Oleh : Ghazali Abbas Adan *)
Pejabat publik (public official) ialah orang-orang yang menduduki jabatan/posisi berkaitan dengan urusan, tugas, dan amanah publik (selanjutnya dibaca: rakyat), dan gaji, rupa-rupa tunjangan serta fasilitas sebagai kompensasi (peunayah) dari pelaksanaan urusan, tugas dan amanah itu diambil dari uang rakyat dalam anggaran negara/daerah.
Berdasarkan fakta dan landasan berpikir sekaitan dengan jabatan dan pejabat publik seperti ini maka sebagai rakyat yang telah menyerahkan urusan, tugas dan amanah dengan cara tidak gratis (cuma-cuma) itu, berhak, bahkan berkawajiban mengontrol, menilai dan mengevaluasi kinerja dan prestasi mereka, terutama dan pertama terhadap pejabat publik tertinggi (top leader), disebabkan dengan jabatan itu, top juga mendapat peunayah dari rakyat. Konsekuensi dari serba top ini, maka tanggungjawab dan kesiapan menanggung resiko juga harus top. Tidak boleh hanya bernafsu dan dengan menempuh (peulaku) bermacam cara niscaya dapat menikmati kehidupan sebagai pejabat publik yang serba top, tetapi giliran tanggungjawab dan kesiapan menanggung resiko serta merta mengelak (mita-mita geunireng), tulunjuk diarahkan kiri kanan dan kebawah.
Adalah Bapak Zaini Abdullah dan Bapak Muzakir Manaf, yang dipopulerkan dengan Zikir, terlepas dari kualitas prosesnya, fakta legal formal sejak setahun lalu (pelantikan 25 Juni 2012) sudah menjadi penguasa di Aceh. Bagaimana pelaksanaan amanah, kinerja dan capaian yang dapat dilihat dan dirasakan rakyat selama Aceh di bawah kekuasaan rezim ini? Sebagai salah seorang rakyat jelata yang hidup dan tinggal di Aceh, berikut ini penilaian dan evaluasi ulontuan.
Dinul Islam
Adalah dinul Islam, kata majemuk yang akhir-akhir ini kerap kita dengar dan baca di halaman media massa mengutip pernyataan resmi para top leader Aceh, baik melalui mulutnya sendiri maupan pejabat representatif, bahwasanya ia sebagai landasan membangun Aceh. Ia juga kerap terpampang di baliho-baliho besar di tempat-tempat strategis Kota Banda Aceh.
Hanya saja sepengetahuan ulontuan, para top leader itu belum mendeskripsikan pengertian dan terminologi dinul Islam itu, sekaligus mengaitkannya dengan materi dan teknis operasional (implementasi) dalam berbagai aspek pembangunan Aceh.
Berdasarkan beberapa referensi, melalui tulisan ini dapat ulontuan uraikan, bahwa pertama, “dinul Islam” dalam arti sederhana adalah agama yang ajarannya sangat sempurna karena datang langsung dari Allah SWT.
Dinul Islam dibawa dan diajarkan oleh para Nabi dan Rasul, sejak Nabi Adam AS, sehingga Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi/Rasul terakhir. Bersumber dari kitab-kitab Allah dan sunnah para Nabi yang bersangkutan berdasarkan fondasi doktrin tauhid (monotheisme).
“Kami telah mengutus seorang Rasul kepada setiap umat dengan perintah: “Taatlah kepada Allah dan jauhilah segala kesyirikan.” Diantara mereka ada yang Allah diberi hidayah dan ada yang tetap sesat…”(QS, An-Nahl, ayat 36).
Kedua, “dinul Islam” yang merupakan kalimat majemuk “din dan Islam”. Din, berarti agama, jalan/sistem hidup atau undang-undang. Islam, berarti tunduk, patuh, menyerah, selamat dan damai.
