[Cerpen] Penghasilan Menulis

Oleh: Sihabuddin

Sudah berapa lamaran pekerjaan yang diajukan namun sampai saat ini tak satupun perusahaan atau instansi pemerintah yang memanggil. Andi tak putus asa, ia tetap mencari lowongan, kamar tidurnya dipenuhi tumpukan  lamaran pekerjaan. Sebulan berlalu dewi fortuna memang belum berpihak, semua lamaran ditolak.

Lebih setahun menganggur, sejak lulus dari kampus dimana ia kuliah. Menganggurnya Andi menjadi salah satu buah bibir yang cukup top di kampung. Tak heran kalau ibunya selalu menguber-ubernya untuk segera cari kerja karena malu jika anaknya terus menjadi buah bibir ibu-ibu di pasar dan arisan.

“Nak, kerja apalah yang penting kamu tidak menganggur. Ibu malu sama tetangga,”

“Bukannya Andi tidak mau kerja bu, tapi sampai sekarang tidak ada satupun instansi yang mau mempekerjakan Andi, padahal Andi bisa. Andi yakin ini memang cobaan Tuhan untuk menguji kesabaran”. Ibunya hanya terdiam penuh harap.

Suatu ketika secara tidak sengaja Andi bertemu dengan Nana teman kuliah yang sudah bekerja sebagai guru bantu di sekolah swasta. Meskipun sebagai guru bantu tapi Nana berpenampilan cukup wah, begitu pula dengan aksesorisnya yang cukup membuat wanita lain iri.

“Masak sih, kamu hanya bekerja sebagai guru bantu? Kalau melihat dari pakaian, tas, Hp dan semua yang melekat pada dirimu, paling tidak kamu sudah PNS dengan gaji yang cukup lumayan,” Andi penasaran.

“Andi, sejak kapan sih aku bohong sama kamu. Aku memang sebagai guru bantu di sekolah swasta yang cukup favorit. Tapi, ada penghasilan lain yang membuat penampilanku cukup keren di mata kamu,” Nana tersenyum.

“Terus penghasilanmu apa? Jangan-jangan kamu punya babi ngepet atau tuyul,” canda Andi sambil tertawa.

“Hush…. Ngawur. Masak cantik-cantik begini punya tuyul atau babi ngepet!” Nana sedikit kesel.

“Iya…. Canda aja kok. Oya penghasilan lainmu apa?” Andi semakin penasaran.

“Aku melanjutkan hobbyku sejak kecil, yaitu menulis. Sekarang aku sudah menciptakan dua novel yang cukup laku di pasaran, lain lagi dengan tulisanku yang di berbagai media massa, ini yang membuat aku punya uang. Bayangkan, ada beberapa media yang akan memberi royalti lumayan besar bila tulisannya dimuat,” jawab Nana bersemangat.

“Beneran?!” Andi lebih bersemangat.

“Waduh, ketinggalan zaman banget kamunya. Padahal zaman sekarang bukan zaman batu lagi, informasi mudah didapat,”

“Iya…. Iya aku memang tidak up date seperti kamu. Oya, bukankah aku waktu SMA dan saat kuliah tugas membuat cerpen dan opini pelajaran bahasa Indonesia nilaiku tertinggi dan mendapat pujian dari guruku dan dosen kita. Mengapa aku tidak sadar kalau aku punya bakat seperti itu,”

“Salah kamu sendiri, kamu menyianyiakan bakatmu. Kalau nilai bahasa Indonesiaku standar sama dengan yang lainnya. Tapi, aku hobby menulis dan aku bertekad untuk jadi penulis dengan itu aku terus melatih menulis, dan Alhamdulillah sekarang sudah mendapatkan hasilnya meskipun masih jauh dari kesempurnaan. Kalau kamu punya potensi seperti itu, kenapa kamu tidak mengembangkan bakatmu saja?”

“Iya juga ya ….”

“Makanya mulai sekarang sambil mencari pekerjaan kamu menulis lagi baik fiksi dan non fiksi, siapa tahu dengan tulisanmu yang sering terpampang di berbagai media nanti kamu yang dicari pekerjaan bukan kamu yang mencari pekerjaan,”

Sejak pertemuannya dengan Nana, Andi sering mengurung diri di kamar dan bergelut dengan komputer. Hal ini membuat ibunya was-was, ia takut anaknya menjadi stress. Namun, Andi menjelaskan apa yang sedang ia inginkan dan meminta ibunya agar tutup mulut. Ia takut yang ia bayangkan tidak sesukses dengan kenyataannya. Ibunya hanya mengiyakan dengan ragu-ragu, sebab ia tidak begitu yakin anaknya bisa melakukan semua itu.

Satu minggu sudah Andi sering menjadi penghuni kamar sebagai tukang pencet komputer yang dibelinya saat ia kuliah. Selama satu minggu Andi sudah merampungkan dua cerpen dan tiga puisi yang sudah dipermak seindah mungkin, tujuannya agar redaksi tertarik dengan tulisannya. Ia menargetkan empat bulan ke depan harus menghasilkan puluhan cerpen dan puisi. Dua cerpen dan tiga puisi tersebut ia kirim ke salah satu media. Ia ingin fokus dengan mengamati karakteristik tulisan di media tersebut. Hasilnya cukup mengembirakan sebagai pemula dalam dunia literasi, salah satu cerpennya dimuat dengan honor yang lumayan besar. Sedangkan satu cerpen dan tiga puisinya tidak berhasil membuat redaksi tertarik.

