Oleh Sri Wahyuni
DI BATU berwarna hampir biru tua mengkilap, Inen Mayak Teri duduk seraya memandang ke selatan. Di sisi pegunungan itu dia menyapu pandang nanar, menembusi batas-batas langit yang bersih siang itu. Aku bertanya padanya…Teri mengapa kau memilih melawan!
Ia menjawab, apa ada pilihan lain. Saat semua yang kau cintai hilang dalam sekejap mata. Lalu semua harapanmu juga sirna tanpa ujung?
Ya, apalah arti hidup tanpa cita-cita teri, ujarku.
Teri, ujarku lagi, aku ingin bercerita panjang padamu, tentang masa depan negeri kita yang aneh dan makin mundur melebihi masamu.
Di masa depan, kaum kita tetap saja jadi alas kaki laki-laki penguasa. Meskipun masih ada laki-laki yangmulia seperti suami ku tetapi tetap saja dia tak berdaya membela kita karena diapun tersingkir dari arena politik negeri kita yang kejam.
Seandainya kau hidup dimasa depan dengan sumpahmu yang membelah langit itu, maka kau akan dihujani caci maki seribu ulama dan santri yang mengatakan kau perempuan durhaka yang mengobral tubuh demi kecintaan pada lelaki.
Tiba-tiba Teri memalingkan wajahnya ke arahku, ia juga memutar arah tubuhnya. Lalu Teri menjawab dengan nada datar namun tegas. Aku hanya ingin katakan bahwa tidak ada orang yang paling berhak untuk mencabut nyawa orang lain sesuka hatinya. Dan tidak ada bangsa yang boleh menjengkali bangsa lain semau-maunya. Itu dasar fikir ku.
Tubuhku, itulah wujud dari perlawananku, bahwa aku tidak mau tunduk pada aturan yang seolah-olah suci tetapi pada dasarnya adalah jelmaan dari pengusa yang haus darah. Tubuhku jangan dijadikan tumbal untuk memutihkan muka para penguasa itu, tubuhku adalah hakku. Ada gurat tegas di pipi bawah dekat tulang rahang Teri. Dia keraskan wajahnya, dan aku faham ekpresi itu lahir dari kemarahannya yang bak harimau kehilangan mangsa.
Oya aku mau tau, apa argumen laki-laki dimasa tentang perempuan yang melawan seperti aku, Teri balik bertanya.
Aku tersenyum…hampir-hampir seperti menertawakan diri sendiri. Aku menarik nafas …lalu berusahaberfikir lebih keras agar apa yang akan aku ceritakan nanti tepat dan tidak melebih-lebihkan. Meskipun aku tau Teri tak kan bisa berbuat apa-apa, tetapi moment ini adalah saat yang penting buat aku agar seorang legenda sepertinya faham bahwa dimasa depan perjuangan jauh lebih berat. Sebagai perempuan yang mengalami nya aku ingin meringankan dadaku dengan berbagi padanya.
Teri! Di masa mu kau marah pada belene palis yang datang dari negeri yang jauh lalu sok berkuasa di negerimu. Merampasi apa yang kita punya, mengukur hutan-hutan, menerobos gunung āgunung untuk dijadikan jalan. Membangun pabrik teh, memerintahkan rakyat tanam paksa pinus mercury. Memerintahkan menanam kopi lalu dimasa kami mereka yang menguasai merk dagangnya. Mereka juga memperkosa perempuan-perempuan kampung kita kan Teri.
Dan untuk kau tau Teri, dimasa kami itu juga terulang, yang melakukan adalah cucu-cucu dari para marsose yang dulu ikut membantu si belene palis itu. Mereka yang ikut merampas, menyiksa dan memperkosa tanoh tembuni ini. Tak jarang anak-anak gadis kita jadi santapan mereka, dilecehkan. Meskipun kadang aku juga marah karena bagsa kita harga dirinya juga sudah rendah mencapai titik nol, ada juga banyak para ibu yang mengantarkan rantang berisi pengat dan masam jeng untuk para serdadu cucu marsose itu seraya mengiklankan bahwa ipak dirumah sudah ranum dan siap jadi istri mereka, karena akan sangat bangga punya menantu anggota serdadu dengan pangkat satu atau dua balok.
