Oleh : Aman Naqat*
Banyak orang tidak dapat membedakan antara kegembiraan, kebahagiaan atau ketenangan jiwa. Mungkin mereka tidak pernah menikmati kebahagiaan, walaupun sering merasakan kegembiraan. Begitu banyak artis terkenal yang berhasil memikat ribuan penontonnya gembira dan senang ketika melihat pertunjukannya, tetapi dia sendiri tidak bahagia. Maka tidak heran banyak artis terkenal yang terlibat dengan narkoba dan hidup dalam tekanan.
Sesungguhnya kegembiraan itu belum tentu kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Banyak kita melihat orang dimana Allah tidak merezekikan kegembiraan kepadanya, bukan berarti Allah SWT tidak memberikannya ketenangan jiwa. Maha luas karunia Allah, begitu banyak orang miskin yang tidak memiliki harta kekayaan, tetapi lebih bahagia daripada orang yang berlimpah harta kekayaan. Dan belum tentu seorang presiden, menteri, bupati dan walikota itu misalnya lebih bahagia perasaan dan jiwanya daripada seorang guru yang tidak dikelilingi pengawal (bodyguard) dan tidak dikenal orang melainkan hanya murid-muridnya yang mengenalnya.
Begitu banyak orang yang berpangkat tinggi itu jauh lebih gundah perasaan dan jiwanya memikirkan kedudukan, pengikut dan nasibnya. Lebih daripada kegundahan ribuan manusia yang lain. Barangkali meja makan pejabat itu mahal, layanannya istimewa, makanannya lezat, tempat tidurnya empuk, kendaraannya mewah, sambutan kepadanya meriah, tetapi kebahagiaan dan ketenangan jiwa belum tentu muncul di tengah-tengah itu semua.
Islam tidak memusuhi harta, tetapi harta bukanlah salah satu alat yang dapat membuat ketenangan jiwa. Bahkan, begitu banyak manusia di dunia ini yang diazab oleh Allah untuk mengurusi harta dan anak mereka. Firman Allah SWT tentang golongan munafiq:
Artinya :
Oleh karena itu, janganlah engkau tertarik kepada harta benda dan anak-anak mereka, (karena) sesungguhnya Allah hanya mau menyiksa mereka dengan harta benda dan anak-anak itu dalam kehidupan dunia.
(surat at-taubah 9:55)
Banyak manusia ketika tidak memahami kebesaran Allah SWT menyangka bahwa harta dan kuasa adalah segala-galanya. Lalu dia menganggap siapa yang tidak kaya dan tidak mempunyai jabatan tidak mendapat karunia kebahagiaan dari Allah SWT. Seakan-akan karunia Allah itu hanya milik orang kaya dan orang yang mempunyai kekuasaan dan pejabat saja. Anggapan ini adalah salah besar. Betul memang, harta dan kekuasaan dapat menjadi factor yang membawa ketenangan dan kebahagiaan jiwa jika dikendalikan dengan benar. Namun, jika tidak, kedua-duanya dapat berbalik menjadi penyebab derita dan sengsara.
Ketika si miskin sedang berdengkur menikmati tidur di dalam gubuk reotnya, entah berapa banyak penguasa, pejabat atau orang kaya yang tidak dapat tidur lelap di dalam rumah mewahnya. Ketika si miskin dengan begitu enak menikmati sebungkus nasi yang dibalut dengan daun pisang, entah berapa banyak orang kaya yang tidak selera menyantap makanan yang lezat.
Saya teringat dengan ceramah Buya Hamka dalam rekaman kasetnya. Beliau bercerita: pada suatu hari ketika beliau dan seseorang yang kaya sedang berada di dalam mobil mewah melewati persawahan, tiba-tiba orang kaya tadi melihat seorang petani yang sedang istirahat, lalu istrinya menghidangkan makan siangnya. Walaupun hidangan itu biasa saja, tetapi dimakan oleh petani tadi dengan penuh selera. Kemudian orang kaya yang bersama Buya Hamka tadi berkata; âBuya, saya mempunyai rumah besar dan kendaraan yang mewah, tetapi tidak pernah menikmati makanan seperti petani tadi.âYa, demikianlah Allah membagi-bagikan nikmat-Nyaâ.
