Elegi Untuk Inen Hasanah

Oleh Salman Yoga S

MATAHARI mulai meninggi, jarum jam menunjuk angka sembilan pagi tetapi perempuan tua itu belum juga muncul. Pesannya kemarin ia akan datang lebih awal. Sementara mobil jemputan yang menuju ke kota Banda Aceh itu sudah menunggu di depan rumah. Al-Faruq mondar-mandir antara teras dan ruang tamu, gelisah. Kekhawatirannya semakin memuncak ketika suara klekson itu seperti menyumbat telinganya, apakah terus menunggu atau langsung berangkat saja.

Kegelesihannya semakin memuncak, terlebih sopir L300 itu juga terlihat kian tidak sabar, demikianpun dengan sejumlah penumpang lainnya yang gerah dibarisan jok karet. Klekson mobil yang mirip serine berbuka puasa itu sengaja ditekan-tekan sebagai tanda ketidaksabaran. Entah sudah berapa kali sopir itu bertindak serupa membuat kepanikan Faruq semakin menjadi. Setelah menunggu lama, risih dan tak enak rasa akhirnya Faruq putuskan untuk berangkat.

Mobil jemputan bergerak perlahan melewati tikungan kampung yang dilintangi polisi tidur. Tetapi baru sepuluh meteran berjalan, sopir yang berpenampilan rapi itu mendadak menekan pedal remnya. Sembilan penumpang yang semula duduk tegak tiba-tiba membungkuk ke depan. Di balik kaca spion kanan terlihat seorang ibu setengah berlari mendekat dengan tergopoh-gopoh. Nafasnya berat, tertahan-tahan. Seperti segumpalan lendir akibat batuk telah menyumbat di tenggorokannya.

“Nak Auq ini bungkusan yang ibu janjikan kemarin” jelasnya dengan nafas terengah-engah dari balik jendela mobil.

Menyaksikan kesungguhan perempuan tua itu menjulurkan bungkusan dengan susah payah, Faruq jadi tidak tega membiarkannya, hatinya luluh. Dengan sekali tarik pintu mobil itu terbuka, Faruq turun dan medekati sambil menengadahkan tangan menerima sodoran bungkusan dari ibu itu.

“Tolong sampaikan kepada anakku. Tolong juga kau jaga kotak ini ya nak, jangan sampai tertindih benda berat atau terkena air. Isinya memang tidak terlalu berharga, hanya tiga ikat pucuk daun jipang, sepuluh buah jeruk manis dan lima buah alpukat, lima kilo beras kampung, sebungkus bubuk kopi, tiga lembar foto keluarga serta beberapa helai pakaian,” pesannya dengan penuh harap. Suaranya mengandung tangisan, serak dan berat.

Sambil mengangukkan kepala Faruq menerima kotak bungkusan mie instan itu dengan sahaja. Mata Inen Hasanah tampak berkaca-kaca menahan air matanya yang sudah menggelantung. Keriput alis dan dahinya menyiratkan usia yang tak lagi muda. Tatapannya mengandung harapan yang dalam dan doa yang tulus, seakan anaknya Sari tergambar jelas dalam bola mata Faruq yang ia pandangi tak berkedip.

Untuk kesekian kalinya lelaki muda itu mengangguk, menyanggupi permohononan untuk menyampaikan langsung kiriman itu kepada putri keempatnya. Mendengar ucapan kesediaan itu, perempuan berkerudung kusam itu langsung mendekap dan memeluk Faruq sambil berucap terimakasih. Mungkin dalam bayangan matanya sang putri kebanggaannya tersenyum di depan pintu. Atau seolah kirimannya telah diterima sang anak dengan sekali anggukan.

Entah kapan tertumpahnya, bahu Faruq basah oleh air mata Inen Hasanah. Desah beratnya yang tersisa dari engahan saat berlari tadi tertiup berat di daun telinga, hembusan nafasnya yang beraroma sirih, terasa mengendus di rambut Faruq. Oh jiwa yang penuh kecintaan. Bathin Faruq berempati.

Setelah mencium tangannya yang lemah dan berkerut, Faruq naik kembali ke mobil angkutan. Lambaian tangan yang memiliki setengah hektar kebun kopi itu terlihat lemah dibalik kaca spion sebelah kiri. Bekas dan sisa perjuangan hidup yang berat seperti tertulis jelas di telapak tangannya, layu dan penuh urat-urat membiru. Ia terus memandangi mobil bergerak dengan do’a-do’a keselamatan sampai menghilang di tikungan ujung jalan.