Teri, tapi ada juga perempuan kita yang tetap melawan, meskipun sedikit. Kalau dari kampung kita mereka mirip dengan mu Teri melawan karena pengabdian pada suami. Banyak para istri yang bertahan dihutan-hutan ikut suaminya bertempur melawan para serdadu itu. Atau dipenjara karena ditinggal suami bergerilya. Kepahitan terus menghimpit mereka. Bahkan sampai kini, karena paska damai peran mereka sebagai kepala rumah tangga di cabut karena suami sudah pulang, justru mereka diitinggal kawin oleh suami-suaminya karena para suami yang dulu pejuang bersenjata itu kini sudah jadi para politisi elit dinegeri kita. Ada yang jadi anggota dewan, ada yang jadi pemimpin LSM ternama, ada yang jadi toke kupi dan lain-lain.i
Begitu juga dengan hak-hak politik nya Teri. Menurut para lelaki itu, perempuan sudah tak layak lagi memimpin seperti dimasa konflik, ini masa sudah damai perempuan sebaiknya dirumah saja, beranak, membersihkan rumah. Politik urusan laki-laki. Mana mungkin perempuan menjadi bupati, itu akan merendakan martabat suaminya.
Yang paling menyedihkan lagi sekarang ada aturan perempuan harus memakai jilbab dan memakai rok, tak boleh memakai celana. Padahal sepanjang hayatku aku selalu merasa seperti tersengat arus listrik bila mengenang cerita tentang mu Teri, kau begitu hebat memimpin pertempuran di hutan-hutan, menebas kepala para marsose yang tertimpa tenda bivak di hutan-hutan rimba tanoh tembuni ini. Apakah kau menggunakan rok saat itu Teri?
Aku juga terkesima pada kisah perempuan-perempuan lain yang memimpin ribuan prajurit di laut, menjadi ratu-ratu ratusan tahun, memimpin gerilya di rimba-rimba raya, apakah mereka lahir dan besar dari kekangan Teri? Bukankah mutiara berlumpur itu akan bersinar apabila dia diguyur air kebebasan? Lalu dia akan memancarkan cahaya dan menjadi zamrud bagi kegelapan?
Apa salah kita Teri sehingga kita seolah-oleh menjadi buruk dan hina? Apa karena kita punya rahim? Apa karena kita terlalu berbahaya sehingga para penguasa patriakhi itu gemetar ketakutan? Atau yang mereka takutkan adalah kehadiran kira digelanggang politik akan mengganggu kemapanan? Sehingga managemen fee yang selama ini mereka praktekkan dan melahirkan para Neoraja-raja rakusā akan terancam? jatah tahunan dari fee proyek yang mereka idam-idamkan itu hilang karena kepemimpinan kita? Atau karena kaum Adam penguasa itu tak mau kebiasaannya berselingkuh akan jadi sulit kalau banyak perempuan di parlemen? Kian hari kecurigaanku kian banyak Teri, makin hari dadaku makin sesak oleh kemarahan!
Kau tau Teri, kemarahanku bukan saja karena mereka penuh dosa dan janji palsu. Kemarahanku karena mereka menjadikan tubuh kaum kita sebagai tumbal bagi upaya pencitraan mereka sebagai pemimpin yang sholeh. Jangan bawa-bawa tubuh perempuan! Aku protes! Sementara dilain sisi mereka mempraktekkan kebobrokan moral, mereka meniduri sekretaris-sekretarisnya lalu di ruang sidang mereka sibuk menetapkan qanun untuk merazam orang berzina!
Aku ingin bersumpah seperti mu Teri, bahwa rambut perempuan hari ini adalah simbol perlawan karena sama seperti celana, rambut perempuan menjadi alat penguasa yang paling ampuh untuk mengerangkeng perempuan.
Teri kaulah pahlawan bagi kedaultan tubuh perempuan, turunlah dari singasanamu kenegri tembuni yang kian gersang ini…kami rindu!
Note: Inen Mayak Teri adalah pahlawan yang tercecer dari tanoh Gayo yang ikut memimpin perang melawan Belanda.
* Sri Wahyuni, peminat sastra dan aktivis perempuan Aceh.
ceritanya terlalu berbelit-beli
Mantap sekali bang ceritanya