Siapa yang diberikan makanan yang lezat, belum tentu dapat menikmati kelezatan dilidahnya. Siapa yang diberikan tempat tinggal yang mewah, belum tentu dikaruniakan kenikmatan tinggal didalammya. Maka tidak heran jika ada orang kaya atau penguasa kurang selera makan. Atau jangan heran jika ada anak orang kaya yang lari meninggalkan rumah mewah milik orang tuanya. Dan jangan pula heran, ketika ada orang miskin yang setiap hari menikmati sesuap nasi yang masuk kedalam mulutnya dan nyenyak tidurnya. Sekali lagi Islam tidak memusuhi harta, namun manusia hendaklah tahu bersyukur atas segala karunia Allah SWT kepadanya.
Si miskin dan si kaya haruslah insaf bahwa tujuan makanan dan tempat tinggal yang mewah itu adalah kesedapan dan kenikmatan. Tidak semua yang memiliki kemewahan itu, dapat pula menikmatinya. Juga tidak semua yang tidak memilikinya akan terhalang merasakan kenikmatannya.
Kadang-kadang ketika kita sedang duduk di meja makan bersama orang kaya dan orang miskin, kita lihat si kaya minum air putih saja. Ketika ditanya kenapa, jawabnya, âsaya ada penyakit diabetesâ. Dia enggan makan lauk yang dihidangkan, katanya,âsaya mengidap penyakit jantung dan darah tinggiâ. Sementara orang miskin yang duduk disebelahnya, makan dengan lahap tanpa ada pantangan apapun. Memang, memiliki sesuatu belum tentu dapat menikmatinya. Untuk minum air putih dan nasi putih tidak memerlukan harta yang banyak, juga air putih dan nasi putih biasanya merupakan makanan orang miskin yang tidak mampu.
Yah, begitulah jika Allah SWT mau, orang yang berada di tengah kemewahan akan hidup bagaikan si miskin di tengah kefakiran. Sekali lagi, Islam tidak memusuhi harta tetapi manusia wajib insaf bahwa hanya Allah SWT yang menentukan segala kurnianya. Maka jangan sombong atas apa yang telah kita miliki, dan jangan bersedih atas apa yang tidak Allah SWT kurniakan kepada kita. Entah berapa banyak nikmat yang telah Allah karuniakan kepada kita dan kita tidak menyadarinya. Entah berapa banyak nikmat yang Allah SWT halangi orang lain merasainya, kita menyangka mereka merasakannya.
Banyak orang yang kita lihat banyak harta, tetapi miskin jiwanya. Kadang-kadang mereka menyembah orang lain, sampai ketitik yang memuakkan hanya semata-mata mengharapkan kehidupan dunia. Apalah artinya harta, jika kita miskin jiwa sampai seakan-akan menjilat orang lain. Harta dan kekuasaan amat diperlukan jika ia menjadikan kita seperti para khalifah yang sholeh dan para hartawan yang bersyukur. Saya pernah bertemu dengan orang yang menyandang titel agama di sebuah daerah yang mamuja penghuni pandopo di daerahnya, dia seolah-olah sedang memuja seorang nabi yang maksum. Setiap omongannya merujuk kepada ungkapan pemimpin daerahnya. Mungkin dia sedang mengharapkan tambahan gelar di depan namanya. Atau dia teringat dengan kata-kata Hang Tuah yang selalu menyebut: âHidupku ini hanya untuk menjadi hamba Sultan Melaka semata-mata.â
Hormat-menghormati sesama manusia ada batasannya, di sebuah acara saya pernah menegur seseorang yang selalu menyebutkan: âDengan izin Allah dan limpah kebaikan bapak jualahâŠ.â Saya katakan kepadanya:âSaya percaya orang yang dipuji itupun tidak menyuruh saudara menyebut demikian. Pujian saudara ini menyalahi hadist Nabi SAW dari Ibn Abbas.