“Ah….hati seorang ibu!” desah Faruq sambil mengusap beberapa butiran bening, yang baru disadarinya setelah beberapa saat mobil melintasi batas kampung.

“Kenapa kawan?” tanya sopir ramah.

“Tidak apa-apa bang, aku hanya haru menerima amanah ibu tua tadi !”.

“Oo jadi karena itu kita sampai menunggu?” tanyanya seakan mengandung penyesalan. “Betul…!” jawab Faruq seadanya.

Setidaknya dengan pertanyaan itu Faruq menjadi sedikit lega, ia punya alasan kuat mengapa berlama-lama menjelang keberangkatan. Rasa bersalahnya kepada sopir dan sejumlah penumpang lainnya seakan telah lunas oleh kehadiran seorang ibu tua tadi. Amanah dan kiriman seorang ibu yang demikian bersahaja dan penuh cinta untuk anaknya dirantau.

Mobil angkutan L300 itu melaju mengejar ujung jalan, berkelebat meninggalkan kota dingin Takengon. Sopir yang bernama Ucak itu terlihat lincah dan hafal betul karakter jalan yang dilalui. Berliku, banyak tikungan tajam menanjak dan menurun. Semua terlalui dengan mulus, meskipun dibeberapa tempat masih terdapat jalan berlubang dan disejumlah bahu jalan longsor terbawa air. Setir dikendalikannya dengan santai dan penuh kepekaan.

Jalan Takengon menuju Kabupaten Bireuen memang berliku-liku dan banyak tikungannya, tebing dan jurang yang dalam di kanan kiri seperti mulut buaya yang selalu menganga, menunggu siapa saja yang tidak awas. Konon dengan kondisi jalan seperti inilah Takengon dikenal sebagai salah satu kota tujuan wisata di Aceh. Karena selain berada di ketinggian antara 2500 sampai 3000 meter di atas permukaan laut, kota ini juga mempunyai danau indah dengan suhu udara yang dingin dan sejuk.

Kini kota penghasil kopi terbesar di pulau Sumatera itu sudah jauh di belakang. Mobil angkutan L300 melaju mendahuli beberapa truk yang membawa hasil pertanian penduduk. Meskipun duduk di depan dengan kaca pemandangan terbuka, Faruq sama sekali tidak menikmati perjalanannya. Pikirannya justru kembali ke belakang, mengingat cerita Ibi Siti tentang kehidupan Inen Hasanah yang memperihatinkan.

Dengan setengah hektar kebun kopi dan dua petak sawah warisan orang tuanya, ia berusaha keras menghidupi keluarganya, termasuk membelanjai kuliah anaknya Sari di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Kota Raja, Banda Aceh. Suaminya telah lama meninggal dunia, seisi kepalanya berhamburan ke tanah terkena tembakan, karena terlibat membantu dan melindungi sejumlah anggota GAM yang terserang malaria saat konflik berlangsung. Sejak itu Inen Hasanah seperti kehilangan sebelah kaki, mata, cinta dan mataharinya. Tetapi semua ia telan sebagai pil kina yang pahit, tanpa pernah mengadu atau meminta-minta bantuan kepada pemerintah.

Anaknya yang tertua memang telah menikah. Tetapi untuk membantu meringankan sedikit beban belumlah dapat diharapkan, demikian juga dengan kedua anak lainnya. Pun demikian, Inen Hasanah tidak pernah menangisi nasib dan jalan hidupnya yang pincang. Setiap pesan yang datang dari anaknya, ia penuhi sebisanya, seadanya. Pesan Sari anaknya dalam surat terakhirnya adalah seisi kotak yang dibawa Faruq.

Dengan pekerjaan sebagai pedagang sayuran di salah satu kaki lima di pasar ikan kota Takengon, ditambah sedikit penghasilan dari seratus pohon kopi yang ia rawat sendiri, Inen Hasanah mengirim belanja memenuhi kebutuhan anaknya. Tekatnya, anaknya kelak dapat hidup lebih baik dari hidupnya hari ini. Kalaupun tidak bekerja di kantoran, setidaknya anaknya sudah mempunyai bekal. Karena itu pulalah ibu Inen Hasanah tidak berkeberatan ketika setamat SMU putrinya Sari meminta untuk kuliah di ibu kota provinsi. Kini tiga setengah tahun telah berlalu, Sari mungkin sudah hampir merampungkan studinya.

