Bendera Aceh, Marginalisasi dan Provinsi ALA

Oleh : Muhamad Hamka*)

Rencana Pemerintah Aceh untuk launching pengibaran Bendera Aceh pada tanggal 15 Agustus mendatang kian menegaskan sikap dan posisi Aceh di mata Indonesia. Sebuah sikap tak bersahabat, kalau tidak boleh dikatakan sebagai sebuah bentuk pembangkangan. Mengingat Pemerintah Indonesia sudah meminta Pemerintah Provinsi Aceh agar bendera tersebut tidak boleh dikibarkan sebelum direvisi, karena mirip dengan bendera separatis GAM di era konflik dulu.

Di Gayo sendiri, Bendera Bulan Bintang yang dikibarkan oleh orang tak dikenal (OTK) dibakar oleh massa dan digantikan dengan pengibaran Bendera Merah Putih pada tanggal 27 Juli 2013. Sikap keras masyarakat Gayo ini bukan tanpa alasan. Karena bagi Gayo, bendera Aceh tidak saja sebagai bentuk show of power kepada Jakarta, tapi lebih dari itu bendera Aceh merupakan simbol arogansi dan dominasi Aceh (pesisir) terhadap kelompok-kelompok etnis minoritas di Aceh. “Di Tanah Gayo ini tidak boleh Bendera Bulan Bintang berkibar. Karena bendera ini adalah bendera separatis GAM,” pekik massa sambil terus berupaya membakar Bendera Bulan Bintang hingga habis (Pelitaonline, 28/7).

Sampai pada titik ini, pertarungan simbolik boleh jadi dimenangkan oleh orang Gayo. Tapi apakah perlawanan simbolik ini sudah membawa Gayo pada titik “kemenangan sejati”, yakni menjadi merdeka dan bermartabat dari segala bentuk kesewenangan Aceh (pesisir). Proses marginalisasi dan pembonsain Gayo dalam segala bidang; pembangunan ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan politik, jelas merupakan persoalan substantif yang wajib diperjuangkan.

Spektrum yang sama

Oleh karena itu, dibutuhkan spektrum yang sama dari seluruh masyarakat Gayo. Apakah proses marginalisasi dan pembonsaian oleh Aceh (pesisir) kepada Gayo merupakan persoalan kepentingan ataukah lebih jauh dari itu, yakni persoalan nilai. Kalau persoalannya menyangkut dengan kepentingan, maka membangun ruang konsensus (berdamai dengan kondisi yang ada) merupakan jalan keluarnya. Itu artinya, Gayo tetap menjadi bagaian dari provinsi Aceh.

Konsekwensinya, apabila konsensus yang terbangun tidak menguntungkan bagi pihak Gayo, maka mesti menerimanya dengan sikap lapang dada. Singkatnya, Gayo harus berdamai dengan segala bentuk ketidakadilan yang diterimanya. Tapi kalau semua masyarakat Gayo sepakat, bahwa persoalannya adalah menyangkut nilai-nilai Ke-Gayo-an yang diberangus dan dimarginalkan, maka tidak ada jalan selain harus mufarakah (berpisah) dengan Provinsi Aceh.

Disharmonisasi yang terjadi antara Aceh (pesisir) dengan Gayo sudah jelas dilatari oleh persolan nilai dan falsafah hidup yang berbeda, maka tak ada jalan lain yang lebih rasional selain berpisah dan membentuk provinsi sendiri. Bagaimana mungkin kita hidup satu biduk dengan nilai dan falsafah hidup yang berbeda? Dan buktinya, Gayo sudah merasakan sendiri akibatnya. Dimana perbedaan nilai tersebut telah membuat Gayo terseok-seok mengejar ketertinggalanya dari Aceh (pesisir) yang notabene mencengkram semua lini suprastruktur kekuasaan di Aceh.