Artinya:
Bahwa seorang lelaki berkata kepada Nabi SAW,âApa yang Allah dan engkau kehendaki.âMaka baginda bersabda kepadanya:âApakah engkau menjadikanku sekutu Allah, katakan: Apa yang hanya Allah kehendaki.â
(Riwayat Ahmad, dinilai sahih oleh al-Albani)
Pujian seperti inilah yang akhirnya akan meruntuhkan seseorang atau sebuah institusi. Nabi SAW lebih mulia daripada kita semua. Begitupun Allah SWT memerintahkan Baginda, Firman Allah:
Artinya :
Katakanlah (wahai Muhammad): âAku tidak berkuasa mendatangkan manfaat bagi dirimu dan tidak dapat menolak mudarat kecuali apa yang dikehendaki Allah. Jika aku mengetahui masalah-masalah yang ghaib, tentulah aku akan mengumpulkan dengan banyaknya kebaikan dan tentulah aku ditimpa kesusahan. Aku ini tidak lain hanyalah pemberi perintah (bagi orang-orang yang ingkar) dan pembawa berita gembira bagi orang yang beriman.â
Islam datang kepada manusia untuk membebaskan jiwa mereka dari perhambaan sesama manusia kepada hanya bertuhankan Allah SWT. Inilah yang disebut oleh RibâI bin Amir di depan panglima angkatan tentara Parsi:
Artinya:
Allah yang menyadarkan kami agar kami memerdekaan orang yang dikehendaki-Nya dari pengabdian sesama hamba menuju pengabdian kepada Allah, dari dunia yang sempit kepada keluasan dunia dan akhirat, dari kekejaman agama-agama kepada keadilan islam.
(Ibn Kathir, al-Bidayah wa an-Nihayah,7/48)
Beirut:Dar al-Kutub al-âIlmiyyah)
Lihatlah Bilal bin Rabbah r.a., walaupun dirinya masih menjadi hamba sahaya tuannya, tetapi Islam berhasil memerdekakan jiwanya. Dia tidak tunduk kepada tuannya yang sesat. Meskipun tubuhnya disiksa dibawah terik matahari, namun jiwanya merdeka hanya tunduk pada Illahi. Sungguh malang nasib manusia, jika jiwa raganya merdeka, cukup makan dan minum, namun jiwanya bersifat hamba kepada manusia sampai melanggar batasan Allah SWT.
Bahkan, Jika manusia menganggap tangan yang mempunyai kuasa dan harta sebagai pemicu kebahagiaan dan ketenangan, maka mereka akan menjadi hamba manusia. Namun jika mereka yakin, hanya Allah SWT saja yang mampu meberikan kedamaian, maka jiwa mereka akan merdeka. Barang siapa yang menjadi hamba manusia, dia tidak akan menjadi hamba Allah SWT yang sebenar-benarnya, dia tidak akan berjiwa hamba sesama manusia. Sabda Nabi SAW:
Artinya:
âBarang siapa akhirat itu tujuan utamanya, maka Allah jadikan kekayaan dalam jiwanya. Allah mudahkan segala urusannya dan dunia akan datang kepadanya dengan hina (iaitu dalam keadaan dirinya mulia). Barang siapa yang menjadikan dunia itu tujuan utamanya. Allah cerai beraikan urusannya, dan duniapun tidak datang kepadanya melainkan dengan apa yang ditakdirkan untuknya (iatu dalam keadaan dirinya hina).â
(Riwayat at-Tarmizi, dinilai hasan oleh al-Abani)
Maksud hadist ini, maka siapa yang betul-betul bergantung kepada Allah SWT, jiwanya akan merdeka dan mulia. Juga dunia itu akan sampai kepadanya dengan harga dan marwah dirinya yang tidak tercemar. Siapa yang bergantung kepada manusia, mungkin dunia itu akan sampai ketangannya, tetapi dia akan berada dalam kehinaan dan keluh kesah. Kebimbangan yang tidak putus akan selalu menjelma diantara kedua matanya, karena sandarannya lemah. Orang mukmin yang betul-betul bergantung kepada Allah (yaitu Raja segala Raja, Pemilik alam semesta). Sementara yang berjiwa hamba kepada manusia, akan bertawakkal kepada penguasa atau pemimpin yang menunggu hari untuk mati atau ditumbangkan oleh orang lain seperti Raja Nepal.
Islam mengajar kita berjiwa merdeka, meskipun kita miskin harta, gelar dan pangkat. Jiwa yang merdeka dari perhambaan sesama manusia kepada tunduk hanya pada Allah SWT itulah yang membawa kebahagiaan dan ketenangan yang sebenar-benarnya. Kita memerlukan para pemimpin, teman, staf yang berjiwa merdeka. Kita tidak mau menjadi orang kaya dan berkuasa, tetapi menjadi hamba kepada manusia. Pengemis yang tidak punya harta, lebih mulia daripada pengusa yang miskin jiwa. Wallahu Aâlam Bissawab.
*Pemerhati sosial keagamaan berdomisili di Medan