Lelaki itu menunjuk sebuah pos jaga tak jauh dari masjid kampungnya. Wajahnya berkerut. Ia memutar kenangan ke masa sepuluh tahun silam, saat Aceh masih didera konflik. “Di pos inilah saya sering berjaga menemani warga setiap malam. Waktu konflik daerah ini jadi target operasi,” ujarnya.
Zainal Abidin, lelaki itu, adalah orang yang paling bertanggung jawab soal keamanan desanya. Setiap malam, ia ikut bergadang menemani warga. Tujuannya, jika tentara datang, ia bisa langsung menjelaskan kondisi kampungnya. “Meskipun sempat dijadikan basis pergerakan, tidak ada satupun warga kampung saya yang jadi korban,” kata Zainal.
Sejak 1999, Zainal sudah menjabat kepala Desa Sepakat, Kecamatan Celala, Aceh Tengah. “Saya sudah merasakan bagaimana hidup dalam konflik. Pahit getir sudah tahu semua,” ujarnya sambil tersenyum.
Terletak di atas gugusan perbukitan Aceh Tengah, Celala berjarak sekitar 25 kilometer dari Takengon, ibukota Aceh Tengah. Untuk sampai ke sini, harus menempuh perjalanan sekitar satu jam. Jalannya berkelok dan menanjak. Di beberapa tempat, lubang besar menganga akibat aspal digerus air yang jatuh dari bukit di sisi kanan jalan. Di sebelah kiri, jurang menganga lebar. Jika hujan turun, kabut datang menyelimuti perbukitan. Udara dingin menusuk tulang.
Dari sini, samar-samar terlihat Danau Laut Tawar membentang melintasi dua dari enam kecamatan di Aceh Tengah. Pohon-pohon pinus tumbuh subur seperti pagar mengelilingi tepian danau.
Kondisi medan yang menantang membuat Celala jarang dikunjungi pendatang. Itu sebabnya, ketika konflik dulu, daerah itu merupakan salah satu basis gerakan. “Ada sebagian warga asli Gayo di sini yang bergabung dalam gerakan,” ujar Zainal, orang Gayo asli yang akrab disapa Pak Geusyik oleh warga kampungnya.
Itu cerita dulu. Kini, setelah konflik usai, Desa Sepakat perlahan mulai terbuka. Sentimen Aceh-Gayo yang sempat muncul, kini memudar. Seperti umumnya kawasan lain di Aceh Tengah, Celala didiami beragam suku: dari orang Aceh pesisir, suku asli Gayo hingga keturunan Jawa yang ikut program transmigrasi.
Sejarah Aceh memang tak lepas dari Gayo. Salah satu yang paling dikenal adalah kekeberen (sejarah Gayo yang dikisahkan turun temurun) yang dikisahkan oleh Teungku Ilyas Leube, keturunan Reje (Raja) Linge yang naik gunung bersama Teungku Daud Beureueh ketika meletus pemberontakan DI/TII di Aceh.
Menurut Ilyas, dari Kerajaan Linge, Islam menyebar ke seluruh Aceh. Disebutkan juga, raja-raja yang memerintah di Aceh merupakan keturunan Raja Linge. Meurah Silu, keturunan Raja Linge, diyakini sebagai raja pertama Kerajaan Samudra Pasee di Geudong, Aceh Utara.
Menurut Ilyas Leube, kisah ini adalah cerita kekeberen yang diperoleh dari kakeknya serta hasil penyelidikan Tengku M.Yunus Jamil, seorang ahli sejarah Gayo dan Aceh, yang tinggal di Ulee Lheu.
Versi lain kekeberen mengisahkan, ketika Sultan Aceh Ali Mugayat Syah menyerang Portugis di Johor, Reje Linge XII dipercaya memimpin peperangan. Dengan berbagai upaya ia berhasil mengalahkan Portugis. Sebagai rasa terimakasih, ia dikawinkan dengan anak Raja Johor dan mempunyai anak bernama Bener Meriah dan Sengeda. Bener Meriah, kini menjadi nama kabupaten pemekaran di dataran tinggi itu.
Boleh jadi, karena kaitan sejarah itu pula, ketika pemberontakan DI/TII meletus, sejumlah seniman Gayo terpanggil menyuarakan damai dalam syair-syairnya. Salah satunya adalah Ceh Daman Dewantara. Dia dikenal cukup dekat dengan Teungku Ilyas Leube, tangan kanan Abu Beureueh yang sangat setia.
Seperti ditulis majalah TEMPO dalam artikel ‘Mengapa Daud Beureueh Memberontak’, Daman menciptakan lagu berjudul Aman. Ketika itu, lagunya dinyanyikan banyak orang di tanah Gayo. Simaklah liriknya: “Dengan jari sepuluh, saya sampaikan permintaan rakyat/ Kepada Tuan yang sedang bertikai/ Sirih dan tikar telah kami gelar/ Agar Tuan berdua duduk bersama”. Begitu arti lirik yang aslinya dalam bahasa Gayo itu.
Rupanya, lagu itu sangat mengena di hati sebagian besar rakyat di pedesaan. “Air mata sampai tumpah saat menyanyikan lagu itu,” ujar Daman ketika diwawancarai wartawan TEMPO
Geusyik Zainal di pedalaman Celala memang tak pernah mendengar lagu itu. Namun, bagi Zainal, Aceh dan Gayo bagai dua sisi mata uang.”Aceh dan Gayo adalah saudara kandung yang tak terpisahkan,” ujarnya. [] (foto : int)
(seperti dimuat Tabloid BERANDA edisi MEI 2011)