Jadi, sangat ironis sebetulnya ketika masih ada warga masyarakat Gayo yang melihat dan memahami perjuangan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) sebagai perjuangan sekelompok orang untuk kepentingan politik jangka pendek. Bagaimana mungkin anda yang jelas-jelas ditindas secara sistematik oleh praktik kekuasaan yang tak manusiawi, lalu ada pihak berusaha mengakhiri penindasan tersebut, namun anda justru mengatakannya sebagai perjuangan parsial untuk kepentingan sekelompok orang? Karena itu, mari sejenak kita merenung dengan akal sehat yang cerdas dan hati nurani yang jernih.

Ajaran luhur Islam

Proses marginalisasi Gayo dengan alasan hanya karena berbeda etnis dengan Aceh (pesisir) merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan, bahkan oleh ajaran luhur Islam itu sendiri. Salah satu misi besar Nabi Muhammad Saw dengan dakwah Islamnya yang melintasi ruang dan waktu adalah membebaskan bangsa Quraisy dari fanatisme kelompok. Islam hadir dengan konsep yang tegas dan jelas bahwa Islam itu egalitarian.

Lalu hari ini di Aceh kita menyaksikan terjadi praktik ketidakadilan dengan masif oleh etnis yang dominan kepada etnis minoritas hanya karena nilai dan falsafah hidup yang berbeda. Namun ironisnya kita justru merasa nyaman didalamnya. Ini adalah pola pikir fatalistik yang tak boleh terus dibiarkan membeku dalam mindset berpikir urang Gayo dan etnis minoritas lainnya. Selemah-lemahnya integritas sebagai orang yang dimarginalkan adalah membangun gumaman perlawanan dalam hati.

Untuk itu, mari kita lestarikan tradisi perlawanan terhadap segala bentuk kesewenangan Aceh (pesisir), sampai Gayo berdaulat dalam Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA).

Analis sosial & politik*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Kalau ingin bersatu cari lah persamaan dan kalau ingin bercerai cari lah perbedaan..
    Memang banyak perbedaan aceh tengah dan pesisir. Di aceh tengah penghasil kopi di pesisir penghasil ikan, di aceh tengah penduduk heterogen di pesisir homogen, di aceh tengah udara dingin di pesisir panas, di aceh tengah dataran tinggi di pesisir dataran rendah, memang ga adil di aceh tengah cuma ada danau di pesisir ada laut luas tak terbatas. Jadi coba banyangkan kalau aceh leuser terbentuk aceh leuser pasti ada laut luas tak terbatas juga nanti nya. Bayang kan..!!!

  2. Kami wong jowo ga perlu nama provinsi tapi seng penting kami jadi gubernur nya.
    Gubernur2 di pulau jawa, nusa tenggara, kalimantan, lampung, sumatra selatan, sumatra barat, sumatra utara iku kafeh wong jowo, nah bentar lagi gubernur aceh leuser antara adalah pramono projo hadikusumo.
    Nek polisi, tentara wes pasti wong jowo hohohoo ocho iri yo rek ntar sampean tak ke i jabatan ngebersihin jamban di rumah inyong yo rek n konco konco ku kafeh. Ocho lali dukung inyong sido gubernur

  3. orang gayo pendukung ALA atau anti ACEH nggak usah kalian mimpi di siang bolong, jangan pemikiran etnosetrik aja dikedepankan, coba liat provinsi2 baru nggak ada perubahan apapun cuma ada OKB itupun pejabatnya doank, liat irian jaya jadi 3 provinsi, liat riau ada kepri nggak juga maju yang ada cuma nambah tempat2 pelacuran aja, jadi jangan karena anti ACEH kalian ingin memisahkan diri, kalau alasannya ACEH dan GAYO beda, maka nggak akan selesai2 masalah di negara ini dengan 1000an etnis nya yang berbeda2.

  4. enti kol cerak….
    ALA segera…
    Semua akan terjawab jika ALA sudah berdiri, kita akan terbebas dari kungkungan aceh…jangan kita, sesama aceh pun tidak ada kesejahteraan dan keadilannya..jadi bayangkan..