Satu cerpen yang berhasil masuk media memompa semangat Andi untuk terus berkarya. Bahkan, setelah satu minggunya lagi ia sudah membuat dua opini, tiga cerpen dan satu puisi.  Alhasil, selama setengah bulan ia sudah merampungkan dua opini, lima cerpen, dan empat puisi. Hal ini bisa dikatakan luar biasa sebagai pemula. Andipun semakin percaya diri kalau dia mempunyai bakat di bidang ini. Iapun mengirimkan semua karya terbarunya ke media yang dulu dan karya yang sudah ditolak ke media lain. Hasilnya lumayan mengembirakan, cerpen dan dua puisinya yang ditolak malah dimuat di media lain, satu cerpennya lagi dimuat di media yang dulu. Sedangkan dua opininya tidak ada kabar, menandakan ditolak. Dengan ini, lima karyanya sudah dibaca banyak orang dan tentunya dengan honor yang lumayan.

Empat bulan telah berlalu. Andi berhasil mencapai targetnya dengan puluhan cerpen, puisi dan beberapa opini. Karyanya sudah malang melintang di berbagai media dengan nama pena Ibnu Qolam. Meskipun tulisannya banyak dimuat tapi tetap saja lebih banyak ditolaknya, hal ini sudah biasa. Bahkan, prestasinya sangat luar biasa sebagai pemula di dunia literasi. Setelah empat bulan tersebut, Andi mengatur jadwalnya seperti jadwal orang bekerja kantoran, sebab ia sadar tidak baik terus menerus di depan komputer tanpa berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Ia menargetkan enam bulan ke depan karya non fiksinya juga harus masuk ke media massa, bahkan tahun depan ia akan menulis novel dan kumpulan cerpen karna sudah ada tawaran dari penerbit.

“Wuih, lama tidak keluar penampilanmu makin oke, Hand Phonemu juga sangat bagus. Memangnya kamu dapat uang dari mana? Sedangkan kamu sampai sekarang masih pengangguran,” Joko penasaran.

“Kalau sudah rezeki pasti ada jalan,” Andi hanya tersenyum.

Desas-desus mulai terdengar diantara tetangga. Ada yang bilang Andi punya tuyul, ada juga yang bilang punya babi ngepet. Ada juga yang berpikir positif dan percaya pada ibu Andi kalau Andi mendapat penghasilan sebagai penulis. Yang mempercayainya adalah kalangan terpelajar.

Fitnah mulai menyebar dimana-mana, hal ini dengan terjadinya kehilangan uang di dua rumah tanpa jejak. Setelah meminta pendapat dukun yang cukup dikenal hilangnya uang tersebut diambil tuyul, hal ini berdasarkan proses yang panjang. Sebagian masyarakat mempercayainya dan semakin curiga pada Andi. Karena Andi dikenal pengangguran dengan penghasilan yang lumayan besar. Sebagian lagi, malah tidak percaya sama sekali pada dukun tersebut karena sudah terbukti kalau dukun tersebut tukang tipu. Sebagian lagi malah tidak percaya pada kejadian ini, karena yang kehilangan uang orang yang tidak bisa dipegang kata-katanya.

Andi malah menanggapi santai fitnah yang dialamatkan padanya. Baginya selama dirinya tidak salah dia tidak takut menghadapinya, bahkan dia berani diperiksa bila hal ini akan melalui jalur hukum karena sampai kapanpun tidak akan terbukti.

TTT

Malam itu, sebagian pemuda kampung akan menyelidiki perkara ini ke rumah Andi setelah jam satu  malam. Mereka ingin membuktikan kebenarannya. Waktu yang ditentukanpun datang. di saat semua mata terlelap beberapa pemuda kampung pergi ke rumah Andi tanpa menggunakan alas kaki. Setelah sampai tujuan, mereka memasang tangga yang sengaja mereka bawa. Setelah tangga berdiri tegak satu persatu mereka naik ke atap rumah hanya tinggal seorang saja yang berdiri di bawah tangga. Mereka mulai membuka genting rumah Andi dengan sangat perlahan. Apa yang terjadi? Kamar Andi terlihat remang-remang. Mereka semakin yakin kalau Andi sedang melakukan ritual. Kontroversipun terjadi, ada yang sudah yakin kalau Andi melakukan ritual ada juga yang belum yakin. Akhirnya mereka mengamati lebih lanjut dengan membuka genting lebih lebar.

Apa yang terjadinya!!! Sejak saat itu mereka bahwa mereka telah berburuk sangka pada Andi. Mereka melihat langsung kalau Andi sedang bergelut di depan komputer dengan lampu yang dimatikan, jadi wajar saja kalau terlihat remang-remang. Mereka terus mengamati hingga jam dua malam, saat itu Andi keluar kamar dan masuk lagi kemudian membantangkan sejadah. Saat itu pula, pemuda kampung tersebut semakin merasa bersalah, melihat Andi sedang sholat tahajjud dan meminta pada Allah di saat sebagian mata terlelap. Akhirnya mereka pulang dengan penuh penyesalan karena telah suudzon pada orang baik.

Sejak penyelidikan itu, fitnah tentang Andi yang punya tuyul hilang bersama hembusan angin. Beberapa pemuda kampung belajar menulis pada Andi dengan gratis, bahkan ada yang ibu-ibu. Tak lama kemudian, dua orang yang kehilangan uang dan dukun tersebut ditangkap polisi karena melakukan persekongkolan penipuan dengan berbagai bukti. Ternyata yang jadi korban mereka tidak hanya Andi.(Kurator LG-007)

Malang, 10 September 2012.

SihabuddinSihabuddin adalah mahasiswa Public Relations Ilmu Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisannya pernah dimuat di Jawa Pos, Kompas Kampus, Annida on-Line, Koran Jakarta, Lintas Gayo dan Harian Surya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.