Adalah arti “Islam” menurut istilah (terminologi), ialah apapun yang dilakukan baik hablum minallah maupun hablum minannas dalam segala ruang dan waktu senantiasa tunduk, patuh, dan menyerah kepada Allah, lahir maupun batin dengan melaksanakan segala perintah dan menjauhkan segala larangan-Nya yang akan membawa keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat.
Dengan pengertian dan terminologi seperti ini, dalam konteks Aceh yang menjadikan dinul Islam sebagai landasan pembangunan, maka harus difaktualkan, bahwa sistem/platform pembangunan Aceh dalam berbagai aspeknya berdasarkan ketentuan, sekaligus wujud nyata ketundukan, kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah SWT, serta harus membawa keselamatan dan kedamaian bagi umat manusia dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Menurut ulontuan, inilah apa yang dikatakan “Islam Rahmatan Lil’alamin”, dan inilah pula yang sejatinya menjadi karakter dan dasar perilaku rezim Zikir.
Kepemimpinan Berdasar Dinul Islam
“Wahai manusia, Allah adalah Tuhan yang yang menjadikan kalian sebagai pemimpin-peminpin (pengelola) di bumi. Allah menjadikan nasib kalian berbeda-beda, sehingga sebagian kalian melebihi sebagian lainnya. Dan itu semua untuk menguji kalian”(QS, Al-An’am, ayat 165).
Pernyataan Allah ini sangat jelas berkaitan dengan salah satu fungsi manusia, yakni sebagai pemimpin (pengelola) di bumi, dengan status dan tingkatan yang berbeda. Dan dengan fungsi ini Allah juga menguji manusia itu.
Ini adalah konsep dinul Islam berkaitan dengan kepemimpinan. Bahwa ia bukanlah kebanggaan dan dijadikan ajang memburu dan meningkatkan status sosial.
Dengan ideologi dan pemahaman seperti ini, dalam upaya menggapainya dilakukan melalui cara-cara yang benar, beradab dan demokratis. Selanjutnya dijadikan instrumen (wasilah) pengabdian dan pelaksanaan tugas, amanah dan tanggungjawab sesuai dengan status dan tingkatan (maqam) jabatan itu.
Last but not least, Rasulullah Muhammad SAW pembawa dinul Islam telah memberi contoh dari kepemimpinannya, yakni terpercaya dan bertanggungjawah (amanah), benar ucapan dan tindakan (memiliki integritas) dan jujur (shidq), aspiratif, komunikatif, ramah dan transparan (tabligh), serta cerdas, berilmu dan profesional (fathanah).
Sebaliknya, apabila jabatan itu merupakan kebanggaan, lazimnya niscya tercapai menempuh berbagai cara, tidak peduli dengan rambu-rambu, peraturan dan undang-undang, dengan pongah mempertontonkan perilaku dhalim fasistik, bahkan doktrin dinul Islampun diterjangnya.
Setali tiga uang dengannya (sabe puk, sapeue peh), apabila juga dengan sadar ikut mengambil manfaat dari perilaku dlalim fasistik itu. Setelah tercapai serta merta pakai kaca mata kuda, yakni satu arah pandangan dan tujuan, tahta, harta dan wanita, koruptif, kolutif dan nepotistik. Na’uudzubillaahi min dzaalik.
Kinerja Rezim Zikir
Diantara kebutuhan dan hak dasar manusia, demikian pula manusia/rakyat yang hidup dan tinggal dalam teritori Aceh, ialah niscaya dalam hidup dan kehidupannya tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan dan aman dari ketakutan. Hal ini secara jelas terdapat dalam dinul Islam (QS, Quraisy, ayat 3-4). Dan menurut ulontuan, ini merupakan wujud kemerdekaan hakiki bagi manusia.
