Catatan : Bahtiar Gayo
Takengen | Lintas Gayo – SEREMPAH, sebuah kampung di ujung barat Aceh Tengah mencuat kepermukaan. Lahan yang subur itu, kini tinggal kenangan. Kampung ini hilang. Yang tersisa hanya puing-puing. Gempa Gayo, telah merubah pemukiman ini menjadi kawah berair setelah dilarikan longsor. Serempah dulu indah, kini jadi kampung mati dan “menyeramkan”.
11 nyawa warga Kecamatan Ketol ini, menjadi tumbal gempa. 5 lagi belum ditemukan, dan diperkirakan sudah tertanam dalam tanah, tanpa pusara dan batu nisan. 317 jiwa yang selamat, setelah “menginap” di tenda pengungsian, ahirnya dipindahkan ke lokasi yang baru, 4 kilometer dari kampung asal.
Tetapi warga Serempah bagaikan dikejar musibah. Belum habis trauma gempa, kini dipemukiman yang baru, mereka diburu angin puting beliung. Lokasi di hamparan puncak bukit ini, rumah darurat hunian sementara, berterbangan ditiup angin. Musibah yang berlapis. Dua kampung bertetangga di Kecamatan Ketol ini, Bah dan Serempah, kini sudah dipindahkan Pemda. Untuk Serempah memiliki nama baru Kute Alam, sementara Bah ditabalkan dengan panggilan Mahabbah.
Wartawan sering berkunjung kesana, khususnya paska gempa, melihat dari dekat dua kampung yang hilang ini dan dua pemukiman baru sebagai penggantinya. Mahabbah kini dihuni 599 jiwa warga Bah. Jaraknya hanya dua kilometer dari Bah, ke bagian selatan, berada di atas bukit, bukan di puncak bukit.
Lokasinya nyaman, indah dan tidak menjadi sasaran angin, karena masih ada bukit yang lebih tinggi. Berbeda dengan Kute Alam, lokasi baru bagi warga Serempah. Di sini lokasinya nyaman, hamparan di atas gunung. Bedanya, karena di sekelilingnya belum ada pepohonan, Kute Alam jadi sasaran angin.
“Tiga hari sebelum lebaran, kami pindahkan ke sini. Dengan rumah yang dibangun darurat. Tapi rumah darurat itu berterbangan ditiup angin. Warga takut, bahkan ada yang minta kembali ke tenda pengungsian,” sebut Arman, Reje (kepala kampung) Serempah, ketika Waspada mengunjungi pemukiman baru itu.
Ternyata, Kute Alam bukan kampung masa depan yang diharapkan warga Serempah. Setiap hari mereka dibalut ketakukan, tiupan angin yang kencang tanpa penghalang mendatangkan musibah baru paska gempa.
Tak tahan dengan keadaan ini, warga disana sepekat untuk pindah. Surat resmi dikirim ke Pemda Aceh Tengah. Selain takut dengan faktor alam, lokasi perkebunan penduduk sebagai sumber hidup juga agak jauh, 4 kilometer dari lokasi hunian baru ini.
Surat yang dilayangkan ke bupati, menjadi pertimbangan khusus pemerintah. “ Kita akan pertimbangkan, dimana layaknya mereka membuat pemukiman baru. Sebelumnya memang masyarakat yang minta dilokasi Kute Alam, namun kini mereka minta pindah, karena adanya ancaman alam yang tak bersahabat,” sebut Nasaruddin, Bupati Aceh Tengah ketika diminta tanggapannya.
Namun, belum dapat dipastikan kapan mereka akan direlokasikan kembali dan areanya juga masih dalam pertimbangan. Untuk sementara, ada warga Serempah yang bertahan di Kute Alam, dan ada juga yang sudah pindah, mencari lokasi penginapan sementara.
Cobaan yang berat bagi warga Serempah. Usai dihajar gempa, kini diburu angin. Dalam benak mereka, di mana akan tinggal, bagaimana dengan masa depan, setelah kampung ini hilang dari titik koordinat peta Aceh Tengah.
Duka yang berlapis bagi warga Serempah, adalah duka anak negeri ini. Duka semua pihak. Jangankan memikirkan tempat tinggal dan rumah, memikirkan sesuap nasi saja masih sulit. Sumber penghidupan mereka (kebun) untuk saat sekarang ini belum saatnya dipanen.
Namun semangat warga Serempah untuk mengurus kebun kopi, durian dan coklat, terlihat tinggi. Aktifitas itu terlihat, kaum lelaki tidak selama “berdiam diri” di rumah hunian darurat. Mereka bangkit mengurus kebun.
Demikian dengan anak-anak, tekadnya bersekolah juga tinggi, walau belum ada sekolah darurat. “ Benar, untuk Serempah dan Bah belum ada bangunan sekolah darurat, karena lokasi hunian mereka belum permanen. Untuk sementara belajar ditenda. Bila sudah permanen akan dibangun,” sebut Nasaruddin, kepala Dinas Pendidikan Aceh Tengah.
Hancurnya Kampung Serempah, bukan berarti hilangnya harapan. Warga di sana berupaya bangkit, walau mereka usai dihajar gempa, kemudian diburu angin. Inilah catatan sejarah Serempah.
*Tulisan ini sudah pernah dimuat pada media cetak Waspada