Muranto

Oleh Johansyah*

 

Muranto (merantau) dulu sangat akrab ditelinga kita. Muranto pada tempo dulu identik dengan beberapa hal yakni pergi menuntut ilmu ke tempat yang jauh dari tanah Gayo, pergi berdagang untuk mencari nafkah dan mencari pekerjaan.

Ketika mendengar kata muranto, dulu yang terbayang di benak kita adalah pergi ke tempat yang begitu jauh dari kampung halaman dan untuk sampai ke sana membutuhkan waktu yang relatif lama. Mereka yang pergi muranto ada yang berbulan-bulan, bertahun tahun bahkan puluhan tahun meninggalkan keluarga dan sanak saudara untuk tujuan tertentu.

Pada tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an, orang yang pergi dari tanah Gayo ke kute reje (Banda Aceh) masih dianggap muranto. Apalagi mereka yang pergi ke tempat yang lebih jauh minsalnya ke pulau Jawa, Kalimantan bahkan luar negeri. Dulu penulis masih ingat ketika salah satu dari keluarga pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi, bapak kami bilang “gelah, kati cubeē muranto” (biar dia rasakan bagaimana merantau). Penulis masih ingat waktu itu, selama dua tahun dia tidak pulang dan keluarga begitu merindukannya sehingga ketika mendapat kesempatan untuk pulang, keluarga sangat senang karena sudah lama tidak bersua.

Ada beberapa hal yang menarik untuk ditelisik dari aktifitas meranto; pertama, adanya pesan moral-psikologis yang disampaikan orang tua kepada anaknya agar ketika berada diperantauan, anak diharapkan sungguh-sungguh dalam menimba pengetahuan serta tidak pernah meninggalkan ibadah shalat lima waktu. Orang tua berharap agar ketika sang anak kembali dari perantauan dapat menjadi anak yang berbakti kepada keluarga dan masyarakat serta negara.

Bagi yang pernah mengalami, terminal Takengon menjadi bukti betapa harunya keluarga melepas kepergian sang anak pergi ke perantauan. Dan yang menarik bukan keluarga saja yang mengantar tetapi para tetangga satu kampung ikut meramaikannya. Tidak sedikit dari keluarga yang tanpa sengaja mengeluarkan air mata seolah-olah mereka akan berpisah untuk selamanya. Ketika bus Aceh Tengah atau PMTOH mulai melaju lambat laun maka lambaian tangan pun disertai tangisan terlihat sampai bagian belakang bus tidak tampak lagi.

Bagi anak-anak yang meresapi betul pesan orang tua mereka akan begitu serius dalam menimba pengetahuan karena termotivasi oleh spirit dan kondisi susahnya orang tua menyekolahkan mereka. Maklum, rata-rata urang Gayo (orang Gayo) yang menyekolahkan anak mereka adalah petani dan jarang sekali anak-anak para saudagar atau orang berada maupun pegawai negeri. Hal ini juga yang mungkin membuat mereka yang melanjutkan pendidikan ke tempat jauh lebih sukses dari pada mereka yang melanjutkan pendidikan pada tempat yang dekat.

Barangkali para pelajar generasi saat ini yang melanjutkan pendidikan tahun 2000-an ke atas tidak lagi merasakan suasana semacam ini. Kepergian anak untuk melanjutkan kuliah tidak begitu menguras jiwa orang tua  untuk menjadi sedih. Suasana melepas kepergian tidak lagi sama seperti dulu. Kini dengan sigap angkutan L300 begitu cepat menjemput kita ke depan rumah. Pesan-pesan orang tua kepada sang anak juga tidak lagi serasa kental dan membekas karena untuk berjumpa kembali dengan keluarga tidak membutuhkan waktu yang relatif lama apalagi dengan dukungan media komunikasi via handphone di mana setia hari mereka dapat melakukan komunikasi kapan mereka mau.

Kedua, banyak sekali karya-karya seni gayo (terutama didong) yang mengangkat tema muranto dalam tembang mereka dengan olahan kata yang indah dan menggugah. Bahkan hampir semua group didong memiliki lagu tentang muranto. Hal ini membuktikan bahwa dulu memang muranto begitu kentara dan menjadi bagian yang penting dalam masyarakat kita.

Lagu-lagu yang bertemakan muranto akan terasa lebih menggugah ketika lagu tersebut mengisahkan dua insan yang saling mencintai terpisah begitu lama dan tidak tergambarkan bagaimana mereka memendam rasa rindu yang begitu mendalam sehingga rasanya lama sekali untuk menunggu untuk berjumpa. Begitulah kepiawaian para ceh didong dengan sajak yang teratur dan alunan lirik bernada sendu.

Seiring dengan dinamika kehidupan yang terus berjalan dan perkembangan teknologi yang begitu pesat, istilah muranto mulai lekang dari lisan kita. Banda Aceh saat ini serasa bukan lagi tempat perantauan karena jalur  transportasi yang semakin baik. Bahkan pergi antar pulau dan negara serasa tidak lagi menjadi sekat karena dapat ditempuh dengan jalur udara dengan waktu yang relatif singkat.

Kendatipun muranto tidak begitu akrab lagi dengan kita saat ini, setidaknya generasi sekarang dapat mengambil dan meniru spirit atau semangatnya dalam kegiatan menuntut ilmu. Artinya orang-orang dulu termotivasi kuat oleh muranto dan karena itu mereka tidak pernah menganggap remeh dalam proses pendidikan.

Untuk tidak pernah diabaikan, bahwa masa lalu begitu penting untuk diketahui dan sangat memungkinkan bahwa itu semua akan menjadi pemicu kesuksesan seseorang. Perlu diingat juga bahwa dengan dukungan materi yang begitu memadai saat ini agar tidak membuat para generasi muda tanah Gayo terlena dengan itu semua. Spirit muranto harus tetap kita pelihara dalam rangka untuk mencapai kesuksesan.

 

*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor IAIN Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.