by

S I S A T

*Oleh: Muhammad Syukri[1]

Pagi itu, aku yang paling cepat tiba di warung kopi Bang Hin. Belum ada seorangpun disana. Bang Hin –namanya Salihin– dan seorang pelayannya asik mengatur cangkir. Meja bundar yang terletak dekat ”daphu kupi” masih kosong. Diatasnya hanya sebuah kaleng susu yang berfungsi sebagai asbak. Langganan Bang Hin menyebutnya sebagai singgasana Polem Suh. Sering juga disebut sebagai podiumnya Polem Suh. Begitu ”sakralnya” hanya beberapa orang tertentu yang berani duduk disitu.

Dari meja itu, berbagai masalah dikaji. Satu headline berita koran bisa dibahas dari puluhan sudut pandang. Polem Suh, pensiunan guru SD Gampong Meunasah Kayee Papeun, adalah komentator politik yang paling ditunggu para pelanggan Warkop Bang Hin. Meski beberapa pelanggan yang belum memahami analisis Polem Suh menggelarnya sebagai ”Polem Cang Panah.” Dia hanya tersenyum saat gelar itu tiba ditelinganya.

Bagiku, analisis Polem Suh tentang masalah politik dan peristiwa terkini sangat menarik. Bahkan, bagiku analisisnya logis dan jitu. Padahal, Polem Suh hanya tamatan SPG. Kadang-kadang aku berpikir, cara mengulasnya mirip analisis Burhanuddin Muhtadi, seorang pengamat politik yang sering tampil di TV.

Bang Hin mengakui, kehadiran Polem Suh yang menyebabkan langganannya terus bertambah. Diantaranya adalah aku, pelanggan tetap warung Bang Hin. Aku sanggup bertahan sampai siang dan habiskan tiga cangkir kopi demi mendengarkan ulasan Polem Suh, ”singa podium” dari Meunasah Kayee Papeun.

Pagi itu, aku mengambil posisi duduk membelakangi ”daphu kupi.” Aku ingin bebas nikmati keramaian. Memandangi orang-orang yang hilir mudik yang sedang berbelanja di pasar rakyat. Tidak lama kemudian, Bang Hin meletakkan secangkir kopi panas dan sepiring pulut panggang. Harumnya aroma kopi dipadu dengan wanginya daun pulut panggang mampu memancing selera. Kuhirup seteguk kopi panas dari cangkir putih bergaris coklat, ”Sruupp…nikmatnya rasa kopi ini” desahku.

Begitu kuletakkan cangkir kopi di tatakannya, Polem Suh  sudah ada di depanku. Aku tidak melihat kedatangannya. Dia duduk dibangku tetapnya yang menghadap ke dalam warung. Sepertinya,  bangku itu memang khusus  dipersiapkan untuk  Polem Suh.

”Minum polem,” tawarku sambil mengunyah pulut panggang.

”Ya, jus telor rasa kopi,” teriaknya kepada Bang Hin. Suaranya masih nyaring. Kata-kata yang diucapkannya cukup jelas didengar. Daya ingatnya sungguh tokcer. Tubuhnya awet. Padahal umurnya hampir 70 tahun. Walaupun Polem Suh digelar sebagai ”tukang cang panah” alias tukang bual, dia tetap setia kepada mottonya ”ngobrol itu sehat, stress-pun hilang.”

”Lho, masa sih ada jus telor,” tanyaku heran.

”Maksudnya telor kocok dicampur kopi panas ditambah susu ,” candanya.

”Istilah baru. Cocok untuk dipatenkan di Dirjen HAKI atas nama Polem,” selorohku.

”Ha…ha…ha…..,” Polem Suh tertawa. Seluruh pengunjung warung Bang Hin melirik ke arah Polem Suh.

Dari keremangan cahaya pagi, seorang loper koran meletakkan Harian Serambi Indonesia di depan Polem Suh. Dia memang menjadi pembaca pertama setiap koran yang diantar ke Warkop Bang Hin. Setelah semua berita penting dibacanya, dia akan ulas satu persatu dengan analisis versi Polem Suh. Entah kenapa, pelanggan Warkop Bang Hin lebih suka mendengar ulasan Polem Suh  daripada membaca korannya.

Nyan, nyan… awak geutanyoe ka sisat!” pekik Polem Suh.

Aku yang sedang menghirup kopi panas sampai tersedak mendengar pekikan Polem Suh. Pelanggan lain sekonyong-konyong melompat mengerubungi meja kami.

”Ada apa polem, siapa yang sesat?” teriak mereka serempak.

”Ini, coba baca!” tunjuk Polem Suh pada tulisan headline Harian Serambi Indonesia (Kamis, 7/4). Disitu tertulis: ”Pemerintah Aceh Larang 14 Aliran Keagamaan.” Semua terkesima.

Lalu Polem Suh berdiri dan berteriak seperti orang yang sedang berpidato dari podium. Para pelanggan kembali ke mejanya masing-masing. Mereka sangat paham jika Polem Suh akan segera mengulas berita koran pagi ini.

”Dengarkan!” pekik Polem Suh sambil mengalihkan matanya ke arah box bagian kanan atas Harian Serambi Indonesia yang bertuliskan ”Daftar Sementara Aliran/Ajaran Sesat yang dilarang di Aceh.”

Polem Suh mulai membacakan nama ajaran/aliran sesat yang dilarang di Aceh sebagaimana yang tercantum dalam box Harian Serambi Indonesia hari itu. Dimulai dari Ajaran Millata Abraham, Darul Arqam, Ajaran Kebatinan Abidin, Aliran Syiah, Ajaran Muhammad Ilyas bin M.Yusuf, Tarikat Haji Ibrahim Bonjol, Kelompok Jamaah Qur’an Hadist, Ajaran Ahmadiyah Qadiyan, Pengajian Abdul Majid Abdullah, Ajaran Ilman Lubis, Tarikat Mufarridiyah, Ajaran Ahmad Arifin, Ajaran Makrifatullah, Pengajian Al Qur’an dan Hadist.

Menurut Gubernur Irwandi Yusuf, baca Polem Suh, banyak anak yang pintar-pintar  di Kota Banda Aceh  terjerumus dengan aliran sesat. Salah satu penyebabnya, akidah yang diajarkan kepada anak belum mendalam. Ketika ada orang lain yang mengajak, dan menurut mereka ajaran itu bisa diterima logikanya, maka langsung menganut ajaran itu.

”Betul kata Pak Gubernur, lemahnya akidah menyebabkan banyak orang yang tersesat,” ulang Polem Suh.

Sisat (dalam bahasa Indonesia: sesat), menurut Polem Suh terjadi karena orang-orang  kurang memahami arti dan makna rambu-rambu serta petunjuk.  Seperti kita naik honda (maksudnya sepeda motor) tetapi tidak memahami rambu-rambu lalu lintas, jelas akan tersesat. Contohnya, imbuh Polem Suh, dengan menggunakan honda tadi, kita pulang dari Kampung Sawah Sigli menuju ke Bireuen. Begitu tiba didepan masjid Sigli, kita akan kebingungan melihat disana ada rambu penunjuk arah. Rambu pertama bertuliskan ”Medan” panahnya ke kiri dan yang satu lagi bertuliskan ”Banda Aceh” panahnya ke kanan.

Sementara si pengendara honda tadi tidak mengerti arti kata ”Medan” maupun ”Banda Aceh.” Sebentar dia bingung. Logika atau akalnya memastikan bahwa jalur yang banyak dilewati orang adalah jalur menuju Bireuen. Detik itu, kebetulan jalur menuju ”Banda Aceh” yang padat arus lalu lintas. Tanpa tanya kiri kanan, dia pun mengikuti para pengendara sepeda motor yang lain. Makin lama, dia pun makin bingung. Mengapa rumahnya tak kunjung kelihatan. ”Ulon ka sisat” paling-paling itu kata hatinya. Selama tidak ada yang menunjukkannya ke jalur yang benar, dia terus tersesat. ”Lama-lama, dia pun akan lupa, dari mana asalnya. No return point,” kata Polem Suh.

”Itu kesalahan kita! Membaca tapi tidak memahami apa makna yang dibaca. Makanya semuanya sisat, sisat, sisat!” teriak Polem Suh memecah keheningan Warkop Bang Hin.

”Lihat, sekarang kan sudah jadi masalah. Anak kita yang pintar-pintar, dipikir bapaknya kuliah di Banda Aceh, ternyata sedang kuliah aliran sisat!” lanjut Polem Suh sambil mengepalkan tangannya.

”Maksud Polem?” tanyaku penasaran.

”Kita terlalu memaksakan mengajarkan matematika dan sains kepada anak, lupa mengimbanginya dengan ajaran akidah. Akhirnya dia mencari akidahnya sendiri, dapatlah aliran sisat,” jelasnya.

Misalnya, setiap jalan raya pasti ada rambu-rambu lalu lintas supaya kita tidak celaka dan tersesat,  ”tetapi apakah semua pengendara honda memahami rambu-rambu itu?” Bang Hin mengangguk sebagai isyarat membenarkan.

”Belum tentu! Malah banyak yang terobos lampu merah karena tidak paham maksud rambu itu” tambah Polem Suh.

Terus, lanjut Polem Suh, supaya hidup kita dalam keadaan damai dan tenteram, sudah tersedia buku panduannya.  Polem Suh menghirup jus telor, dan berteriak dengan suara lantang ”Makanya tidak perlu belajar panduan hidup ke Amerika, atau sekolah ke Eropa.” Dia makin semangat.

”Maksud Polem?” tanyaku penuh ingin tahu.

”Al Quran buku panduan hidup, dan Hadis Nabi sebagai strategi menggunakan buku panduan itu” terang Polem Suh dengan mimik muka sangat serius.

”Lho, semua warga kampung kita kan sudah khatam Al Quran,” tangkisku sambil melirik  Bang Hin yang kelihatan makin bingung.

”Mengeja betul,… membaca?” gantung Polem Suh.

”Belum semua orang bisa,” lanjutnya.

Kok jawaban polem makin aneh?” tangkisku lagi dengan suara agak keras.

Langanan warung Bang Hin mulai merapat ke sekeliling meja bundar itu. Mereka merasa penasaran terhadap komentar Polem Suh yang agak nyentrik. Bang Hin pun tidak ketinggalan. Dia tinggalkan ”daphu kupi,” merapat ke belakangku.

”Koran ini,” teriak Polem Suh sambil membanting Harian Serambi Indonesia di atas meja. Setiap hari kalian baca, mengerti nggak jalan ceritanya?”

”Mengerti!” jawab langganan Bang Hin serempak.

”Itu namanya membaca karena kalian mengerti dan memahami,” jelas Polem Suh.

Kalau membaca tetapi tidak ingin mengetahui, atau tidak ingin memahami arti dan maksudnya, ”itulah mengeja!” tambah Polem Suh sambil menggigit sepotong pulut panggang.

”Kaitannya dengan Al Quran, bagaimana Polem?” tanyaku lagi.

”Dalam bulan puasa yang lalu, kita sudah khatam Al Quran sampai lima kali. Paham nggak apa makna yang kita baca waktu itu?” Polem Suh balas menanya kepadaku. Aku menggeleng. Suasana menjadi hening.

”Bukankah yang dibahas hanya urusan lagu dan irama? Ini yang menyedihkan?” Memang saat tadarus di Meunasah Kayee Papeun, para qari saling adu irama. Mereka menyebut kegiatan tadarus dengan ”cok ayat.” Aku menyadari itu. Langganan Bang Hin yang duduk disekitar meja membatin.

”Tahun lalu, Al Quran hadiah dari Raja Fahd yang pakai terjemahan sudah kita terima.  Kok bukan itu yang dibaca dan dibahas?” tambah Polem Suh. Dia terdiam lama sambil menghirup sisa jus telornya.

”Benar yang Polem katakan,” desisku.

Pernyataanku diaminkan oleh seluruh langganan Warkop Bang Hin yang makin sesak disekitar meja bundar. Kami semua tercenung menyadari kekeliruan itu. Selama ini, semua persoalan kehidupan, kematian dan agama, seolah-olah  sepenuhnya menjadi tanggung jawab Teungku Sabi, Imum Meunasah Kayee Papeuen. Bagaimana kalau suatu waktu Teungku Sabi tidak ditempat? Haruskah kita tidak berbuat sesuatu?

Begitu halus iblis menyesatkan kita, menutup pikiran kita untuk tidak berkeinginan memahami isi kitab panduan hidup, Al Quranul Karim.  Makin jauh kita tersesat dijalan yang lurus. Dalam falsafah Gayo disebutkan: ”Sesat ulak ku dene, tingkis ulak ku bide”… bila dalam perjalanan kita tersesat maka kembalilah ke jalan semula, bila suatu masalah hasilkan jalan buntu (dead lock) kembalilah ke sumber dasarnya, Al Quran dan hadist.

Penulis,

Drs. Muhammad Syukri, M.Pd

Kantor Setdakab Aceh Tengah Jln Yos Sudarso 1 Takengon

E mail: msyukri63@yahoo.co.id


[1] Penulis adalah peminat masalah sosial budaya, tinggal di Takengon.

Comments

comments