Pada tataran praksis ketentuan dan doktrin al-quran ini sultan (penguasa) lah yang harus mewujudkannya, dan ia merupakan wewenang/otoritas yang diberi oleh Allah, sebagaimana dikatakan Khalifah Usman bin Affan:”Sesungguhnya Allah telah memberi kepada sultan apa yang tidak diberi kepada al-qurqan (innallaaha yaza-‘u bis-sulthaani maa laa yaza-‘u bilqur-aan)”. Quran merupakan konsep/doktrin tertulis, dan sultan diberi wewenang/otoritas untuk mengimplementasikannya.
Yang namanya sultan (penguasa, pemimpin) adalah sultan untuk dan mengayomi, memberi perhatian serta melindungi seluruh manusia (baca:rakyat) yang hidup dan tinggal dalam teritori kepemimpinannya, apapun entis, suku dan agamanya. Demikian pula heterogenitas aspirasi dan afiliasi politik pada infrastruktur politik yang sah dan legal, niscaya dapat menikmati kebutuhan dan hak dasar kamanusiaannya tersebut, yakni tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan, dan aman dari ketakutan. Tidak boleh diskrimatif, pilih kasih, saboh bak talak, saboh bak tapak (satu dijunjung dan disajung, satu dihina dan diinjak).
Pertama, tenang beribadah. Terhadap hal ini, ulontuan tidak berwenang mendeskripsikan terminologi ibadah agama selain Islam, kecuali menurut dinul Islam, yakni ibadah itu tidak hanya berkaitan dengan beberapa jenis ritual personal, tetapi ia adalah nama yang merupakan cakupan semua yang dicintai dan diridhai Allah dari ucapan/perkataan dan/atau tindakan/perbuatan, batin dan lahir. Shalat, zakat, puasa, haji, berperilaku baik/benar, melaksanakan amanah, menyambung silaturahmi, persaudaraan, menunai dan menepati janji, amar ma’ruf nahi munkar, menentang kemunafikan, kedlaliman/perilaku fasistik, berbuat baik kepada tetangga dan semua manusia (al-aadamiyyiin), binatang (al-bahaa-im), berdoa, berzikir dan membaca al-quran adalah juga ibadah (Dr Yusuf Qaradhawy, Al-‘Ibaadatu fil-Islam, 1988, halaman 50).
Sikap dan tugas pemimpin harus mengayomi dan melindungi setiap rakyatnya ketika berusaha mencari kacintaan dan keridhaan Allah melalui ibadah-ibadah tersebut, diantaranya sendiri-sediri dan berjamaah melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan/atau menentang kemunafikan, kedhaliman/ perilaku fasistik misalnya. Dalam waktu yang bersamaan sesuai dengan hukum yang berlaku, pemimpin harus bertindak tegas, transparan dan tanpa pandang bulu terhadap siapapun serta anasir manapun yang mengganggu, menentang, dan mendzaliminya.
Mengapa dalam tulisan ini secara spesifik ulontuan eksplisitkan ibadah amar ma’ruf nahi dan al-jihad lilmunafiqin wadl-dlalimin sebagai contoh, karena melaksanakannya saat ini mengandung banyak resiko, termasuk di Aceh. Karenanya Dr Yusuf Qaradhawy berdasarkan nash-nash qat’i mengklasifikasinya sebagai “dua ibadah yang utama dan sangat penting diantara ibadah-ibadah dalam Islam (‘ibaadatain min ahammi al-‘ibaadaat al-Islaamiyyah)”.
Pernah terjadi, muballigh sedang berdakwah di atas podium diserbu secara brutal oleh gerombolan dlalim/fasis. Karena muballigh tetap bertahah di atas mimbar dan tidak mau turun, gerombolan itu semakin buas, hingga podium rusak berantakan dan akhirnya dakwah bubar. Agaknya kitapun belum lupa akan pristiwa yang menimpa seorang khatib masjid yang sedang berkhutbah ditarik secara paksa dari atas mimbar dan didepan jamaah dianiaya secara sadis hingga berdarah-darah. Kendati kejadian ini menggemparkan, memalukan dan memuakkan serta beritanya mendunia, khususnya di negara-negara muslim, namun meskipun pelakunya sudah diketahui identitas dan asal usulnya, sampai hari ini tidak jelas proses penegakan hukumnya terhadap gerombolan dlalim/fasis itu.