Kota-kota kecil sepanjang perjalanan terlewati, Faruq tidak turun makan atau sekedar minum kopi di Bireun, Bate Ilik, Grong-Grong atau Saree. Semua terlewati begitu saja. Perjalan yang memakan waktu delapan jam itu dilalui dengan merenung dan tidur. Padahal, setiap kali pulang ke Takengon atau kembali lagi ke Banda Aceh, setiap meter jalan dengan pemandangan alam tidak pernah ia lewatkan. Banyak pelajaran yang didapat, menyaksikan orang-orang dengan setia menjaga kios dan warungnya hingga pagi. Atau ada juga anak-anak naik turun bus untuk menjajakan keripik atau pisang sale. Mereka tidak mengenal rasa letih, waktu ia lewati demi kepingan rupiah.

Masuki kota Banda Aceh mobil angkutan L300 itu mendadak berhenti.

“Ada apa bang?” tanya Faruq heran.

“Kita sudah sampai” jawabnya pelan sambil menunjuk salah satu lorong.

“Itu rumah kost Sari?“ tanya Faruq.

“Ya” lanjut sopir itu sambari mengambil kotak kecil dari bagasi belakang. Dengan harapan sang penerimanya ada di tempat, Faruq-pun turun dan mengetuk pintu. Satu dua dan tiga kali ketukan, pintu yang terbuat dari triplek itu belum ada yang membuka.

Dengan ucapan salam pada ketukan keempat, seorang lelaki muda muncul dari balik pintu. Penasaran Faruq memuncak, bagaimana bisa dalam asrama putri ada lelaki?.

“Siapa bang…? Suara ibu muda terdengar dari dalam.

“Ini, ada yang mencarimu” jawab lelaki itu.

Tak lama kemudian, seorang perempuan muda berjilbab muncul dengan seorang bayi dalam gendongannya.

“Bang Al-Faruq?” tanya dan keheranan Sari melihat lelaki sekampungnya telah berdiri di depannya. Dengan melas hati, Faruq menyodorkan kotak kiriman Inen Hasanah. Setelah dengan santun menolak tawarannya untuk mampir sekedar minum air putih.

Sambil berjalan beriringan, Saripun menceritakan perjalanan hidupnya. “Aku sudah tidak kuliah lagi bang, dan lelaki tadi adalah suamiku. Dan ini adalah anak kami yang pertama” kisahnya dengan penuh rasa bersalah sambil membentulkan gendongan.

“Dulu, sewaktu konflik dan jatuhnya harga kopi, ibu tidak pernah mengirim belanja. Aku memakluminya, karena kutahu kehidupan di sana juga sangat sulit akibat pancaklik panjang. Semua terhambat”. Cerita Sari sambil berjalan menuju mobil L300 yang menunggu di ujung lorong.

Dengan sisa keperihatinan, Faruq menganggukkan kepala mendengar pengakuan Sari dengan diam, meski batinnya menolak keras. Terlebih suaminya belum mempunyai pekerjaan tetap, suka berjudi dan minum-minuman keras. Konon mereka dinikahkan oleh wali hakim setelah polisi Syari’at menggerebeknya di sebuah kamar kontrakan. Setidaknya demikian cerita dari beberapa teman lama.

Al-Faruq, lelaki yang dititipi amanah itu tak bisa bayangkan bagaimana perasaan ibu Inen Hasanah jika mengetahui anaknya sudah lama meninggalkan bangku kuliah. Betapa hancur perasaannya, betapa luluh lantak harapannya, betapa padam cahayanya. Terlebih anak yang sangat diharapkannya menjadi seorang sarjana itu, kini telah menikah tanpa sepengetahuannya.

Ah… ibu Inen Hasanah, alangkah ironinya kenyataan ini. Sambil menegakkan kepala Faruq tatap jalanan kota Banda Aceh yang kemilau dengan lampu-lampu jalan berderet. Yang terpenting baginya adalah amanah ibu Inen Hasanah telah ditunaikannya dengan baik, dan bungkusan kotak mie instant telah mendarat di tangan Sari. Selebihnya, hanya Tuhan yang tau.[]

(Takengon-Banda Aceh, Juli 2010)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments