghiasi sibuknya kota. Aku dan kedua temanku memutuskan berpisah saat suasana mendung. Tak terasa air mataku jatuh mengiringi kepergian mereka.(Kurator: LG-007)

Surabaya, 1 Mei 2012.

SihabuddinSihabuddin. Lahir di Pamekasan, 20 Mei 1990. Tinggal di Kebun Anyar, Bungbaruh, Kadur, Wonokromo 1/5 RT 4 RW 6 Surabaya. Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Public Relations Ilmu Komunikasi di IAIN Sunan Ampel Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.