Kita mehgharapkan, kiranya dalam era kepemimpinan rezim Zikir tidak akan muncul lagi gerombolan yang menghalangi dan mendlalimi rakyat untuk melaksanakan ibadah sesuai dinul Islam.
Kedua, sejahtera dalam kehidupan. Isu dan janji mensejahterakan rakyat merupakan materi yang tidak pernah ketinggalan disuarakan di panggung kampanye dan ditulis dalam baliho, spanduk dan rupa-rupa alat peraga kandidat, baik untuk jabatan eksekutif maupun legislatif. Tetapi giliran pelaksaan sudah kelabakan dan apoh-apah. Tidak terkecuali rezim Zikir di Aceh. Dalam masyarakat kerap terdengar suara keluhan akan beratnya menempuh hari-hari dalam kehidupan. Sementari janji memberikan Rp 1 juta/kk/bulan yang pernah diumbar ketika memburu kekuasaan dalam kampanye pilkada lalu masih belum diwujudkan. Agaknya dampak dari kehidupan yang begitu berat itu muncul tindakan nekat sementara hamba Allah yang imannya leman (si iman la’eih) seperti kasus pencurian hewan dengan cara meracuni, menyembelihnya untuk dijual. Ini sesuatu yang tidak terbayangkan terjadi di Aceh dan mungkin belum pernah terjadi di tempat lain.
Kerap dinyatakan pengamat ekonomi ihwal morat-marit, apoh-apahnya kehidupan rakyat, karena di Aceh minus bahkan sepi industri atau perusahaan dari investor domistik maupun asing, kecuali roda perkonomian berjalan dapat dikatakan melulu dari uang APBA yang pengesahannya tersendat-sendat dan sangat terlambat, dan seperti dinyatakan seorang Pakar Ekonomi Unsyiah, “APBA terlambat, daya beli masyarakat turun, pengangguran kian mengancam”. Keterlambatan itu akibat pencantuman angka yang tidak rasional serta pos-pos yang ditulis mengikuti selera/hawa nafsu pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, ada bagi-bagi jatah dan rupiah, sehingga bolak balik ke Depdagri untuk derivisi. Mungkin dari tingkah-polah ini muncul berita di media massa;”Borok APBA Terungkap. Temuan Sementara Ada Rp 1,4 Triliun Dana Hibah dan Bansos Langgar Aturan”(Serambi, 6/5/2013). Disusul berita,”Banyak SKPA tak Jujur. Terungkap dari Pernyataan Kepala Bappeda Aceh. Potensi Korupsi Dana Hibah Sangat Besar”(Serambi, 11/5/2013). Yang jadi pertanyaan dari berita ini, mengapa hanya SKPA yang dituding sebab musabab ada borok dalam APBA dan banyak yang tidak jujur. Bukankah di atas mereka ada top leader, apakah ia kembali sedang dimasukkan dalam “karung goni” yang menyebabkan dia semaput (angap-angeup) sehingga tidak bisa melihat, meneliti dan mengoreksinya. Demikian pula DPRA, kendati tidak sedikit yang berpendidikan minimalis, namun kan masih ada yang memiliki titel macam-macam, memimpin partai politik dengan asas muluk-muluk, jargon mentereng, tetapi ternyata sama dengan, setali tiga uang, sabe puk, dan sapeue peh juga, yakni ikut memelihara borok dalam APBA dan tidak jujur.
Berdasarkah fakta ini, ulontuan harus katakan, apabila mereka benar, kosekuen dan konsisten dengan dinul Islam sebagai dasar pembangunan Aceh, maka mereka tidak akan membuat dan memelihara borok dan sentiasa berperilaku jujur, karena tingkah-polah itu jelas-jelas bertentangan dengan dinul Islam itu sendiri.
Ketiga, aman dari ketakutan. Hal ini masih jauh dari harapan rakyat kebanyakan, kendati tidak semua berani “berteriak”. Kecuali beberapa gelintir tertentu yang menikmati hidup yang aman, reului, makmur dan sejahtera. Diakui atau tidak fenomena belum aman dari ketakutan masih menghantui rakyat Aceh.
Adalah media massa cetak dan online di Aceh, kerap menulis berita yang dapat dijadikan bukti rakyat Aceh belum aman dari ketakutan, bahkan ada yang nyawanya dihilangkan. Seperti fakta-fakta kualitatif sebagai berikut:
“Caleg PNA Diancam Tembak. Dipaksa Mundur Dari PNA. Peneror Incar Wanita Caleg. Kader PNA Tewas Didor. Diduga Takut Dua Wanita Caleg Mundur. Menjelang Pemilu 2014 Zuhra Diteror Cek Gu Ditembak. Cekgu Dihabisi Preman Politik. Redaksi “Modus Aceh” Jalan T Nyak Makam, Banda Aceh Diteror Orang Tak Dikenal. Mobil Caleg PNA Dibakar OTK”.
Akan halnya fakta tidak aman dari ketakutan berkaitan dengan motif ekonomi; “Panitia Tender diculik, terjadi di Tapaktuan, pelakunya dibekuk di Aceh Jaya. Tak Dapat Proyek Kantor Dirusak. Pencari Proyek Keroyok Pejabat. Saat Kekerasan Makin Merasuki Dunia Tender. Polda Akan Tumpas Mafia Proyek. Pekerja Asing Diculik. Dunia Cermati Kasus Penculikan WN Asing. Truk Kelontong Ditembak OTK”.
Adalah ungkapan dan sikap siapapun yang mengaku civilian, humanis dan memiliki hati nurani, bahwa; “seorang saja yang merasa hidup tidak aman dari ketakutan, apalagi dihilangkan nyawanya, adalah korban kedlaliman yang harus dilindungi dan dibela, dan jangan dibiarkan hanya menjadi angka statistik”. Demikian pula terhadap korban perilaku dlalim/fasistik di Aceh.
Penilaian dan Dambaan Rakyat
Dari yang ulontuan tulis di atas, betapa hak dan kebutuhan dasar rakyat di Aceh untuk tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan dan aman dari ketakutan yang juga merupakan doktrin dinul Islam, belum terwujud, bahkah terus dalam ancaman. Karenanya, harapan dan dambaan ulontuan sebagai salah seorang rakyat Aceh, kiranya rezim Zikir menununjukkan kualitas dan kapasitasnya sebagai pemimpin berdasarkan dinul Islam, yakni amanah, shidq, tabligh dan fathanah. Pemimpin yang pro seluruh rakyat yang tinggal dan hidup di seluruh zona-zona di Aceh, apapun suku dan agamanya, demikian pula heterogenitas aspirasi dan afiliasi politik mereka.
Di akhir tulisan ini, izinkan ulontuan mengingatkan kembali, pertama, isi alinea kedua Mukadimah MoU Helsinki; “Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui satu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia”.
Kedua, hadis-hadis Rasulillah Muhammad SAW; “Pemimpin satu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka (HR Abu Na’im). Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu, maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu, maka akan ditolong mengatasinya (HR Bukhari dan Muslim). Barangsiapa diserahi kakuasaan berkaitan dengan urusan publik, lalu menghindar melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan peduli kepadanya pada hari kiamat (HR Ahmad)”. Nashrum minallaahi wafathun qariib
Wassalam.
* Mantan Anggota DPR RI, Anggota Majis Syura Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Aceh, Ketua Majelis Dakwah Komite Penguatan Aqidah dan Peningkatan Amal Islam (KPA-PAI) Pemko Banda Aceh