Oleh : Win Ruhdi Batin
Warkop, dulu masih sederhana. Kopi diseduh dengan air panas . Ditambah gula pasir dengan kopi robusta.
Kini, gayo, mengikuti tren minum kopi dunia sekelas starbuck, bahkan lebih dari itu. Warkop, kini menyediakan mesin espresso. Kopi arabica mengalir lambat, maksimal 30 detik dari mesin kopi buatan Itali , juga mesin-mesin pembuat kopi asal China yang jauh lebih murah.
Generasi muda gayo, kini mengisi kafe-kafe modren yang tumbuh cepat setelah satu dua kedai kopi dibuka sebagai pioner. Gambaran tentang warkop di gayo, tidak berbeda dengan kafe di luar sana.
Meski harga satu gelas kopi bisa dua hingga lima kali lipat kopi tradisional yang disangrai dengan kuali, namun warkop yang kini berubah menjadi kafe, tak kehilangan pecandu “air hitam”yang berkafein.
Kopi gayo berbasis arabika, bak candu, mengisi rongga mulut lelaki dan perempuan gayo. Jika dulu air kopi ditempatkan di dalam gelas kaca, kini berubah. Dimasukkan dalam gelas keramik hingga seukuran sloki bir, espresso.
Namanya juga warkop, cerita disana ada 1001 macam. Pekan terakhir tentang Pemilu Legislatif yang baru digelar. Kisahnya mengalir deras, bukan saja dari para caleg yang berhasil atau gagal.
Tapi juga dari para Tim Sukses yang disingkat TS. TS bisa berubah menjadi “Tukang Serit”. TS –ts yang calonnya berhasil tampak tersenyum lebar dan mengumbar kisah kesuksesan.
Sementara ts yang calonnya kalah terlihat lebih semrawut.Kisah tentang jumlah uang yang telah dikeluarkan demi menjaring suara, merupakan bagian sengit yang ceritanya sedikit tertutup dan bisik-bisik dituturkan.
Angka ratusan juta adalah angka yang jamak terdengar. Caranya juga sangat vulgar dan demontratif. Pemilih dan yang dipilih sama rusaknya. Jual beli. Pun begitu, masih banyak juga pemilih cerdas yang memilih perwakilan orang setempat dan berhasil.
Politik, inilah politik itu. Dimana menjadi wakil masih dianggap sebagai kehormatan, harga diri, melepaskan diri dari post power syndrome yang bermakna takut tak dihargai setelah pensiun.
Menjadi wakil rakyat. Dengan kondisi “politik sekarang berarti ., mewakili rakyat menerima uang gaji yang besar demi anak istri dan kemewahan hidup instan. Mewakili rakyat dalam kenikmatan hidup duniawi bak selebriti.
Sepanjang sejarah legislatif di Aceh, belum ada yang berani mundur dari parlemen karena bertentengan dengan hati nurani atau kalah dalam akal-akalan voting. Tidak ada. Menjadi legislatif begitu menggoda dan sudah terbukti bisa hidup mewah dan mudah.
Aceh yang luluhlantak paska konplik dan tsunami ternyata tak menghasilkan legislatif yang militan.
Yang ada adalah selebriti daerah dan provinsi. Terjebak dalam sebuah sistim parlemen yang kaku dan administratif dan terikat protokoler. Hanya itu gambaran parlemen.
Kisah di warkop, menunjukkan bagaimana politik dilakukan. Politik menjadi alat ekonomi. Politik ekonomi. Disana tak ada agama, idealis dan target-target keberpihakan pada ekonomi masyarakat. Yang ada adalah mencapai tujuan atas nafsu-nafsu yang disimpan dalam berbagai bacaan aspirasi dan persekongkolan meraup rupiah dari putaran APBK atau APBA atau bahkan APBN.
Idealnya, menjadi wakil rakyat adalah membunuh rasa dan keinginan pribadi dan “bersumpah”atas nama Tuhan, mewakafkan diri dan kemampuan intelektual mensejahterakan konstituen atau daerah yang diwakili. Untuk semua itu, rakyat membayar mahal. Memberikan amanah mewakili.
Ceriteranya menjadi lain. Saat amanah dibeli. Cash and carry, tak lebih. Jadi saat suara dijual belikan, jangan lagi berharap banyak. Sang wakil rakyat harus mengembalikan uang yang telah dipakai. Uang tersebut bisa jadi didadap dengan menjual aset atau pinjaman.
Mereka yang terpilih bisa lega karena setelah duduk di parlemen, kesempatan mengembalikan uang terbuka dari gaji, tunjangan dan lain-lain yang dibayar. Kecuali kentut. Bukan saja gaji, tapi juga ada uang aspirasi yang fee nya bisa diambil dengan cara mengurangi jatah bantuan atau proyek.
Sementara yang tidak terpilih, tentu mulai resah mengembalikan modal terpakai. Syukur-syukur tidak gila. Dimana penggunaan kemampuan otak berlebih dan tak mendapat solusi, bisa berakibat depressi atau kehilangan akal sehat. Idealnya , kemampuan otak berpikir diimbangi spiritual sehingga tidak gila dan tindakan nekat lainnya.
Permainan sudah berakhir. Yang terpilih dan tidak tergambar samar sebelum ada keputusan final. Kesalahan memilih wakil rakyat, menderita lima tahun. Kita menunggu mereka yang terpilih memperjuangkan rakyat secara militan. Bila tidak, kita akan melihat wakil rakyat menjadi selebriti lokal. Tak lebih. Mari lihat dan saksikan kisah para wakil rakyat ini selama lima tahun kedepan. Suka atau tidak suka, mereka sudah mewakili kita dengan berbagai cara.
Deprecated: str_replace(): Passing null to parameter #3 ($subject) of type array|string is deprecated in /home/wxiegknl/public_html/wp-content/plugins/newkarma-core/lib/relatedpost.php on line 627